KEMARAU telah 4 bulan menimpa Tanjung Pinang. Sebagian besar
penduduk kini mulai merasakan gawatnya air minum. Bukan saja
mereka yang tak punya hubungan kran dengan Perusahaan Air Minum
(PAM). Tapi juga mereka yang selama 5 tahun ini mendapat kucuran
kran perusahaan Pengolah air Sungai Pulai itu. Sebab meski
perusahaan air ledeng pimpinan ir. Usman tersebut sebenarnya
mampu memenuhi kebutuhan 50 ribu jiwa warga kota, ternyata tak
dapat diandalkan.
Jangankan memenuhi kebutuhan kerongkongan sedemikian banyak,
mengabulkan permintaan cuma 43 rumah tangga pun belum sanggup.
Padahal permintaan itu sudah diajukan lebih setahun lampau (TEM-
PO, 6 Desember 1975). Bahkan 1700 langganan yang terdaftar, kini
dicekam ketakutan krannya tak akan menetes lagi. Karena ada
kabar selentingan yang sudah menyebar luas bahwa Perusahaan
Daerah yang pembangunannya melahap Rp 839 juta lebih itu akan
ditutup karena bangkrut.
Khalayak ramai pun bertanya-tanya. Apa gerangan biang rongrongan
yang menggerogoti proyek yang dikelola PT Pembangunan Riau
Cabang Tanjung Pinang itu. Padahal melihat wujud tubuhnya, itu
proyek terbilang raksasa bengkak. Dua tangki distribusinya yang
mendekam di Bukit Cermin, berkapasitas masing-masing 2270 M3.
Dan dengan waduk seluas 45 Ha di Sungai Pulai, itu proyek
sebenarnya mampu mengocorkan air ledeng sejuta gallon per hari.
Itu kalau bekerja dengan dasar waktu 7 jam seharinya. Sedang
kemampuan sesungguhnya 50 liter per detik. Dan sebagai proyek
yang tak mau cuma lancar dihari upacara peresmiannya saJa,
seperangkat peralatan cadangan seperti stop kran, pipa-pipa,
karet pelapis yang ditaksir berharga 120 ribu dollar Singapura,
tersedia pula. Pendeknya beralasanlah bila Presiden Suharto pada
upacara peresmiannya 5 tahun lampau itu dengan wajah
berseri-seri meluncurkan kata-kata: "Pada waktunya pastilah
setiap penduduk akan menikmati air jernih".
Berkarat
Ternyata itu proyek raksasa, sejak pembukaannya sudah mengidap
penyakit lesu darah. Langganannya yang sebelum peresmian saja
sudah antri sebanyak 670 rumah dan tahun-tahun berikutnya makin
menumpuk, tak sempat digubrisnya. Sebab, memang kemampuannya tak
ada. Bak kata pepatah nafsu besar, tenaga yang tak ada.
Pernahkah diselidiki apa gerangan biang rongrongannya? Kurang
jelas. Yang jelas, Pebruari 1976 kemarin memang ada satu team
dari pengelolanya, PT Pembangunan Riau, bertandang ke sana.
Katanya bermaksud, "mengadakan inventarisasi kekayaannya". Belum
didapat kabar bagaimana hasilnya.
Tapi sementara itu satu sumber di Tanjung Pinang menerangkan
kepada Rida K. Liamsi, Pembantu TEMPO di sana, bahwa ternyata
sampai awal 1976 ini, perusahaan tersebut mencatat jumlah
tunggakan langganan sebesar Rp 13 juta. Sekitar Rp 11 juta di
antaranya, merupakan tunggakan instansi Pemerintah sendiri. Nah,
ini rupanya biang rongrongan itu. Atau mungkin salah satu.
Hingga tak aneh bila itu PAM pernah membocorkan pengakuan bahwa
pendapatan per bulannya cuma Rp 2,7 juta. Dan dari jumlah
tersebut dikeluarkan buat biaya eksploitasi sebesar Rp 2,2
juta. Hingga sisanya tentulah cuma Rp 1 juta. Atau Rp 6 juta
setahunnya.
Dengan uang sebegitu, konon, apalah yang bisa diperbuat itu PAM.
Hingga terpaksalah itu tubuh instalasi dibiarkan berkarat atau
tak terpelihara. Sampai-sampai seorang ahli PAM dari luar negeri
yang pernah bertandang ke sana, geleng-geleng kepala sewaktu
memergoki peralatan cadangan proyek itu menggeletak di alam
terbuka. Jadi, beralasan jika itu PAM akan bangkrut?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini