Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kuburan Para Jagoan

Adat di Ratenggaro adalah naPas yang menghidupkan kampung ini. ritual bukan hanya syukur, juga penghormatan kepada leluhur.

18 November 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PETANG merembang pada sebuah kampung yang halaman belakangnya berpagar jurang karang, membatasinya dari Samudra Hindia. Deburan ombak yang bersiap pasang berlomba membasahi pasir putih pada pantai yang sempit. Angin dingin menusuk tubuh. Suara gong dan tambur mengalun bersahutan.

Kampung itu terletak di Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur. Ratenggaro namanya. Rate berarti kuburan dan Nggaro atau Gaura adalah nama orang yang pertama tinggal di sana. Awal bulan lalu, saya dan fotografer Gunawan Wicaksono menyambanginya. Masuk administrasi wilayah Desa Umbu Ngedo, Kecamatan Kodi Bangedo, Ratenggaro terpisah 56 kilometer jauhnya dari Tambolaka, ibu kota Kabupaten Sumba Barat Daya. Persis di muara Sungai Waiha.

Sesekali pekikan yang menjadi bumbu keriaan orang Sumba terdengar mengagetkan. Tiba-tiba seorang pria dengan penuh senyum menyodorkan sebilah parang yang ia cabut dari pinggang. Tambur dan gong seketika berhenti, keriaan pun hilang.

"Silakan terima ini," kata Thomas, laki-laki itu, tetap dengan dengan senyum, nada bicaranya tegas. Ia kembali masuk rumah dan meninggalkan kami, tamunya, yang bingung dan takut.

Saya dan Gunawan saling pandang, siapa yang harus mengambil parang itu. Gunawan pura-pura membetulkan letak kamera. Jadilah saya yang harus menerima parang dengan perasaan tegang.

Ketegangan ini muncul dari cerita yang kami dengar tentang kampung ini sebelumnya. Ratenggaro adalah kampung pemenang perang, tempat para jagoan. Dalam sejarah yang saya rangkai dari keterangan beberapa teman yang pernah ke sini, Ratenggaro tak terkalahkan dalam duel antarsuku di Sumba.

Tangan saya makin erat mencengkeram gagang parang. Sampai Thomas kembali menghampiri kami dengan dua tangan yang tersembunyi di punggung. Dalam gerakan cepat ia menunjukkan bawaannya. "Nah, sekarang potong cepat ayamnya, nanti keburu malam, sulit melihat, sebab di sini tak ada listrik," kata Thomas sembari tertawa.

Fiuh. Seisi kampung ikut tertawa melihat ketegangan di wajah tamu asing ini. Tapi saya lega, parang itu bukan untuk berduel, melainkan buat memotong ayam untuk perjamuan makan malam. Gunawan, meski tak menerima parang, harus juga menyembelih ayam.

Penyembelihan ini tidak boleh diwakilkan. Ayam itu akan dipakai meneropong niat dan masa depan para tamu yang berkunjung ke Ratenggaro. Para imam Marapu akan melihat usus ayam atau hati babi. Untuk usus ayam saya dan Gunawan, seorang Marapu berkata bahwa usus itu tak berdarah dan berbelit. Artinya, kami datang dengan niat baik.

Tanpa bumbu apa pun, ayam dibakar dengan bulu-bulunya, lalu dihidangkan. Dalam keremangan pelita dan lamat-lamat suara ombak yang menghantam karang, kami semua bersiap makan bersama. "Penyembelihan dan pembakaran ayam serta makan malam ini merupakan upacara kecil penyambutan dari kami kepada dua saudara yang datang jauh dari Jawa. Semoga untuk kebaikan kita bersama," kata Bapak Desa-sebutan untuk kepala desa-Damianus Ndara Tanggu Lora kepada warga kampungnya.

Malam melarut. Satu per satu orang Ratenggaro pamit. Kantuk juga memberat di mata kami. Meski pembaringan hanya beralas tikar, angin tak mengusik lagi. Saya merasakan aura hangat kekeluargaan.

KOKOK ayam membuat kami terjaga pada pagi yang masih dini. Angin menusuk. Saya dan Gunawan keluar dari dalam rumah menara-sebutan bagi rumah adat Sumba yang berupa rumah panggung beratap menara tinggi-tempat kami menginap. Lima belas menit kemudian, matahari menyiram pucuk-pucuk menara yang menjulang. Siluetnya megah sekali.

Menara pada rumah adat di Ratenggaro, menurut Ndara-panggilan akrab Bapak Desa-adalah yang tertinggi di antara rumah adat lain di seluruh Pulau Sumba, yang mencapai 20 meter. "Menara itu, selain melambangkan status sosial, menyiratkan ada lagi yang lebih tinggi dari manusia, bahkan dari rumah sekalipun," kata ayah tiga anak itu.

Kampung Adat Ratenggaro pernah tiga kali nyaris musnah terlalap api. Insiden pertama terjadi sebelum 1964. Persaingan antardesa saat itu jadi pemicunya. Ndara tak mau berspekulasi siapa pelaku pembakaran. Berdasarkan cerita turun-temurun, ada panah api yang dilontarkan dari luar kampung membakar seluruh rumah di Ratenggaro. Kebakaran kedua terjadi pada 1964. Saat itu, seluruh rumah di kampung habis terbakar. Insiden itu terjadi pada malam hari, di tengah keriaan sebuah pesta adat.

"Sejak saat itu, semua mengungsi ke luar kampung. Sebab, dari 28 rumah adat di kampung ini, tak ada yang tersisa," katanya. Peristiwa ketiga terulang 40 tahun kemudian. Pada 2004, saat baru separuh kampung mampu kembali berdiri, rumah adat mereka kembali dilalap api. Saat ini di Ratenggaro ada 13 rumah adat. Dua di antaranya sedang dikerjakan.

Mendirikan rumah adat merupakan pekerjaan besar. Pengerjaannya tidak hanya melibatkan semua penduduk kampung, tapi juga restu dari para leluhur. "Ritual yang pertama akan memberi petunjuk apakah leluhur mengizinkan kami membangun rumah atau tidak," kata lelaki 43 tahun itu. Jika disetujui, ujar dia, "Ada rangkaian upacara lain, saat proses membuat rumah ataupun pendiriannya."

Pada 2011, tutur Ndara, hajat besar digelar. Rumah utama di Ratenggaro yang mereka sebut Uma Katoda Kataku-rumah yang menyimbolkan ayah atau yang dituakan-dibangun. Semua warga kampung yang berjumlah 600 jiwa hadir. Mereka bergotong-royong menyumbang dana dan makanan serta membantu mendirikan empat tiang utama dan menara hingga sempurna berdiri.

"Sebentar lagi kami juga akan membangun Uma Kapepe, rumah musyawarah," katanya. Uma adalah sebutan mereka untuk rumah.

Di Ratenggaro, ada beberapa rumah khusus yang dihormati, tanpa meniadakan arti penting rumah lainnya. Selain kedua rumah di atas, ada Uma Kalama (simbol dari ibu) serta Uma Katoda Kuri dan Uma Katoda Amahu (sebagai simbolisasi saudara ayah dan ibu). Posisi mereka mewakili empat penjuru mata angin dan berhadapan. Uma Katoda berada paling selatan kampung menghadap ke utara. Di hadapannya ada Uma Kalama, yang menghadap ke selatan. Uma Katoda Kuri berada di timur menghadap ke barat, berhadapan dengan Uma Katoda Amahu.

Semua posisi punya arti. Uma Katoda Kataku, misalnya, sebagai tempat tinggal pendiri kampung, harus berada paling selatan dan menghadap ke utara, mengingatkan bahwa nenek moyang mereka berasal dari utara. Pembeda lain, di rumah khusus pasti dipasangi gelang atau cincin pada tiang utamanya.

"Posisi dan jumlah rumah tak pernah berubah sejak zaman nenek moyang kami ratusan tahun lalu. Setiap posisi rumah punya segel masing-masing," katanya. Leluhur mereka datang dari utara, dari daratan. Karena itu, meski berada di bibir pantai, penduduk Ratenggaro tak ada yang menjadi nelayan. Mereka tidak punya tradisi melaut. Mereka adalah orang gunung yang terjebak di pantai.

Material rumah pun masih sesuai dengan aturan adat. Tiang utama harus terbuat dari kayu kadimbil atau kayu besi. Atap dari alang-alang kering, bambu, kahi kara)-sejenis akar gantung)-dan rotan yang mereka jadikan pengikat bahan bangunan. Jadi rumah mereka tak mengandung unsur logam, baik paku untuk perekat maupun atap seng.

Keterangan Ndara dibenarkan Pastor Robert Ramone C.Ss.R; satu dari segelintir pengamat budaya Sumba. Bahkan, menurut sang Pastor, dalam Marapu, tiang utama Uma Katoda Kataku harus berdiri di atas tengkorak manusia. Biasanya tengkorak itu diambil dari lawan yang mereka kalahkan dalam peperangan. "Namun adat itu sudah tak lagi digunakan pada zaman sekarang," kata lelaki 51 tahun itu.

SIANG menjelang ketika Rangga Kamereh, pemangku kampung lain, mengajak kami berkeliling mengenali tempat keramat lain di kampung yang luasnya lebih-kurang sehektare itu. "Batu yang berserakan itu makam. Kami rawat karena semua leluhur memiliki peran dalam adat dan sejarah kami," kata lelaki 50 tahun yang berprofesi sebagai pegawai negeri ini.

Menurut dia, ada enam titik keramat di dalam kampung. Selain dua makam pendiri Ratenggaro, yakni Gaura dan istrinya, Mamba, ada empat tugu lain yang menjadi ciri. Tugu pertama adalah segel kampung adat sebagai ciri dari teritori kampung. Tugu lain adalah Katoda-batu yang dipercayai bertuah bisa mendatangkan kemenangan dalam berperang. Dua batu itu letaknya ada di depan Uma Katoda. Tugu ketiga adalah kubur Ambu Lere Loha, yang mempunyai kekuatan guntur kilat. Terakhir adalah tugu untuk meminta hujan.

Arsitek M. Resha Khambali, yang pernah tinggal selama tiga bulan di Ratenggaro pada 2011 untuk melihat pembangunan rumah data, bersaksi bahwa tuah dari batu serta makam itu memang nyata. "Saat pembangunan hampir selesai, ada upacara meminta hujan. Betul saja hujan turun, walau sebelumnya cuaca sangat panas," katanya.

Makam di Ratenggaro dibangun bukan dengan cara disemen, melainkan dengan menyusun batu. Dan itu tentu tidak mudah. "Menhir yang beratnya puluhan ton itu diseret beramai-ramai," katanya.

Kubur batu paling prestisius adalah dua kubur yang berada persis di bibir pantai, berjarak 500 meter dari kampung. Yang pertama adalah kubur batu Ratondelo)-anak lelaki pasangan pendiri kampung, Gaura dan Mamba, yang kemudian dipercaya sebagai Raja Sumba. Kedua adalah kubur batu Rato Pati Leko, pejuang terpandang.

Petang kembali merembang. Sudah saatnya kami pulang. Tunggangan untuk kembali ke Tambolaka sudah disediakan. Satu per satu warga kampung kami salami. Mereka mengantar sampai gerbang kampung. Setelah beberapa saat pergi, dari atas sepeda motor saya menoleh ke belakang. Pucuk-pucuk menara rumah kampung adat Ratenggaro terlihat begitu tegak menjulang. Setegak pendirian mereka yang menolak lupa pada akarnya. Menghormati orang tua.


Rute

Pesawat dari Jakarta akan mendarat di Bandar Udara Tambolaka, setelah transit dan berganti pesawat dengan yang berbaling-baling di Denpasar. Ongkos tertinggi Rp 3 juta untuk pergi-pulang.

Kampung Adat Ratenggaro terpisah sejauh 56 kilometer dari Tambolaka)-ibu kota Kabupaten Sumba Barat Daya. Tepatnya di Desa Umbu Ngedo, Kecamatan Kodi Bangedo, Kabupaten Sumba Barat Daya.

Untuk ke sana, Anda bisa menyewa mobil seharian (Rp 500 ribu), menggunakan ojek (Rp 200-250 ribu), dan naik bemo atau oto (Rp 10 ribu)-oto sebutan orang Sumba untuk angkutan umum berupa minibus. Berhenti di Kota Kecamatan Bondo Kodi, lalu naik ojek ke Ratenggaro (Rp 20 ribu).

Tip

  • Pakaian kasual karena udara sangat panas.
  • Sepatu dengan sol agar terhindar karang.
  • Taat kepada semua tata krama kampung adat. Hampir semua peraturan adat di Ratenggaro tak tertulis. Salah bertingkah bisa jadi terkena sanksi berat.

    Kapan Sebaiknya

    Upacara Pasola merupakan hajatan besar bagi rakyat Sumba. Pada Februari, Pasola diadakan di kawasan Lamboya dan Kodi. Sedangkan pada Maret, Pasola mengambil tempat di Wanukaka dan Gaura.

    Uma katoda kataku

    Witi Karimibyo

  • Delapan tiang bambu penyangga menara. Diibaratkan kaki-kaki kerbau.
  • Kadu Uma. Ukiran kayu di atap rumah, perlambang ibu-bapak di atas segalanya.

    Alang-alang

  • Penutup atap yang dirangkai, berganti setiap 5-10 tahun.

    Peda/ Lumbung

  • Tempat menyimpan makanan.

    Gelang/Lele

  • Ditempatkan sebagai status sosial yang tinggi di empat tiang utama. Kegunaan praktisnya mencegah tikus masuk ke lumbung.
  • Dapur dan perapian

    Pintu masuk perempuan

  • Perempuan masuk dari belakang rumah.

    Batu tempat meminta hujan

  • Tugu batu yang dipercayai bisa mendatangkan hujan.

    Pongga Kertanda Limbioro

  • Tiang penyokong keluarga.

    Pongga Kataku

  • Tiang utama rumah yang pertama didirikan saat pembangunan. Dulu warga mendirikan tiang ini diatas tumpukan tengkorak lawan yang kalah perang.

    Segel Kampung

  • Tugu batu yang menjadi tonggak atau ciri kampung.

    Bale-bale Kebijaksanaan

  • Tempat orang tua memberi nasihat kepada anaknya.

    Pintu Masuk lelaki

  • Pintu depan rumah hanya untuk lelaki

    Pongga Panginjetong

  • Tiang kedua, perlambang ibu.

    Pongga Kertanda Handoka

  • Tiang penyokong keluarga.

    Gerbang pintu masuk kampung adat Ratenggaro.

  • Natar, semacam plaza tempat semua upacara adat dan pertemuan kampung digelar.
  • Makam Gaura, orang pertama yang menempati Kampung Ratenggaro.
  • Makam Maya, istri Gaura.

    Batu Katoda

  • Dipercayai warga kampung sebagai pemberi kekuatan sebelum perang.

    Letak Rumah:

  • Uma Katoda Kataku
    Rumah utama kampung perlambang ayah.
  • Uma Kalama
    Rumah kedua, perlambang ibu.
  • Uma Katoda Kuri
    Rumah perlambang penyokong keluarga (ayah+ibu).
  • Uma Katoda Amahu
    Rumah perlambang penyokong keluarga (ayah+ibu).
  • Uma Kapepe
    Rumah khusus tempat musyawarah.
    KAMPUNG ADAT

    Pulau Siberut, Sumatera Barat
    Harmoni Uma

    Kepulauan Mentawai merupakan kabupaten di Sumatera Barat yang tidak memiliki tradisi dan budaya khas Minang. Untuk ke sana, kita bisa menggunakan kapal kayu dari pelabuhan Bungus dan Muara Baru, Padang, memakan waktu 10-12 jam. Atau dengan speedboat sekitar 5 jam.

    Suku Mentawai tinggal di rumah tradisional yang mereka sebut uma. Dua hal yang menjadi impian turis datang ke sini: berselancar di ombak yang bisa mencapai enam meter di beberapa lokasi pada musim tertentu dan menyelami kehidupan sehari-hari suku Mentawai di Pulau Siberut.

    Pulau ini bisa dicapai dengan naik kapal ke Pelabuhan Maileppet, Pulau Siberut. Suku Mentawai, yang masih memiliki tradisi yang kental, bisa ditemukan di Desa Madobag dan Dusun Butui, Kecamatan Siberut Selatan. Dari Muara Siberut harus naik pompong (perahu kayu) selama empat jam menyusuri sungai.

    Di Desa Madobag, masih ada beberapa uma. Tapi, jika ingin lebih dekat dengan kehidupan suku ini, berjalan kakilah selama satu-dua jam ke Dusun Butui, melalui jalan setapak yang sebagian sudah disemen dan sebagian lain masih berlumpur. Bila debit air sedang naik, bisa juga menggunakan perahu. Di kampung inilah sikerei-dukun sekaligus pemimpin upacara adat-bersama keluarganya hidup harmonis dengan alam. Satu uma diisi lima keluarga. Di dalamnya mereka berkumpul, melakukan upacara, dan mempraktekkan pengobatan.

    Kampung Adat Bayan, Nusa Tenggara Barat
    Sanksi Berat penebang pohon

    Kampung adat Bayan, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, sekitar 75 kilometer dari Mataram, memiliki kearifan sendiri dalam menjaga adat dan alam yang mereka huni. Bentuk rumah, masjid, upacara adat, dan pola hidup tidak ada yang berubah hingga kini.

    Rumah adat mereka, misalnya, atapnya terbuat dari rumbia, berdinding bambu, dan lantainya dari tanah yang dipadatkan. Tanpa sekat dan jendela, hanya berpintu satu serta pasti menghadap ke barat atau timur. Setiap rumah memiliki beruga, sejenis gazebo, bertiang enam-beruga sekenem. Lalu ada juga masjid kuno Bayan Beleq. Arsitektur masjid tetap dipertahankan sejak berdiri sekitar abad ke-14. Material masjid dari bambu dan kayu suren serta tanpa paku. Lantainya dari tanah yang dipadatkan dan penerangannya masih menggunakan obor.

    Masyarakat adat Bayan juga punya tradisi menjaga kelestarian alam. Enam hutan adat yang tersebar di tiga wilayah masing-masing dijaga oleh seorang pemangku hutan adat. Hutan itu juga dilindungi oleh aturan adat atau awiq-awiq. Bagi yang merusak hutan adat, misalnya menebang satu pohon, akan dikenakan sanksi berupa denda satu ekor kerbau, satu kuintal beras, dan 244 keping uang bolong.

    Kampung Adat Bena, Nusa Tenggara Timur
    Rumah batu 12 abad

    Rumah-rumah batu beratap ilalang berusia lebih dari 1.200 tahun tetap bertahan hingga sekarang. "Hanya atap rumah yang diganti setiap 30 tahun sekali," ujar Moses Seba, 82 tahun, warga Bena. Berbagai ornamen kampung tetap bertahan dari bebatuan, seperti fondasi rumah, makam leluhur, tempat upacara adat, dan panggung pertemuan adat.

    Batu besar menjulang menyerupai payung di tengah kampung, disebut ngadhu, berfungsi sebagai tempat ibadah dan dipercaya sebagai media penghubung warga Bena dengan leluhur mereka di puncak Gunung Inerie. Sedangkan bhaga, rumah panggung beratap ilalang, berfungsi sebagai tempat upacara adat.

    Warga Kampung Bena menganut sistem matriarki. Setelah menikah, laki-laki akan mengikuti keluarga perempuan pergi ke luar kampung. Festival Bena, yang diadakan setiap Natal, akan kembali menyatukan ikatan kekerabatan mereka. "Saat itu, semua orang Bena akan pulang kampung untuk upacara adat," ujar warga Bena, Sofia . Bena terletak di Desa Tiworiwu, Kecamatan Aimere, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur. Tempat ini bisa ditempuh sekitar 30 menit dengan mobil dari Kota Bajawa, ibu kota Ngada.

    Suku Korowai, Papua
    Berumah di atas Pohon

    Suku Korowai baru ditemukan 30 tahun silam. Selama berabad-abad, keberadaan mereka tersembunyi di belantara Distrik Kaibar, Kabupaten Mappi, Papua. Tepatnya di selatan kaki Pegunungan Jayawijaya. Sebelumnya, mereka bahkan tak tahu ada manusia selain suku mereka sendiri. Itu sebabnya kebudayaan mereka berbeda dengan suku Papua lainnya. Salah satunya, tak menggunakan koteka. Kaum pria menggunakan akar pohon untuk menutup alat kelaminnya.

    Tiga ribu orang suku Korowai hingga sekarang masih hidup dengan tradisinya. Tiap keluarga membangun rumah di atas pohon liar setinggi 15-50 meter untuk menghindari roh jahat dan binatang buas. Dari ketinggian rumah mereka, terhampar permadani hijau pepohonan Papua yang menakjubkan.

    Dulu kabar tentang kanibalisme suku Korowai sempat beredar. Saat ini hal itu tak ada lagi. Kanibalisme saat itu hanya dilakukan sebagai hukuman. Sekarang mereka akan senang hati menerima tamu menginap di rumah dan hidup seperti mereka. Menikmati kesunyian. Di sana, waktu terasa berhenti.

    Untuk ke sana, kita harus naik mobil dan perahu serta berjalan kaki menembus hutan, sungai, dan rawa. Distrik Kaibar bersebelahan dengan Kabupaten Boven Digoel. Bisa juga lewat Kabupaten Asmat dengan menelusuri sungai selama dua hari. Kemudian dilanjutkan berjalan kaki menuju desa. Selama perjalanan, harus singgah dan menginap di beberapa perkampungan suku Papua. Jangan khawatir, suku-suku lain pun sudah terbiasa menyambut pelancong.

    Wae Rebo, Nusa Tenggara Timur
    Kabut Tujuh Kerucut

    Hanya ada satu akses menunju Wae Rebo, kampung yang masih memelihara rumah adat berbentuk kerucut: berjalan kaki membelah kawasan hutan lindung Gunung Todo Repok seluas 10.500 hektare. Jalan setapak yang lebarnya hanya 30 sentimeter ini dapat ditempuh hanya 1,5-2 jam oleh penduduk setempat. Jangan kaget kalau melihat mereka mampu berjalan telanjang kaki dan minus ngos-ngosan. Untuk orang luar, sanggup sampai dalam waktu empat jam saja sudah bagus.

    Semua rasa lelah akan hilang begitu melihat tujuh rumah adat berbentuk tumpeng warna hitam yang disebut mbaru niang. Letaknya di kaki bukit, yang terkadang tertutup kabut. Kita bisa merasakan hidup seperti penduduk setempat, dari tidur di mbaru niang, makan hidangan lokal, hingga bersih-bersih di sungai. Fasilitasnya memang tak seperti hotel. Tapi kehangatan dan kesederhanaan masyarakat di sana cukup membuat kerasan.

    Air sungai dan udaranya bersih, makanannya lumayan enak-bisa memesan haram atau halal. Wisatawan juga bisa mempelajari kebudayaan setempat dan arsitektur mbaru niang yang tanpa paku dan atap. Harga semua fasilitas tersebut hanya Rp 150 ribu per malam.

    Kalau datang dari luar Flores, turis biasanya tiba melalui Labuhan Bajo, lanjut melalui darat selama lima jam ke Denge, Kecamatan Satarmese, Manggarai. Setelah menginap semalam di rumah penduduk, perjalanan berlanjut ke Kampung Kombo. Barulah nanti menemukan jalan setapak menuju Wae Rebo.

    Long Berini, Kalimantan Utara
    Penjaga Tradisi Kenyah

    Di Long Berini, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara, seni-budaya Dayak masih dijaga. Meski busana masyarakat di sana sudah seperti orang kebanyakan-pakaian tradisional sudah tak lagi dipakai sehari-hari, misalnya-mereka masih tinggal di rumah panggung dan apa yang mereka makan, sedikit-banyak, bergantung pada keramahan alam.

    Adalah Dan Udau, tetua kampung itu, yang berjasa menjaga adat di kampung tepi Sungai Hulu Bahau ini. Dia mahir memainkan sampe'-gitar berdawai tiga khas Dayak. Setiap hari, rumah Dan Udau penuh dengan anak muda yang ingin berlatih menari dan menyanyikan lagu-lagu warisan orang tua mereka. Di Long Berini, seni dan budaya Dayak mengalir bersama di urat nadi.

    Lembah Bada, Sulawesi Tengah
    Dusun Megalitikum

    Di dunia ini, hanya dua daerah yang memiliki patung megalitikum. Pertama di Marquise Island, Amerika Latin, dan yang kedua di Lembah Bada, Poso, Sulawesi Tengah. Berbeda dengan Marquise, patung-patung di lembah itu berbentuk mirip manusia, lengkap dengan bagian tubuh. Ada juga patung berbentuk gentong. Usianya diperkirakan 1.500-3.000 tahun.

    Lembah Bada berada di Taman Nasional Lore Lindu. Ada dua rute menuju ke sana. Pertama menggunakan pesawat kecil dari Palu dan mendarat di Bandara Tentena, Poso. Dari situ, perjalanan dilanjutkan dengan mobil atau sepeda motor selama empat jam. Bisa juga dengan mengendarai angkutan umum selama tiga jam dari Terminal Mosamba, Palu, ke arah Gimpu. Dari situ, perjalanan dilanjutkan dengan mobil atau sepeda motor selama empat jam. Turis bisa menginap di rumah penduduk dan guest house.

    Kawasan ini pertama kali ditemukan oleh ilmuwan Belanda pada awal abad ke-20. Cerita turun-temurun menyebutkan patung-patung itu dibuat oleh suku Napu, Besoa, dan Bada. Mereka diperkirakan sudah memiliki kebudayaan yang maju ketika itu. Namun ragam mitos masih mewarnai kisah suku, lembah, dan patung-patung itu.

    Hingga sekarang, tak ada yang bisa memastikan jumlah dan apa fungsi patung itu. Semakin lama patung yang ditemukan semakin banyak. Alkisah, patung itu tak akan ditemukan bila sengaja dicari.

    Putussibau, Kalimantan Barat
    Betang berpasak rotan

    Kejeniusan nenek moyang suku Dayak tecermin dari arsitektur rumah panjang mereka. Puluhan tiang kayu berdiamater setengah meter menopang rumah panjang-masyarakat setempat menyebutnya rumah betang-dengan kokoh selama puluhan tahun. Semua tiang dan lantai dibangun dari kayu ulin yang diambil dari belantara hutan Kalimantan. Hanya pasak dan rotan yang menyatukan kayu-kayu itu.

    Rumah ini panjangnya bukan main, paling pendek 100 meter dan terpanjang 286 meter. Lebarnya 5-8 meter. Rumah betang memiliki kamar (ruai) minimal 50 petak, dan sepetak ruangan besar untuk upacara adat. Di rumah betang semua aktivitas puluhan keluarga berlangsung.

    Rumah ini berjejer di sepanjang bibir Sungai Kapuas, sungai terpanjang di Indonesia. Umumnya berada di dekat Putussibau, ibu kota Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Sebenarnya ada jadwal reguler penerbangan pesawat dari Pontianak ke Putussibau. Namun terkadang dibatalkan. Maka disarankan menggunakan mobil. Selama 13 jam perjalanan, Anda akan disuguhi pemandangan lebatnya hutan Kalimantan.

    Sebelum menikmati rumah betang, ada Taman Nasional Betung Kerihun. Perjalanan menyusuri Sungai Kapuas bisa berhari-hari dengan perahu. Di perjalanan, para pemilik rumah betang dengan senang hati menyiapkan penginapan dan makanan. Mengajak para tamu untuk hidup seperti mereka. Satu tip penting selama di sana: jangan malu menawar harga.

    Desa Jangga, Sumatera Utara
    Mari menyulam ulos

    Kehidupan suku Batak tradisional masih berlangsung di Desa Jangga, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara. Para penduduk desa hidup dengan menjunjung tinggi budaya dan hukum adat di tengah alam yang masih asri. Keharuman nama desa ini bahkan tercium hingga Belanda dan Jerman.

    Desa ini berada di lereng Gunung Simanuk-manuk, atau sekitar 24 kilometer dari Parapat, Danau Toba. Biasanya turis singgah ke Desa Jangga setelah menikmati keindahan Danau Toba. Udara desa masih sejuk dan segar. Menuju ke sana cukup menggunakan angkutan umum selama 4-6 jam dengan bonus keindahan alam tanah Batak di sepanjang jalan. Sudah tersedia banyak home stay di sekitar desa.

    Rumah adat Batak masih mendominasi desa ini. Usianya ratusan tahun dan masih terawat baik. Di dinding-dinding rumah masih terlihat ukiran khas Batak-disebut gorga. Wisata sejarah juga bisa dinikmati di desa ini. Di ujung desa terdapat dua makam Raja Batak, yakni Raja Tambun dan Raja Ma.

    Sambil berjalan-jalan, pelancong akan disuguhi pemandangan para perempuan yang membuat ulos di pekarangan rumah. Ulos buatan Desa Jangga sudah termasyhur hingga mancanegara. Ulos produksi mereka dikenal kuat, memiliki motif yang lebih rumit, dan lebih cantik. Mereka juga dengan senang hati akan mengajari Anda cara membuatnya. Bila Anda tertarik, ulos itu bisa dibeli sebagai buah tangan.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus