Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tiga Serangkai di Pedalaman Luwu

Tiga danau yang masih alami itu saling terhubung oleh dua sungai. Salah satunya termasuk yang terluas di Indonesia.

18 November 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di dermaga kayu kecil yang menjorok sekitar 20 meter ke tengah danau itu, seorang remaja menukik, melesat ke dalam air yang jernih dan tenang. Tak jauh dari situ, seseorang berenang bolak-balik di antara dua cabang dermaga. Di kejernihan air bak kaca itu, terlihat serombongan ikan opudi, ikan kecil endemik di danau ini, berenang lamat-lamat di sela tiang penyangga kade.

Di kejauhan terlihat jajaran bukit Torukuno Lela. Seekor burung mirip bangau, mungkin pecuk ular (Anhinga melanogaster), yang lazim dijumpai di kawasan ini, melayang-layang di atas air. Burung itu menuju danau, menyambar ikan di air, lalu terbang dan hinggap di rerimbunan pohon yang memperdengarkan teriakan-teriakan kera. Di tempat ini memang masih banyak monyet dare hitam (Macaca maura). Matahari perlahan muncul dari celah-celah bukit. Danau Matano, di fajar itu, persis foto pemandangan di kartu pos.

Saya melepas pakaian dan meloncat dari papan lompat. Airnya dingin, tapi tak membuat menggigil. Kejernihan air Matano membuat saya bisa melihat dasarnya—tempat saya mencebur itu—dipenuhi tumbuhan air berwarna cokelat dan ikan-ikan yang berkeliaran. Penduduk Soroako menyebut kawasan ini Pantai Ide, meski tak ada laut di sini. Satu kilometer ke arah barat laut, ada Pantai Salonsa, yang tanpa dermaga dan tepian dangkalnya lebih luas. Kedua kawasan wisata ini terawat baik dan terbilang bersih.

Danau Matano terletak di Kecamatan Nuha, Kabupaten Luwu Timur. Desa Soroako, yang terletak di sisi barat danau, telah berkembang jadi kota modern yang rapi, terutama karena sebagian besar daerah ini dikelola PT Vale Indonesia (dulu PT Inco), perusahaan tambang nikel yang beroperasi sejak 1968. Rumah peristirahatan milik perusahaan berjejer di sepanjang tepi danau, termasuk lapangan golf.

Dengan kedalaman sekitar 590 meter, Matano menjadi danau terdalam di Asia Tenggara dan terdalam kedelapan di dunia. Danau ini tersambung melalui sungai dengan Danau Mahalona, dan Danau Towuti di bagian selatan. Towuti, yang luasnya 561 kilometer persegi, merupakan danau terluas kedua di Indonesia. Ketiga danau ini terbentuk akibat kegiatan tektonik jutaan tahun silam.

Soroako dapat ditempuh dengan angkutan udara dan darat dari Makassar. Saya dan juru foto Nita Dian memilih berangkat melalui jalur udara dan pulang lewat jalur darat. Sehari sebelumnya, dari Kota Makassar, saya naik pesawat Fokker 50 milik Indonesia Air yang disewa Vale. Saya kebagian bangku nomor 4F dalam pesawat berkapasitas 44 penumpang itu.

Satu jam kemudian, pesawat mendarat di Bandar Udara Soroako, tepat di seberang Terminal Soroako, tempat bus dari Makassar dan kota lain terparkir. Lantaran tak ada angkutan umum di desa ini, kami pun naik ojek menuju sebuah hotel yang menghadap ke Danau Matano. Sisa hari kami habiskan dengan mengunjungi Pantai Ide dan Pantai Salonsa yang permai.

Pantai Salonsa terletak tak jauh dari Pantai Ide. Pantai ini tak punya dermaga, tapi dipenuhi rumput hingga ke batas air. Airnya hingga agak ke tengah juga tak begitu dalam, sehingga banyak anak-anak bermain di sana. Mereka berenang bertelanjang bulat dan orang tua mereka terlihat mengawasi sambil duduk di rerumputan.

Keesokan harinya, kami menyambangi dermaga Soroako. Dermaga di dekat Pasar Soroako itu menjadi gerbang utama menuju dua desa di seberang danau: Desa Matano dan Desa Nuha, Kecamatan Nuha.

Kami menyewa sebuah ketinting (perahu bermotor) untuk mengunjungi beberapa lokasi di sekitar danau. Setelah tawar-menawar, Hendra, pemilik ketinting, setuju mengantar kami berkeliling dengan ongkos Rp 400 ribu sehari penuh. "Barusan ada peneliti asing yang sewa Rp 1 juta untuk kapal yang lebih besar. Mereka masih berada di tengah sana," kata Hendra sambil menunjuk sebuah kapal di tengah danau.

Hendra warga asli Desa Matano dan sehari-hari bekerja di sebuah perusahaan kontraktor di Soroako. Dengan cekatan dia menarik ketinting merapat ke dermaga, sehingga kami bisa naik dan segera berlayar. Perahu hijau bercadik itu bergerak tak jauh dari tepi danau, sehingga saya bisa melihat Pantai Ide dan Salonsa serta perumahan milik Vale yang khas—semuanya dari kayu dan tanpa pagar.

Sekitar 20 menit kemudian, mesin perahu mati dan Hendra mendorong perahunya pelan merapat ke tebing karang yang dipenuhi semak belukar. Persis di bawah tebing itu, tampak sebuah lubang yang sebagian tenggelam di air. "Ini gua bawah air. Anda bisa menyelam dan muncul di dalam gua sana atau melompat dari lubang di atas," ujarnya.

Saya memilih jalan kedua dan melompat ke darat. Dengan merambat pada akar dan dahan pohon, saya memanjat dinding karang itu hingga menemukan permukaan yang agak datar di atas. Ketika bisa berdiri tegak, tampaklah sebuah lubang selebar sedepa yang dikelilingi batu dan tanah. Ada tiga tempat yang tampaknya bekas diinjak orang. Saya melongok ke bawah dan tampak di sana air yang tenang dan hijau berkilauan. Tinggi lubang ini 10-15 meter. Setelah mengumpulkan keberanian, akhirnya saya meloncat dan tercebur ke kolam dalam gua itu.

Kaki belum mencapai dasar ketika daya tekan dari bawah melontarkan tubuh saya ke permukaan. Saya menepi dan berpegangan pada karang yang menonjol di dinding. Gua itu kira-kira separuh luas lapangan badminton. Karangnya kebanyakan menonjol ke bawah. Airnya jernih, sehingga bayang-bayang batu besar di dasar sana tampak jelas dari permukaan. Kolam itu hijau ditimpa cahaya matahari dari lubang tadi dan lubang kecil yang menghadap ke danau. Ini betul-betul gua rahasia. Kecantikannya hanya bisa dinikmati dengan memasukinya.

Banyak gua di sepanjang tepian danau, tapi Hendra tak mengizinkan kami mencoba semuanya. "Beberapa tempat berbahaya karena jadi sarang ular dan buaya," katanya. Buaya dan ular memang kerap dijumpai di sekitar Danau Matano. Tapi, menurut sejumlah orang, buaya di sini lebih "bersahabat" daripada yang ada di Danau Towuti, yang bahkan pernah menyerang manusia.

Hanya beberapa menit dari gua bawah air, kami tiba di gua lain. Kali ini kami harus memanjat dinding tebing agak lebih tinggi. Gua itu, seperti gua umumnya, kering dan berbatu. Tak seberapa luas, tapi ada tulang yang berserakan di situ. Penduduk sekitar menyebutnya Gua Tengkorak karena dulu banyak tulang-belulang manusia di sana yang konon sudah ada sejak masa pra-Islam.

Masih banyak tempat menarik lain di sana, seperti Pulau Kucing, gugusan karang kecil dengan dua pohon mangga besar, dan Kali Dingin, sungai yang airnya tetap dingin hingga bertemu dengan air danau yang hangat. Di Desa Mahalona, kurang dari sejam dari dermaga Soroako, kita bisa membasuh muka di Mata Air Bora-bora, yang letaknya hanya beberapa langkah dari tepi danau dan dasarnya sering mengeluarkan gelembung udara.

Desa itu dulu merupakan cikal-bakal Kerajaan Luwu dan penghasil besi terbaik di Nusantara. Hasil penelitian Australian National University menyebutkan desa itu sudah dihuni sekitar 2.000 tahun lalu dan tanahnya mengandung bijih besi. Besi dari desa inilah yang diperkirakan menjadi sumber bagi "pamor Luwu", kandungan khas pada keris dari Luwu, yang sudah dikenal sejak zaman Majapahit.

Peneliti memperkirakan pengolahan besi besar muncul di Matano pada abad ke-15 dan ke-16. Menurut sesepuh desa dan mantan prajurit Darul Islam pimpinan Kahar Muzakkar, Dewi, di wilayah ini dulu ada 40 tempat pandai besi yang membuat senjata dan meriam. "Meriamnya besar sekali, bisa sepanjang dua meter," kata lelaki 98 tahun itu. Namun, ketika Belanda masuk, ujar Dewi, semua tempat pengolahan besi dan senjata itu disita. Masyarakat juga dilarang mengolah bijih besi. "Sejak itu, orang-orang tua tak berani lagi bikin senjata dan tak ada lagi yang kemudian bisa bikin," ucap Dewi. Penduduk desa itu kemudian hanya berkebun cokelat atau merica. Hingga kini.

Air Danau Matano mengalir ke Danau Mahalona melalui Sungai Petea dan terus tersambung ke Danau Towuti setelah melewati Danau Tominanga. Danau Towuti merupakan danau terluas kedua di Indonesia—setelah Danau Toba. Sayang, danau ini hanya dipenuhi rumah penduduk dan hutan, belum menjadi tempat wisata yang memadai. Bahkan tepian danaunya sudah padat dengan rumah penduduk, sehingga tak ada ruang bagi wisatawan untuk bermain-main menikmati airnya.

Saya memutuskan menyambangi Danau Mahalona. Namun tak banyak orang yang tahu cara mencapainya. Setelah bertanya ke sana-kemari, akhirnya kami mendapat petunjuk agar menuju Towuti lebih dulu, sekitar satu jam dari Soroako. "Kampung Baru, ya? Lurus aja ke sana," kata seorang warga di dekat dermaga kapal di Desa Tolu, Kecamatan Towuti, di tepi Danau Towuti, sambil menunjuk jalan yang lurus ke arah utara.

Marsec, pengemudi mobil yang mengantarkan kami, menelepon temannya yang pernah ke Mahalona. "Kata teman saya, jalan ke sana tak bisa dilewati­ kalau hujan," ujar Marsec, yang kemudian mengarahkan mobilnya ke Desa Timampu, lalu berbelok keluar dari jalan aspal dan masuk ke jalan tanah yang lebar.

Jalan itu masih berupa tanah merah dan batu. Jelas, bila hujan deras, jalan itu akan jadi kubangan lumpur. Jalannya menanjak dengan hutan di kiri-kanan. Selama satu jam kendaraan kami nyaris sendirian menyusuri jalan itu, hingga akhirnya bertemu dengan sebuah jembatan beton dan sebuah desa di seberangnya.

Desa Tolu menjadi desa pertama dari deretan lima desa dengan Desa Mahalona sebagai desa induk berada paling ujung. Penduduknya kebanyakan berkebun merica. Erwin, seorang pemilik perahu, lalu mengantar kami menyusuri Sungai Tominanga menuju Danau Mahalona.

Sekitar 10 menit kemudian, kami tiba di muara sungai. Danau Mahalona, danau terkecil dari tiga danau di Luwu Timur, terhampar di depan kami. Kami berlabuh di sebuah daratan yang agak luas dengan lantai dari batu yang nyaris rata. "Sudah lima bulan surut begini. Kalau pasang, air bisa sampai ke pinggang," kata Erwin. Memang masih terlihat bekas air pasang pada beberapa batang pohon di daratan itu.

Air danau itu jernih dan biru. Tepiannya banyak ditumbuhi semak dan bakau. Permukaan airnya tenang, sangat bagus untuk bersampan-sampan. Menurut Erwin, warga desa sering piknik ke sana bila air sedang surut.

Tak jauh dari tempat kami, tampak sebuah pondok kayu yang sudah bobrok. "Orang desa pernah mencoba menanam padi di sini, tapi gagal. Setiap menjelang panen, air pasang memusnahkan semuanya," ujarnya.

Danau-danau di Luwu Timur masih alami dan belum banyak diketahui orang. Lokasinya memang tersembunyi dan transportasi ke sana masih sulit. Keindahan tersembunyi itu, betapa pun, tentu akan menarik minat "petualang" wisata yang ingin melihat tempat-tempat yang belum terungkap di Nusantara.


Tiga Serangkai

Matano, Mahalona, dan Towuti adalah tiga danau tektonik yang berhubungan melalui sungai. Sejak 1979, ketiga danau dan hutan di sekitarnya ditetapkan pemerintah sebagai hutan suaka alam dan taman wisata alam.

Matano

  • Luas: 164 km2
  • Kedalaman: 590 meter
  • Danau terdalam di Asia Tenggara dan terdalam kedelapan di dunia

    Mahalona

  • Luas: 24,4 km2
  • Kedalaman: 73 meter

    Towuti

  • Luas: 561 km2
  • Kedalaman: 203 meter
  • Danau terluas kedua di Indonesia setelah Danau Toba

    Transportasi

    Tak ada transportasi umum di sini. Hanya ada ojek motor yang tarifnya sesuai dengan jarak, mulai Rp 15 ribu. Bila hendak melihat Danau Matano dan berkeliling Soroako saja, Anda dapat menyewa mobil dengan tarif Rp 300 ribu sehari.

    Perjalanan ke Danau Towuti di Wasuponda, sekitar setengah jam dari Soroako, dan ke Danau Mahalona, sekitar satu jam dari Wasuponda, dapat ditempuh dengan menyewa mobil, mulai Rp 400 ribu.

    Untuk berkeliling danau, Anda dapat menyewa ketinting (perahu bermotor) dengan tarif mulai Rp 200 ribu.

    Total biaya selama tiga hari ke Matano dari Jakarta Rp 4-6 juta untuk transportasi dan akomodasi.

    Kapan ke Sana

    Tidak ada acara budaya khusus di tempat ini, sehingga Anda bisa datang kapan saja. Tapi sebaiknya Anda datang pada musim kemarau, sehingga dapat berlayar mengitari danau. Pada musim hujan, permukaan air danau dapat naik beberapa meter dan ombaknya tinggi.

    Hotel dan Kuliner

    Ada beberapa hotel kecil di Soroako yang layak. Salah satunya Grand Mulia Hotel, persis di tepi dan menghadap ke Danau Matano. Tarif kamarnya beragam, mulai Rp 350 ribu.

    Beberapa restoran kecil dan warung tenda yang menawarkan berbagai jenis makanan terdapat di Pasar Soroako. Masakan terkenalnya adalah kapurung, bubur sagu dengan kuah ikan. Umumnya warung buka pada pagi hari.

    Perbankan dan Internet

    Ada bank BRI dan Mandiri di sini. Tapi sebaiknya Anda memegang uang tunai yang cukup, karena semua transaksi dilakukan secara tunai, termasuk membayar sewa hotel.

    Jaringan Internet dan GSM sudah tersedia, tapi hanya untuk Telkomsel.

    Rute

    Jalur udara Makassar-Soroako ditempuh dengan pesawat Fokker 50 milik Indonesia Air yang disewa PT Vale Indonesia. Masyarakat umum dapat memakainya dengan tiket seharga Rp 1,2 juta per orang. Pesawat berangkat pukul 12.30 dan tiba satu jam kemudian.

    Jalur darat dengan naik bus umum dari Terminal Daya di Makassar mengambil jurusan Soroako. Harga tiketnya Rp 160-220 ribu. Perjalanan berlangsung sepanjang malam selama sekitar 13 jam.


    DANAU

    Sentani, Papua
    Damai Bersama Kami

    Berlibur ke tanah Papua belum lengkap jika tak singgah ke Danau Sentani. Dari udara pun, jika kita hendak mendarat di Bandar Udara Sentani, Jayapura, keelokannya sudah membuat takjub. Airnya kebiruan, dikelilingi bukit. Tak bosan mata menatapnya.

    Sentani berarti "Di Sini Kami Tinggal dengan Damai". Nama itu diberikan oleh B.L. Bin ketika ia menjalankan misi misionaris pada 1898. Danau ini pernah menjadi pangkalan militer Jenderal MacArthur saat Perang Dunia II. Jejak pertempuran pasukan Amerika Serikat itu kini diabadikan dalam sebuah monumen yang berada di salah satu bukit, Gunung Ifar.

    Danau Sentani berada di ketinggian 75 meter di atas permukaan laut. Danau yang berada di lereng Pegunungan Cagar Alam Cycloops ini merupakan danau terluas di tanah Papua, membentang sepanjang 30 kilometer antara Kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura.

    Tidak sulit menjangkau Danau Sentani. Dari Bandara Sentani, lokasinya bisa diakses lewat perjalanan darat dengan waktu tempuh tidak sampai setengah jam. Angkutan umum dan ojek bisa menjadi alternatif jika tak ada kendaraan pribadi.

    Jika berkunjung pada bulan Juni, Anda bisa menyaksikan Festival Danau Sentani. Festival yang berlangsung selama lima hari itu merupakan pesta akbar masyarakat setempat yang diisi sejumlah pertunjukan seni, tari, dan upacara serta sajian makanan khas Papua.

    Larson, Papua
    Warna-Warni Belibis

    Berada di jalur pendakian menuju puncak Carstensz, dari Danau Larson kita bisa melihat jejeran Pegunungan Jayawijaya. Danau ini dikelilingi padang rumput yang cukup luas.

    Di danau ini banyak burung belibis yang berenang-renang sebelum "mengudara" kembali. "Warnanya ada yang hitam, cokelat, dan putih," kata Xaverius Frans, 26 tahun, aktivis pencinta alam Mahitala Universitas Parahyangan, yang menyinggahi danau ini pada 2012. Waktu terbaik untuk menikmati keindahan Larson adalah pada saat matahari terbit hingga pukul 10.00. Selewat jam itu, kabut akan turun, menutupi danau.

    Menuju danau ini bisa melalui Nabire atau Timika, kemudian disambung penerbangan selanjutnya ke Sugapa. Dari sini dibutuhkan jalan kaki selama empat hari untuk "bertemu" dengan Larson. Selain lewat Sugapa, ada dua tempat untuk menuju Larson, yakni Ilaga dan Beoga. Di dekat danau ini ada tempat yang biasa dipakai para pendaki sebelum melanjutkan perjalanan menuju puncak Carstensz.

    Depati Empat, Jambi
    Di Antara Dua Bukit

    Berada di ketinggian 1.175 meter di atas permukaan laut, danau ini berada di dalam kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat, Kabupaten Merangin, Jambi. Meski Depati Empat berada di zona pemanfaatan, yang artinya bisa untuk pengembangan wisata, jalan menuju danau ini masuk "zona rimba".

    Karena letaknya yang tak gampang dijangkau itulah yang kerap ke sana hanya penduduk desa setempat yang mencari ikan. "Atau beberapa mahasiswa pencinta alam," kata Dian Risdianto, Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Kerinci Seblat Wilayah II.

    Danau seluas 217 hektare ini dikelilingi dua bukit: Pandan Tua dan Pandan Bungsu. Berdiri di tepi danau ini, kita bisa menikmati keindahan tiga gunung sekaligus: Gunung Sumbing, Nilo, dan Masurai. Bukan hanya Depati Empat yang ada di Jangkat. Di sini juga ada tiga danau lain, yakni Danau Pauh, Tinggi, dan Kecik. Di seputar danau ini masih berkeliaran harimau Sumatera. Tim Dian pada September 2012 menemukan jejak kaki hewan itu.

    Untuk menuju Depati Empat, dari Kota Jambi ke Bangko, ibu kota Merangin, kita memerlukan waktu sekitar delapan jam naik kendaraan darat hingga Desa Pulau Tengah. Setelah itu, berjalan kaki menyusuri hutan selama lima jam.

    Weekuri, Nusa Tenggara Timur
    Laguna Primadona Sumba

    GEMURUH mesin jip yang saya tumpangi dari Tambolaka—ibu kota Kabupaten Sumba Barat Daya—mati tepat di sebuah tebing karang yang curam. Sekejap keheningan menyergap. Telinga saya nyaris tak sedikit pun mendengar suara.

    Tapi, saat saya keluar dari mobil, lamat-lamat terdengar debur ombak dari balik dinding karang yang menjulang. Selintas saya menebak itu ombak yang berasal dari Samudra Hindia, yang berada di selatan Sumba. Saya melangkah ke bibir tebing. Saat melongok, saya terperanjat. Sebuah danau dengan air yang sangat jernih terhampar di depan mata. "Selamat datang di Danau Weekuri yang tersembunyi," kata Paulus, penduduk yang mengantar saya berkeliling Sumba, bulan lalu.

    Danau Weekuri sebenarnya merupakan laguna, danau yang tercipta dari air laut yang "terperangkap" di daratan. Danau di kawasan Kodi Utara yang terpisah 60 kilometer dari Waitabula ini merupakan primadona obyek wisata Sumba Barat Daya.

    Untuk mencapai danau ini, dari Bandar Udara Tambolaka, ada dua pilihan transportasi: menyewa ojek sepeda motor atau mobil. Tarifnya Rp 300 ribu untuk mobil dan Rp 100 ribu untuk ojek sepeda motor. Jalan menuju tempat ini naik-turun dan penuh kerikil serta batuan.

    Gunung Tujuh, Jambi
    Rumah Naga Para Dewa

    Danau Gunung Tujuh berada di ketinggian hampir dua kilometer di atas permukaan laut. Letaknya di jantung Taman Nasional Kerinci Seblat di wilayah Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi.

    Pendakian ke Danau Gunung Tujuh bisa ditempuh dari pos pendakian di Desa Pelompek, Karo Ayu. Dari desa itu, kita bisa memilih dua rute perjalanan: menyusuri sungai atau mendaki gunung. Rute pertama memakan waktu sekitar tiga jam, sedangkan jika melalui jalur pendakian butuh waktu sekitar empat jam.

    Tempo mencoba jalur pendakian. Medan yang dilalui berupa jalan setapak, yang sangat licin jika hari hujan. Di kiri-kanan tumbuh pohon tinggi. Kicauan burung dan teriakan siamang bersahutan. Dari danau ini, kita bisa melihat Gunung Kerinci (3.805 meter), gunung berapi tertinggi di Pulau Sumatera.

    Danau ini juga dikenal dengan nama Danau Para Dewa. Legenda masyarakat menyebutkan danau ini dijaga dua kekuatan gaib: Lbei Sakti dan Saleh Sri Menanti. Ada pula penuturan lain yang menceritakan danau berair biru tenang ini dihuni sepasang naga.

    Persis seperti namanya, danau ini dikelilingi tujuh gunung, yakni Gunung Hulu Jujuhan (2.732 meter), Gunung Hulu Tebo Kanan (2.525 meter), Gunung Terpanggang (2.469 meter), Gunung Mandurai Besi (2.431 meter), Gunung Hulu Sangir (2.330 meter), Gunung Tujuhan (2.325 meter), dan Gunung Silasi (2.310 meter).

    Lantaran Danau Gunung Tujuh berada di dataran tinggi, suhu di sana tergolong dingin. Pada siang hari suhunya 16-17 derajat Celsius, sedangkan malam hari mencapai 10-11 derajat Celsius. l

    Habema, Papua
    Selter ke Carstensz

    Danau Habema berada di zona inti Taman Nasional Lorentz, Papua, terletak di kaki Gunung Trikora. Suku Danic menyebut danau di ketinggian 3.225 meter di atas permukaan laut ini dengan nama Yuginopa. Habema biasa disinggahi para pendaki gunung yang akan menaklukkan Puncak Jayawijaya dan Carstensz.

    Habema diambil dari nama perwira Belanda yang mengawal ekspedisi pimpinan H.A. Lorentz pada 1909. Ekspedisi yang bertujuan mencapai Puncak Wilhelmina—kini bernama Puncak Trikora—itu berakhir tragis. Empat orang tewas dan Lorentz menderita patah tulang rusuk lantaran jatuh.

    Area di sekitar danau seluas 224 hektare ini merupakan habitat burung cenderawasih, kanguru pohon, bebek liar, dan puyuh salju, yang kini makin langka. Air Danau Habema sangat jernih. Pasir halus berwarna kekuningan di dasar danau terlihat jelas. Di sekeliling Habema tumbuh beragam tanaman khas Papua, seperti pakis palem, pohon sage, dan anggrek hitam.

    Menuju danau ini bisa dimulai dari Kota Wamena menggunakan kendaraan roda empat sekitar tiga jam sebelum dilanjutkan dengan berjalan kaki. Dari Wamena, jaraknya 48 kilometer.

    Suhu di sana bisa hingga 3 derajat Celsius. Habema memang termasuk salah satu danau "tertinggi" di Indonesia.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus