Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SIANG yang tadinya terik perlahan melindap ketika kami mulai memasuki Berau. Anak sungai selebar 20 meter itu dipayungi pohon-pohon besar hutan Kayan Mentarang. Air mengalir tenang, hampir tanpa riak. Ketika motor tempel perahu dimatikan, kami bahkan bisa mendengar dedaunan bergesek—bagai bisik peri di rimba dongeng.
Ada sejumlah tempat bernama Berau di Kalimantan, tapi yang kami kunjungi bulan lalu adalah sebatang anak sungai di Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara. Kunjungan ke Berau ini bagian dari peneluÂsuran kami—saya, fotografer Aditia Noviansyah, dan adventure specialist Dody Johanjaya—di sepanjang Sungai Bahau. Dua hari sebelum ke Berau, kami sampai di Apau Ping, desa terakhir di Hulu Bahau, setelah mengarungi Sungai Kayan dan Bahau sepanjang 350 kilometer selama empat hari.
Bahau terpilih karena sungai ini masih terjaga baik. Mengalir dari hutan yang berbatasan dengan Malaysia, Bahau bermuara di Sungai Kayan, yang jauh lebih lebar. Sementara Bahau hanya selebar 50 meter, Sungai Kayan bisa mencapai 200 meter. Tidak seperti di kebanyakan sungai di Kalimantan, di Bahau tak ada balok kayu yang dihanyutkan. Perusahaan penebangan kayu memang belum sampai di sana. Juga tak ada perkebunan sawit atau tambang batu bara. Di kanan-kiri sungai, hutan membentang hingga hulu. Sesekali, di antara pohon-pohon yang rapat itu muncul muara anak sungai seperti Berau ini.
Kami ke Berau ditemani empat penduduk Apau Ping: Ding Njuk, Dan Salo, Rodes Jan, dan Titus Lawing. Tiga di antara mereka orang Dayak Kenyah, anak suku terbesar di Kalimantan Utara. Hanya Titus yang berasal dari Dayak Punan. Dua ketinting—perahu sepanjang tiga meter dan selebar badan orang— membawa kami dari Apau Ping ke arah hulu, lalu berbelok ke Berau di sebelah kanan. Semakin dalam, pepohonan semakin rapat dan suasana semakin tenang. Tak ada perahu lewat kecuali dua ketinting kami.
Setelah merapatkan perahu ke akar pohon yang menjuntai ke sungai, Ding bersiap terjun. Tubuh bulat tak membuatnya kesulitan berenang. Semua penduduk desa di tepi Bahau jago berenang. Sejak umur empat tahun mereka sudah terjun ke sungai, menginjak sekolah dasar mereka membawa sendiri ketinting untuk mencari ikan.
Bersenjatakan panah ikan buatan sendiri, Ding menyelam. Satu menit, dua menit, dan hap! Pada menit ketiga, ia mengacungkan anak panah yang menembus perut ikan pelian sebesar paha. Ia beristirahat sebentar, lalu masuk lagi ke dalam air, berenang di antara akar-akar pohon, dan... Ding kembali muncul dengan ikan yang menggelepar.
Saya berenang agak jauh, ke arah bebatuan yang menonjol karena air dangkal, untuk menikmati kesendirian barang sesaat. Satu jeram kecil ada di sana, airnya yang berlompatan mengkilat disorot matahari siang yang terang.
Satu jam kemudian kami selesai menikmati Berau dan kembali ke Bahau. Karena waktu makan siang sudah tiba, ketinting menepi di bebatuan. Ding membersihkan ikan berwarna kelabu dengan sisik sebesar koin seribuan rupiah, Dan memotong bambu untuk mengukus perut ikan, Rodes menebas batang-batang basah untuk tusukan barbeque, dan Titus mengumpulkan kayu kering lalu membuat api. Lima belas menit kemudian, ikan-ikan itu sudah berada di atas api. Setengah jam sesudahnya, mereka berpindah ke perut kami.
Di tengah makan siang, beberapa ekor kupu-kupu datang mengelilingi, beberapa hinggap di tangan. Seekor kupu-kupu jenis Vindula erota menclok di telapak tangan saya. Warnanya oranye dengan garis hitam di tepinya. Sepertinya ia menyangka tangan saya bunga dan mencoba menusukkan belalainya ke pori-pori kulit saya, tapi gagal. Belalai itu terlalu tebal dan lembek, tak seperti moncong nyamuk.
Kupu—dan serangga terbang lainnya seperti capung—sangat mudah ditemukan di tepi sungai, tapi tidak di dalam hutan. Dari pinggir sungai kita bisa melihat sarang lebah menempel di dahan-dahan pohonan. Warna sarang itu hitam, sebesar ransel 70 kilogram. Jika masuk sedikit ke dalam hutan, di atas daun-daun yang luruh, kami melihat semut raksasa (Componotus gigas) yang berjalan sendiri-sendiri. Besarnya bisa setengah jari kelingking. Sedikit mengerikan, "Tapi mereka hanya menggigit kalau terancam," kata Ding. "Setelah menggigit, kepala mereka lepas dan mati."
LIMA hari sebelumnya, kami memulai perjalanan dari Tanjung Selor di muara Sungai Kayan. Setelah mengarungi sungai selama empat hari, kami tiba di Apau Ping. Meski panjang, perjalanan ini tak membosankan. Dari atas perahu, kami kerap melihat elang terbang dua-dua, berputar-putar dari atas pohon kayu ulet di sisi kanan sungai ke pucuk-pucuk pohon ketepai di kiri sungai. Bangau putih nongkrong beramai-ramai di satu pohon.
Pohon besar seperti keruing menjulang hingga 30 meter. Sedangkan pohon berdaun kecil mirip beringin menjulurkan pokoknya ke tepi sungai dan janggutnya menjuntai hingga ke permukaan air. Dedaunan pohon gugur, seperti confetti di pesta ulang tahun. Tebing-tebing dari bebatuan besar melindungi pohon-pohon itu dari gerusan air yang naik-turun tak tentu musim.
Panorama hutan yang rapat memang sudah kami nikmati dalam perjalanan ke hulu, tapi pengalaman mendebarkan justru terjadi ketika kami pulang dari Apau Ping. Awalnya, karena hanya membalik rute, saya menyangka perjalanan ini hanya pengulangan. Namun sudut pandang berbeda membuat pemandangan tak lagi sama. Tebing-tebing batu terlihat lebih menonjol saat kita berangkat dari hulu.
Perbedaan mencolok terasa sewaktu kami melewati sekitar 20 jeram sepanjang Bahau. Meski tak lagi harus melawan arus, meloloskan diri dari jeram ternyata tetap tak mudah. Ini sama sekali berbeda dengan keasyikan berarung jeram dengan perahu karet yang lentur. Perahu yang kami tumpangi kali ini terbuat dari kayu, bisa pecah jika menabrak batu. Lambungnya juga tak rata seperti perahu karet, tapi berbentuk piramida terbalik. Penumpang bersin pun bisa membuat perahu ini bergoyang.
Karena itu, membiarkan perahu hanyut oleh arus air tidak dipilih oleh Jalung Aran—salah satu motoris yang mengantar kami dari Apau Ping ke Long Pujungan. Pria yang mentatokan tanggal lahirnya, 11-8-1975, di betis ini bahkan menarik gas dalam-dalam saat di atas jeram agar ketintingnya melaju kencang. "Kalau pelan, saya justru tidak bisa membelokkan perahu," katanya. Satu-satunya kendali memang pada sirip di belakang baling-baling motor. Sirip itu tak akan berfungsi jika baling-baling tidak berputar. Dengan baling-baling yang berputar cepat, ia bisa zigzag di antara bebatuan yang menonjol. Tapi, akibatnya, perahu ngebut dan itu cukup mendebarkan. Tak jarang lambung perahu bergesekan dengan batu. Bahkan, di Kiram Telaso, Jalung hampir menabrakkan haluan pada batu sebesar gajah. Ia membelokkan perahu hanya beberapa sentimeter dari tebing itu.
Dengan keahliannya itu, kami selamat sampai di Long Pujungan. Baru setengah perjalanan terlampaui.
YAKUB Jalung, pegawai negeri di Long Pujungan berusia 37 tahun, memberi kami tumpangan dari Pujungan ke Tanjung Selor—kota di ujung Sungai Kayan yang berseberangan dengan Tarakan. Ia akan membeli semen di Selor untuk proyek pembuatan pagar SMP negeri di Pujungan. Penumpang dadakan tentu akan meringankan biaya membeli bensin perahunya: Rp 12 juta untuk sekali jalan. Selain kami bertiga, ada empat penumpang lain yang ikut perahu Yakub. Dua lelaki, dua perempuan. Seperti Yakub, dua penumpang pria membawa senapan.
Perahu sepanjang 21 meter dengan tiga mesin yang masing-masing berkekuatan 40 tenaga kuda itu mulai bergerak setelah zuhur. Sebetulnya terlalu siang untuk perjalanan 8 jam ke Tanjung Selor. Kami pasti menginap di jalan. Itulah sebabnya Yakub tampak santai. Dengan memakai caping, dia berdiri di haluan sambil menggenggam tongkat kayu 3 meter. Dia lebih mirip Nabi Nuh di bahteranya.
Di buritan ada tiga motoris. Karena tak memakai setir tunggal, ketiganya harus kompak seperti penari kabaret. Satu menjulurkan tangan ke kanan, yang lain harus ke kanan. Satu menarik lengan ke kiri, yang tiga harus juga ke kiri. Mereka biasanya sudah tahu kapan harus berbelok. Tapi, di musim kemarau seperti sekarang ini, peran juru batu di haluan sangat dibutuhkan. Ada batu-batu yang tak kelihatan ketika air tinggi, tapi kini menonjol dan bisa membalikkan perahu yang melaju kencang.
Dua kali Yakub meminta motoris menghentikan perahu agar dia bisa menjaring ikan. Dua ikan sebesar paha dia tangkap, tapi Yakub selalu mengatakan, "Ini ikan kecil." Dua ikan itu memang terlalu sedikit untuk memberi makan tujuh penumpang dan lima awak kapal pada malam nanti. Tapi kekhawatiran kami hanya sebentar.
Tak jauh dari tempat Yakub menjala, saat perahu melaju kencang, tiba-tiba kami dikejutkan oleh letusan. Dor! dor! dor! Tiga senapan menyalak dan seekor babi sekarat di pinggir sungai. Perahu berputar untuk menjemput hewan buruan. Yakub menusukkan tombak untuk mengakhiri penderitaan babi berjanggut itu.
Saat perahu melaju, saya hanya memperhatikan keindahan hutan, tapi ketiga orang dengan senapan ini bisa melihat makan malam yang melintas. Tadi, sebelum senapan ditembakkan, ada sekelompok babi yang bersiap menyeberang. Babi memang bisa berenang. Mereka pindah dari satu sisi hutan ke sisi yang lain untuk mencari makan. Migrasi biasanya terjadi pada Juli. Orang sana mengistilahkannya dengan musim babi berenang. Tapi, pada bulan lain, fenomena ini juga bisa terjadi.
Belum satu jam, senapan kembali meletus, dan seekor lagi babi mampus.
MALAM datang sekonyong-konyong karena mendung menyembunyikan senja di langit barat. Tanpa sadar, kabut sudah merambati pucuk-pucuk pohon, dan udara menjadi dingin. Yakub merentangkan tangan kanannya. Itu adalah isyarat kepada tiga motoris untuk menepikan perahu. Yakub memutar tubuhnya hingga menghadap kami. "Kita bermalam di sini," katanya—lebih terdengar sebagai perintah.
Tiga mesin berhenti menderu. Perahu panjang itu menepi oleh sisa-sisa dorongan mesin. Buih dan riak menyelinap di bawah lambungnya, sebelum perahu itu mendarat di pasir yang empuk. Untuk sementara, perjalanan kami berhenti di sini. Terlalu berbahaya untuk diteruskan. Malam menyembunyikan batu dan batang kayu. Jeram-jeram ganas pasti juga tak terlihat. Tak mungkin juga bermalam di rumah penduduk. Kampung terdekat jaraknya dua jam perjalanan. Di sekeliling kami hanya ada hutan yang amat rapat oleh pohon-pohon besar.
Untuk beberapa saat, kami dikepung ketenangan yang magis. Ini seperti mendengar concerto piano Moonlight Sonata: tenang, tapi ada keagungan di belakangnya. Di balik kegelapan yang semakin pekat, hutan di sekitar kami tidak benar-benar tidur. Sungai masih mengalir dan kami mendengar kericiknya. Sebagian hewan masih terjaga. Kami masih bisa mendengar suara beberapa di antara mereka di kejauhan.
Tak ada bintang, hanya petir yang sesekali menggelepar di hulu. Kami berdoa semoga di sana mendung jadi hujan sehingga air naik dan perjalanan jadi lebih mudah. Tapi, kami juga tahu, tak semua doa terjawab.
Menyusuri Dua Sungai
Kapan sebaiknya?
Berapa biayanya?
KENDARAAN AIR
Perahu cepat 2,5 meter
Ketinting 5 meter
Perahu panjang 21 meter
Apa yang mesti dibawa?
SUNGAI
Sungai Boh, Kalimantan Utara
Tebing-tebing yang dipahat
Anak Sungai Mahakam ini berkelok sepanjang Kabupaten Malinau, Kutai Barat, hingga bermuara di Long Bagun. Perjalanan menuju Sungai Boh dapat ditempuh kurang-lebih tiga hari dari Balikpapan atau Samarinda.
"Di Sungai Mahakam menuju Long Bagun banyak sekali pemandangan indah, terutama tebing karst yang seperti dipahat," kata Ketua Harian Federasi Arung Jeram Indonesia Amalia Yunita, yang mengunjungi Sungai Boh pada 2012. Long Bagun biasanya dijadikan tempat transit selama sehari sebelum melanjutkan perjalanan darat ke Desa Agung Raya, titik awal penelusuran Sungai Boh.
Hutan sepanjang Sungai Boh masih kaya. Anggrek langka sering ditemukan, begitu juga ular derik (Parias sumatranus). Di Sungai Boh masih banyak dijumpai ikan raja-raja yang panjangnya sampai satu setengah meter. Bagi para penggemar arung jeram, Sungai Boh juga menjadi pilihan petualangan yang mengasyikkan. l
Sungai Alas, Aceh
Sungai Monyet Merah
The River of Red Apes, begitulah sebutan Sungai Alas, yang membelah wilayah Kutacane di Kabupaten Aceh Tenggara. Sungai yang mengular di wilayah Taman Nasional Gunung Leuser ini menjadi rumah yang nyaman bagi kera merah. Hewan itu masih bisa dijumpai di pinggir sungai, bergelantungan dari pohon ke pohon. Tapi kini, untuk melihat kera merah, kita harus berjalan dua kilometer lebih ke dalam hutan.
Bila beruntung, kita dapat menjumpai spesies kupu-kupu kuning dari famili Pieridae bernama Common Brimstone atau Gonepteryx rhamni. Kupu-kupu ini terbang membentuk formasi seperti pita panjang.
Sungai Alas yang lebarnya 10-20 meter itu memiliki belasan jeram yang ramah bagi pemula. Perjalanan ke sana dapat ditempuh bermobil dari Medan ke Ketambe—sebagai titik awal penelusuran sungai—selama 9 jam. Kini ada pesawat kecil dari Medan menuju Kutacane, selama 45 menit, dilanjutkan ke Ketambe dengan mobil selama 45 menit. Di Ketambe sudah banyak pemandu yang dapat membawa wisatawan menuju ke Sungai Alas. l
Sungai di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat
Tempat Dayak Berumah
Kapuas Hulu merupakan nama kabupaten di bagian timur Kalimantan Barat, tempat berhulunya Sungai Kapuas, sungai terpanjang di Indonesia. Di sana terdapat sungai-sungai kecil, seperti Utik dan Embaloh, yang bermuara di Sungai Kapuas dan hulunya berbatasan langsung dengan Taman Nasional Betung Kerihun, tidak jauh dari Putussibau, ibu kota Kapuas Hulu.
Dengan perahu, kita bisa menyusuri sungai-sungai kecil yang masuk jauh ke dalam hutan. Di sepanjang perjalanan, bisa ditemukan rumah panjang Dayak yang masih terawat di pinggiran sungai dan desa wisata Dayak Iban dan Dayak Embaloh. Bila perlu menginap, tersedia kemah di taman nasional di hulu Sungai Embaloh atau rumah-rumah panjang penduduk.
Waktu terbaik berkunjung adalah saat tahun baru Dayak Iban setiap 1 Juni atau pada Agustus-November saat musim buah. Durian berdaging merah dapat kita nikmati pada musim ini.
Untuk menuju Kapuas Hulu tersedia empat kali penerbangan dari Pontianak ke Putussibau selama satu setengah jam dengan pesawat ATR 72. Perjalanan ke hulu sungai bisa dicapai dengan dua jam bermobil. l
Krueng Tripa, Aceh
20 Jeram Maut
Rikiet Jait atau Terangon merupakan titik awal menelusuri Krueng Tripa, yang membelah hutan dari wilayah Blangkajeren, Kabupaten Gayo Lues, di perbatasan Sumatera Utara-Aceh Tenggara hingga Kuala Tripa di Aceh Tenggara. Sungai itu memiliki sekitar 20 jeram besar yang jarang dilewati, tersebar di tiga wilayah, yaitu Nanga, Perlak, dan Tongra. Saking sulitnya sungai itu dilewati, pengarung jeram lebih memilih lewat darat dengan menggotong perahu.
Salah satu jeram maut adalah Ketanjoran di Tongra, dengan lanskap sungai yang menikung dan bertingkat. Para pemburu jeram nekat melewati Ketanjoran hingga bermuara di Kuala Tripa selama lima hari empat malam.
Perjalanan ke lokasi bisa ditempuh bermobil dari Medan ke Kutacane—perbatasan Sumatera Utara dan Aceh Tenggara—selama delapan jam, dan dilanjutkan ke Blangkajeren dalam tiga jam. "Dari Blangkajeren, titik awal bisa dipilih, melalui Rikiet Jait atau Terangon," kata Komandan Operasi Pencinta Alam Taman Nasional Gunung Leuser Said Murthaza. l
Sungai Cikandang, Jawa Barat
Yang tersisa di Jawa
Sungai Cikandang terletak di Desa Sukamulya, Kecamatan Pakenjeng, lebih-kurang 60 kilometer atau tiga jam bermobil dari Garut, Jawa Barat. Titik awal penelusuran sungai dapat dimulai dari wilayah perbukitan Ciarinem, Garut selatan, sepanjang 20 kilometer, dan bermuara di Cijayana, laut Pameungpeuk.
Hulu dan hilir Sungai Cikandang sangat jauh dari permukiman penduduk, sehingga vegetasi hutan hujan dan kualitas air di daerah hulu Sungai Cikandang tetap perawan. Jeram berukuran sedang banyak ditemui, terutama di daerah pertemuan aliran Sungai Ciarinem dan Cikandang. Karst alami menambah kekayaan sepanjang sungai.
Dari morfologi sungai dan banyaknya jeram, Cikandang digolongkan sebagai sungai dengan tingkat kesulitan sedang dengan waktu arung lebih-kurang lima jam. l
Sungai Bahorok, Sumatera Utara
Nadi di Tengah Rimba
Sungai Bahorok berhulu di Bukit Lawang, bagian dari Taman Nasional Gunung Leuser, Sumatera Utara, dan bermuara ke sungai yang lebih besar, yakni Sungai Wampu. Destinasi yang paling menarik adalah Pusat Rehabilitasi Orang Utan, yang berperan menyiapkan orang utan ke habitat asalnya, taman nasional. Selain itu, pengunjung bisa berjalan-jalan dan berkemah di Taman Nasional Gunung Leuser.
Paket wisata yang unik adalah tubing. Tidak seperti arung jeram yang menggunakan perahu karet, tubing menggunakan beberapa ban diikat seperti rakit. Dengan kedalaman maksimal satu meter dan berbatu, arus sungai itu cocok untuk tubing, tapi tidak untuk arung jeram. "Dari Bukit Lawang sampai titik finis bisa ditempuh hingga dua jam," kata Jony Kurniawan, salah seorang operator wisata di Sungai Bahorok.
Sungai yang berada di Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, ini bisa dicapai dengan kendaraan selama dua setengah jam dari Medan sampai di Bukit Lawang. l
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo