Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Supii Liem menggenggam erat tali pengaman yang melilit pinggang saya. Beberapa sentimeter lagi ujung depan sepatu bot saya menyentuh bibir tebing. Tak ada lagi jalan di depan saya. Di bawah sana ada kolam raksasa yang bergejolak karena bertubi-tubi dihantam air terjun setinggi 14 meter, tepat di sebelah kanan saya. Di sekeliling kami hanya batu padas yang menjulang.
"Lompat, Mas. Jangan terlalu banyak berpikir," kata Supii. Ah... enak saja dia berbicara. Beberapa saat sebelumnya, kami memang sudah tiga kali melompat dari bibir air terjun. Tapi yang tertinggi hanya tujuh meter. Sedangkan kali ini saya harus melompat dari jarak setinggi empat lantai gedung bertingkat. Seketika kaki ini rasanya tak lagi bertulang. Telinga mulai meradang. Tarikan napas juga semakin berat ketika sesekali saya mencuri pandang ke bawah.
Nyali ini menciut, tapi malu jika mundur. Di depan saya tadi, Pham Luong An, turis wanita asal Vietnam yang ikut dalam rombongan kami, berani melompat lebih dulu. Dia bahkan langsung terjun tak sampai sedetik setelah Supii menyemangatinya. Sinting!
Apalah daya, saya memang harus terjun. Kaki kanan pun mengayun ke depan, melangkah lebar, lalu menapak di udara. Tubuh saya menderas turun, terisap oleh gravitasi. "Woooh…," saya pun berteriak merasakan tekanan darah mengalir dari kaki ke kepala. Saya masih sempat membuka kedua lengan untuk menjaga keseimbangan ketika melayang di udara.
Byuuur….
Pemandangan yang sesaat tadi gelap berubah menjadi semburat gelembung-gelembung air. Untuk sesaat tubuh saya terisap beberapa meter ke dalam kolam. Tapi, jauh sebelum sampai ke dasarnya, tubuh kembali bergerak ke atas. Rasa girang membuncah ketika tubuh ini kembali ke permukaan air. Di atas, ratusan kelelawar berhamburan dari atap-atap ceruk seolah-olah ingin ikut merayakan keberhasilan saya. Mungkin juga mereka kesal karena kaget mendengar jeritan yang menggema.
Fotografer Tempo, Wahyu Setiawan, lebih beruntung (atau justru merugi). Dengan alasan mengamankan kamera di dalam tas punggungnya, dia tidak terjun. Wahyu menuruni tebing dengan meluncur memakai tali. Kita biasa menyebutnya flying fox. "Yuhuuu," teriakan Wahyu kembali menggaduhkan jurang yang sunyi.
Itulah secuil adegan ketika awal bulan lalu saya, Wahyu, dan An melakukan canyoning atau penelusuran ngarai di sepanjang Sungai Banyu Mala, Desa Sambangan, Kabupaten Buleleng, Bali. Karena kegiatan ini tergolong ekstrem, kami dipandu Supii dan Abraham Firmansyah. Keduanya instruktur bersertifikat profesional dari Adventure and Spirit, penyedia layanan wisata canyoning yang bermarkas di Desa Gitgit, sebelah tenggara Desa Sambangan.
Berlima kami mengarungi tukad—bahasa Bali yang berarti sungai—bak pasukan katak siap tempur. Badan kami terbungkus setelan berbahan neoprene, semacam karet elastis mirip pakaian selam. Tali pengaman (harness) lengkap dengan satu set cincin kait (carabiner) melilit di pinggang dan paha. Belum lagi helm pengaman, sarung tangan, sepatu bot, dan tas di punggung berisi ratusan meter tali kernmantle.
Semua itu diperlukan karena, selama canyoning, kami tak hanya melompat ke sungai dari atas tebing. Di dalam jurang itu, kami juga harus berenang, menggelincir di atas batuan, dan menuruni air terjun lewat tali (rappelling).
Terdengar mengerikan? Percayalah, saya, yang tak pernah melakukan semua kegiatan tersebut, juga sempat ketar-ketir. Begitu pula Wahyu, yang tak begitu gape berenang. Itulah sebabnya perlu waktu dua hari bagi kami sebelum memutuskan terjun ke Tukad Banyu Mala.
Tapi pesan Michael Denissot, bos Adventure and Spirit yang juga Co-Chairman International Canyoning Organization for Professionals, tiga hari sebelumnya, membuat kami penasaran. "Kalian harus mencoba Aling. Di sanalah surganya," kata Mika—begitu Michael biasa dipanggil. Aling yang dimaksud ialah air terjun Aling-aling, yang bakal menjadi garis akhir canyoning di Banyu Mala.
Tukad Banyu Mala persis seperti arti namanya. Banyu adalah air, sedangkan mala—warga melafalkannya male—berarti kotor. Ranting dan daun memang memenuhi tepian sungai, berayun-ayun terbawa air menabrak dinding bebatuan. Tapi, di dalam sana, kami memang menemukan surga.
Bukan surga berisi sungai dengan pohon di kiri dan kanannya seperti dalam gambaran kitab-kitab suci, melainkan ngarai dalam dan panjang bertepikan tebing yang menjulang. Saking tingginya, langit di atas kami hanya tampak seperti garis putih selebar jengkal tangan. Dari sana, sinar matahari menerobos masuk di beberapa titik, membentuk siluet lembah, seolah-olah tak berdaya menjangkau kami di dasar tahang.
Beriringan kami berenang pelan, menapaki batuan, dan memberosot. Beberapa kali pula saya tak kuasa menahan diri untuk menenggelamkan tubuh, berjingkat-jingkat, mencipratkan air ke udara. Jurang dengan batuan padas yang menjulang pun berubah menjadi tempat persembunyian yang sempurna untuk bertingkah sedikit kekanak-kanakan.
Tentu saja Supii dan Firman terus mengawasi tingkah polah kami. Sepanjang perjalanan, mereka bergantian menginformasikan tantangan di depan. Beberapa kali rambu-rambu mereka sampaikan lewat isyarat tangan—karena deru air terjun terkadang memaksa kami berteriak jika ingin suara kami terdengar.
Ketika kami berhadapan dengan bibir air terjun, misalnya, Supii menunjukkan telapak tangan kanannya sebagai tanda stop. Tangan kirinya membuat garis virtual ke arah air sebagai tanda batas kami boleh mendekat. Baru jika tangannya melambai, kami boleh mendekat, memasang tali pengaman seperti yang dia ajarkan sebelum berangkat tadi.
Beberapa kali juga Firman menunjukkan tangan kanannya mengusap punggung telapak tangan kiri sebagai isyarat batuan licin. Kami harus berhati-hati. Mereka juga sering melekatkan kedua lengan ke arah dada sebagai tanda kami harus sedikit menekuk kaki ketika nanti menyentuh permukaan air yang tak begitu dalam.
Seluruuut…. Byur…! Tukad Banyu Mala seolah-olah memang sengaja menyiapkan sirkuit alami siap pakai bagi kami untuk berperosotan.
Tak jauh dari situ, air terjun tak bernama setinggi 20 meter menyambut kami. "Rappelling lima belas meter, lalu lompat pada lima meter terakhir," kata Supii memberi arahan di bibir tebing. Firman sudah menunggu untuk membantu kami melompat di bawah.
Setiap kali harus rappelling, saya menghela napas dalam-dalam. Saya tak begitu percaya pada alat bantu khas para pendaki tebing, hingga menggenggam kernmantle terlalu kencang. Lengan pun pegal menahan berat badan yang memang sedikit berlebih. Turun pun menjadi lebih sulit.
Tapi tak mungkin saya menolak turun. Di bawah sana, ada kolam berukuran satu kali lapangan futsal menunggu kami. Airnya berwarna hijau zamrud yang teduh. Di sisi kanan, tampak air terjun mini dari Tukad Api berlomba mengisi telaga. Dua bongkah batu raksasa seukuran rumah tersangkut di antara dua tebing, 20 meter di atas kami.
Kami berlima terus melongok ke atas. Perasaan ngeri bakal tertimpa batu tersebut bercampur dengan pertanyaan bagaimana bisa benda sebesar itu nangkring di sana. Mungkin selama ini tebing sengaja mengapitnya erat-erat agar kita, manusia, bisa menikmati aliran sungai dan pemandangan di dalamnya.
Setelah enam jam menelusuri tahang gelap, tibalah kami di mulut ngarai yang dari kejauhan tampak bak gua raksasa yang lebat oleh pepohonan. Di depan sana, sebuah kolam besar berukuran dua kali lapangan basket harus diseberangi. Tepat di baliknya, Aling-aling sudah menunggu.
Menuruni air terjun setinggi 41 meter itu, lengan saya semakin kelu. Tentu, kali ini saya tak harus melompat. Terlalu tinggi. Kami harus menuruninya dengan tali. Beberapa kali kaki terpeleset ketika menapaki dinding tebing sembari bersenggayut di tali. Tapi semuanya terbayar ketika kami tiba di dasar air terjun dan mengakhiri perjalanan. Kami berjingkatan, tertawa, dan saling tos. Saya dan Wahyu saling pandang, sambil menggelengkan kepala, hampir tak mempercayai keajaiban alam yang sesaat tadi kami lewati.
Desa Gitgit
Desa Gitgit, yang terkenal dengan obyek wisata air terjun Gitgit, terletak sekitar 65 kilometer sebelah utara Denpasar, Bali. Kira-kira 13 kilometer sebelah selatan ibu kota Kabupaten Buleleng, Singaraja. Adapun Sambangan, lokasi air terjun Aling-aling, tak jauh di sebelah barat laut Gitgit.
Ngarai Terbaik Dunia
BERADA di sisi utara kaldera raksasa Buyan-Beratan—yang selama ini lebih terkenal sebagai kompleks pariwisata Bedugul—wilayah selatan Kabupaten Buleleng yang berbukit-bukit menyimpan banyak wahana canyoning. Atlas mencetak dengan jelas ratusan sungai berjajar dari sana menuju pantai utara Pulau Bali.
Michael Denissot, Co-Chairman International Canyoning Organization for Professionals, hakulyakin hampir semua sungai dan ngarai yang sebagian besar belum tereksplorasi itu tak kalah dibanding Tukad Banyu Mala. Menurut dia, kombinasi sungai, batuan padas, dan hutan di sepanjang lembah menjadikan Buleleng selatan—dan Bali pada umumnya—sebagai lokasi canyoning terbaik di dunia. "Kalian hanya akan menemukan tebing batu di Eropa," katanya.
Salah satunya Tukad Yeh Kebus—dalam bahasa Bali berarti sungai air panas—yang ada Desa Gitgit, sekitar 13 kilometer ke arah selatan dari Kota Singaraja. Ngarai panjang yang membelah sisi timur dan barat desa ini menawarkan belasan air terjun, bahkan mungkin lebih jika air terjun mini juga dihitung.
Tiga hari sebelum terjun ke ngarai Aling-aling, saya dan Wahyu Setiawan mencobanya, juga dipandu Supii Liem dan Abraham Firmansyah. Berbeda dengan Banyu Mala, yang berisi tebing-tebing menjulang, Tukad Yeh Kebus menawarkan pemandangan hutan yang menjadi pagar jurang. Di sini lompatan tertinggi hanya sekitar enam meter.
Kejutan muncul ketika kami rappelling dari ketinggian 17 meter, tepat di sebelah Air Terjun Bertingkat, yang menjadi garis akhir petualangan. Firman yang berjaga di bawah menghentikan kami di ketinggian lima meter dari permukaan kolam. Bergantian dia menuntun kami menapaki batu padas di tepi tebing, mendekati lidah air terjun yang menderu.
Bak tirai raksasa, derai air terjun itu ternyata menyembunyikan sebuah gua. Dari balik air terjun yang bergemuruh, kami melompat ke kolam. Kali ini tepat ke kaki air terjun. Sebuah akhir yang sekali lagi memompa adrenalin setelah dentuman air bertubi-tubi menghantam helm ketika saya berupaya kembali ke permukaan.
Cara ke Sana
Karena banyak lokasi wisata menuju Gitgit, kami merekomendasikan Anda yang punya kelebihan waktu dan dana untuk menyewa mobil atau sepeda motor. Dari Denpasar, sekitar 13 kilometer menuju Gitgit, terdapat kompleks pariwisata Bedugul, seperti Danau Beratan dan Kebun Raya Eka Karya, Bali.
Angkutan umum:
Menyusuri Ngarai
PENCINTA petualangan ngarai meyakini selusur ngarai (canyoning) lahir pada akhir abad ke-19 ketika Eduard Alfred Martel, bapak ilmu tentang gua (speleologi), menjelajahi Bramabiau—gua di Prancis yang terkenal dengan ngarai beserta sungai dan air terjun bawah tanah. Selama seabad kemudian canyoning berkembang ke penjuru dunia dan terpisah dari kegiatan selusur gua (caving).
Sebutannya pun menjadi beragam. Para petualang alam bebas di Eropa menyebutnya canyoning, Amerika Serikat canyoneering, Afrika kloofing, sedangkan di Jepang river tracing. Isinya sama: menyelusuri ngarai; mengikuti aliran sungai dengan berenang, berjalan, dan berseluncur; serta menuruni air terjun lewat tali atau sesekali melompat. Belakangan, olahraga ekstrem ini bisa dinikmati masyarakat luas sebagai salah satu wisata petualangan alam bebas.
Termasuk di Indonesia, tepatnya di Desa Gitgit dan Desa Sambangan, Kabupaten Buleleng, Bali. Sayangnya, hingga saat ini baru ada satu penyedia jasa berlisensi dan terafiliasi dengan International Canyoning Organization for Profesional, yaitu Adventure and Spirit (www.adventureandspirit.com). Jika Anda menggunakan jasa mereka, setiap tarif paket yang Anda pilih sudah termasuk layanan antar-jemput di mana pun Anda menginap di Bali.
INDEKS CANYONING DI GITGIT:
A. Air Terjun PDAM (26 meter). Meluncur menggunakan tali (rappelling) dari ketinggian 21 meter, lalu berenang.
B. Air Terjun Campuhan/Twin Waterfall (19 meter). Rappelling dari ketinggian 16 meter lalu berseluncur (sliding).
C. Air Terjun Mekalangan (25 meter). Rappelling dari ketinggian 20 meter, loncat di ketinggian 2,5 meter dari bebatuan di tepi air terjun, lalu berseluncur.
D. Air Terjun Bertingkat (17 meter). Rappelling dari ketinggian 10 meter, berhenti di ketinggian 6 meter dari permukaan kolam, menyelinap ke balik air terjun, lalu melompat ke kolam.
SPORT
Maraton di Semeru dan Bromo, Jawa Timur
Ngos-ngosan Menembus Kabut
Bagi Maggie Kim Hong Yeo, pelari Malaysia, 6 kilometer terakhir rute turunan Bromo Marathon, September lalu, memberi sensasi yang tidak bisa dilupakan. "Teman-teman bilang saya lari seperti orang gila ketika melewati rute ini, pace 4 (4 menit per kilometer). Saya memang jagoan di turunan," ujar juara III kategori wanita full marathon (42,195 kilometer) dengan waktu finis 5 jam 13 menit 41 detik ini.
Bromo Marathon menawarkan keindahan pemandangan Gunung Bromo, start dan finis di Desa Wonokitri, Tosari, Pasuruan, Jawa Timur. Pertama kali diadakan awal September lalu, kejuaraan sukses menarik 1.000 peserta, 300 di antaranya dari 20 negara. Medannya lebih moderat dibanding Rinjani Ultra, cocok bagi siapa pun. "Bupati (Pasuruan) sudah setuju diadakan setiap tahun," kata Shane Buttler, relawan perdamaian asal California, Amerika Serikat, dan inisiator lomba ini. CNN Travel melaporkan acara ini sebagai salah satu dari lima destinasi wisata lari terbaik di Asia 2013.
Selain lewat Bromo Marathon, menikmati keindahan kawasan Bromo-Semeru bisa lewat lomba lari gunung ekstrem bertajuk Bromo Tengger Semeru 100 Ultra, yang akan diadakan pertama kali pada akhir November ini oleh komunitas pelari gunung Trail Runners Indonesia. Menawarkan jarak 50 km, 100 km, dan 160 km. Semua titik terindah di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru akan dilalui peserta, seperti Bukit Teletubbies, Bukit Penanjakan, Ranu Pane, Danau Ranu Kumbolo, Kalimati, Puncak Bromo, dan Puncak Gunung Batok.
Ultra Trail Rinjani, Nusa Tenggara Barat
20 Jam Berlari Naik-Turun Gunung
BAGI Yannick Douet, warga Prancis, menjuarai lomba lari gunung Mount Rinjani Ultra Trail 2013, Agustus lalu, menjadi pengalaman yang sangat mengesankan. "Rutenya sungguh menantang. Puncak Rinjani, Savana Sembalun, dan Danau Segara Anak pemandangannya sangat indah. Tidak menyangka saya bisa jadi juara," ujarnya. Tentu saja menantang. Rute yang biasa didaki dengan berjalan itu kini dilalui dengan berlari.
Ia sukses menyelesaikan lomba lari sepanjang 52 kilometer antara Senaru-Puncak Rinjani-Sembalun-Senaru itu dalam waktu 14 jam 14 menit 25 detik. Batas maksimal waktu dalam kejuaraan ini adalah 20 jam. "Tanjakan Sembalun adalah rute yang paling berat. Udaranya sangat panas. Tahun depan saya akan ikut lagi," kata Douet, pelari, ironman (atlet triatlon), dan mantan atlet renang tim nasional Prancis.
Diikuti 92 peserta dari 16 negara, hanya 10 orang yang berhasil finis di bawah waktu yang disediakan. "Rute brutal. Tidak hanya perlu terlatih lari jauh dan mental baja, tapi juga harus punya keberanian mendaki tebing. Tahun depan waktu akan kami perpanjang jadi 22 jam untuk memberi kesempatan agar lebih banyak lagi peserta yang bisa finis," ujar Hendra Wijaya, pelari gunung senior, inisiator, dan direktur lomba.
Trail Merapi , Yogyakarta
Menggeber Trail di Lereng
LETUSAN Gunung Merapi pada Oktober 2010 tak hanya meninggalkan kisah sedih. Kini warga di sekitar lereng gunung yang terletak di utara Yogyakarta itu menjadikan daerahnya sebagai obyek wisata baru. Salah satunya berwisata di atas motor trail. Sambil menggeber motor gahar ini, Anda bisa menyusuri jalanan berpasir dan sungai-sungai penuh batuan vulkanik. "Wisata ini juga menceritakan sejarah di Merapi," kata Naryono, pengurus Gadung Melati Trail Club, salah satu penyedia jasa paket wisata motor trail di Merapi.
Untuk menyewa satu motor KLX 150 cc spek adventure dan seorang pemandu, Anda cukup merogoh kocek Rp 50 ribu untuk jalur pendek yang berakhir di rumah Mbah Maridjan, Rp 150 ribu untuk rute menengah menyusuri Sungai Gendol dan Sungai Opak, serta Rp 250 ribu untuk paket lengkap yang berakhir di Puncak Glagah Sari—sekitar 3,5 kilometer dari Puncak Merapi.
Bersepeda Di Gunung Papandayan, Jawa Barat
Gowes ke Puncak
MENGGENJOT pedal di atas Gunung Papandayan sudah biasa. Lebih biasa lagi jika mengambil rute wisata menuju puncak dari Kecamatan Cisurupan, Kabupaten Garut. Tapi cobalah berangkat dari Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung.
Memulai perjalanan dari perkebunan teh Sedep, pedal terus dikayuh melalui Kampung Cibaturua. Teruslah menanjak hingga menemukan camping ground Pondok Salada yang dipenuhi edelweis. Dari situ, sesaat lagi puncak Papandayan (2.664 meter) akan tergapai. Jangan berhenti! Di bawah sana, kawah Papandayan menunggu diseberangi. Inilah sesungguhnya yang membedakan Papandayan dengan trek sepeda gunung lain.
Di atas kawah, adrenalin membuncah. Benak yang berpikir ingin cepat melewati kawah karena uap belerang terus mendesis harus berhadapan dengan jalur penuh batuan vulkanik. Sesekali sepeda pun harus digotong. Setelah kurang-lebih enam jam bersepeda, tibalah di Kecamatan Cisurupan. Gunung Cikuray di horizon menjadi bonusnya.
Jika Anda ingin mencobanya, pilihlah musim kemarau karena kabut menebal pada musim hujan, yang terkadang juga bisa memaksa uap belerang turun. Siapkan perbekalan yang cukup karena tak ada warung di atas sana. Dan yang terpenting, pastikan Gunung Papandayan berstatus aman.
Tubing di Tangkahan, Sumatera Utara
Hanyut di Surga
ADA cara yang lebih menantang untuk menikmati vegetasi hijau di Taman Nasional Gunung Leuser: menaiki ban dalam truk yang sangat besar dan membiarkannya terbawa arus Sungai Batang, Tangkahan, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Berayun-ayun di atas sungai yang tenang, dengan hutan di tepian yang sunyi, cocok bagi Anda untuk sedikit mengendurkan urat saraf. Apalagi jika beruntung bisa melihat kera bergelayutan di pepohonan. Adrenalin sedikit terpacu ketika melewati salah satu bagian sungai yang berubah deras.
Setelah empat setengah jam di atas ban, perjalanan berakhir di air terjun Gelugur yang lebar. "Di permukaan kolamnya, Anda bisa santai berenang," kata Rilly dari Community Tour Operator Lembaga Pariwisata Tangkahan. Wisata tubing di Tangkahan bisa dinikmati dengan membayar Rp 200 ribu per orang.
Untuk menuju Sungai Tangkahan, bisa menyewa mobil dari Bandara Kualanamu, Medan. Sekali jalan biasanya dipungut Rp 600-700 ribu per mobil. Anda juga bisa menempuh perjalanan tiga jam naik bus Pembangunan Semesta yang berangkat dua kali sehari, yakni sekitar pukul 09.30 dan 10.30 WIB, dari Terminal Pinang Baris, Medan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo