Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Sebagian panelis menilai pasangan calon Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta seluruhnya gagal menyampaikan program dengan rinci dalam debat terakhir pada Rabu malam lalu di Bidakara, Jakarta Selatan. Dua pasangan calon tersisa di putaran kedua ini diduga memilih "bermain aman" agar tidak kehilangan suara.
"Keduanya normatif. Mereka sangat sadar ini adalah injury time sebelum pencoblosan 19 April," ujar salah satu panelis debat, Gun Gun Heryanto, kemarin.
Gun Gun mencontohkan, saat kedua kandidat ditanyai mengenai alotnya hubungan antara eksekutif dan legislatif dalam penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah, jawaban dari dua calon gubernur, baik Basuki Tjahaja Purnama maupun Anies Baswedan, belum spesifik memecahkan akar masalah.
Misalnya Basuki, kata Gun, hanya menjawab dengan normatif bahwa penyusunan anggaran harus dilakukan secara transparan. Padahal panelis berharap ada jawaban bagaimana mengatasi politik transaksional yang kerap terjadi antara satuan kerja perangkat daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah. "Gimana sih sebenarnya kalau ada politik transaksional terjadi? Itu yang belum tersentuh," ujar pengamat politik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini.
Begitu juga Anies dianggap tak mampu menjelaskan hal yang sama. Saat debat, Anies hanya menjawab akan merangkul dan memperbaiki pola komunikasi dengan DPRD agar penyusunan anggaran berjalan lancar. "Semua jawaban cari aman dengan menggunakan bahasa halus normatif kepada DRPD."
Jika dibandingkan dengan debat putaran pertama, Gun menambahkan, dalam debat pada Rabu malam lalu, para paslon tak lagi elaboratif dalam menyampaikan isu-isu yang krusial, seperti reklamasi, penggusuran, dan rumah tanpa uang muka. "Debat putaran pertama sebetulnya sudah membuat polarisasi pemilih. Makanya mereka menjaga karena, kalau blunder, berpengaruh ke elektabilitas," kata Gun.
Panelis lainnya, Yayat Supriatna, membandingkan para kandidat lebih luwes mengutarakan pendapat saat debat di putaran pertama dibanding putaran kedua. Hal itu, kata pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti ini, karena saat putaran pertama kandidat belum sepenuhnya mengetahui preferensi suara. "Kalau sekarang sebetulnya pemilih sudah terbentuk ke mana arah suaranya. Mereka jaga suara, jadi kurang berani ambil risiko," kata dia.
Yayat mengatakan para kandidat enggan mengeluarkan pernyataan yang mengundang kontroversi. Bahkan Yayat menilai Basuki mengeluarkan strategi yang seolah melunak dengan melontarkan permintaan maaf kepada penghuni rumah susun.
Satu perwakilan masyarakat penghuni Rumah Susun Jatinegara bertanya mengenai bagaimana kehidupan di rumah susun yang serba kekurangan hingga tak mampu membayar uang sewa. Basuki menjawabnya dengan permintaan maaf dan berusaha akan membenahi.
Padahal, menurut Yayat, jika kedua paslon dapat menjawab secara spesifik, bukan tak mungkin dapat menarik pemilih gamang. "Kalau jawabannya saja tak meyakinkan, bagaimana meyakinkan pemilih yang belum yakin?"
Sekretaris tim pemenangan Anies-Sandiaga, Syarif, membantah pendapat-pendapat tersebut. "Anies-Sandiaga cukup menampilkan eksplorasi program," ujar politikus Partai Gerindra itu. Begitu juga juru bicara tim pemenangan Basuki-Djarot, Raja Juli, mengatakan Basuki-Djarot telah menyampaikan seluruh program dengan baik. "Tak ada strategi khusus. Apa adanya saja," kata dia. Devy Ernis
Apa Kata Netizen?
Lembaga pemantau percakapan di media sosial PoliticaWave merilis hasil aspirasi masyarakat di dunia maya melalui tujuh media, di antaranya Twitter, Facebook, Instagram, dan YouTube, pada 1-14 April 2017. Hasilnya, terdapat 14.603.893 percakapan oleh 2.258.354 netizen perihal pilkada DKI.
Dari hasil pemantauan PoliticaWave, Basuki-Djarot paling banyak diperbincangkan, yaitu 52,72 persen, sedangkan Anies-Sandi sebesar 47,28 persen. Pasangan calon nomor urut dua itu juga mendapat sentimen positif lebih banyak dari sejumlah besar percakapan tersebut. Sentimen positif Basuki-Djarot sebesar 54,92 persen dari total percakapan tentang mereka. Sedangkan Anies-Sandi sentimen positifnya lebih kecil daripada sentimen negatif, yaitu 44,54 persen berbanding 55,46 persen.
"Dari dua metrik tersebut, PoliticaWave memprediksi pasangan Ahok-Djarot akan memenangi pilkada DKI 2017 dengan elektabilitas sebesar 52,72 persen," kata pendiri PoliticaWave, Yose Rizal.
Sentimen positif untuk pasangan Basuki-Djarot di antaranya berupa dukungan netizen terkait dengan proses persidangan. Selain itu, dukungan dari relawan mantan pasangan calon Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni dan komunitas, dukungan dari partai politik Islam, serta penampilan di debat dan program kerja. Sedangkan sentimen negatif yang ditujukan kepada Basuki-Djarot mayoritas berasal dari isu penistaan agama dan proses persidangan, desakan gubernur nonaktif, aksi (demonstrasi) 212 dan 313, serta kalah di beberapa survei.
Isu positif untuk pasangan Anies-Sandi di antaranya dukungan dari ormas dan komunitas, dukungan PAN dan Perindo, unggul dalam beberapa survei, penghentian reklamasi, dan program kerja. Isu negatif yang ditujukan kepada Anies-Sandi di antaranya kritik terhadap program kerja, dugaan beberapa kasus hukum, dan dugaan kampanye SARA. Devy Ernis
Tahapan Pemilihan Gubernur Jakarta Putaran Kedua (Pasca-Debat)
16-18 April: Masa tenang dan pembersihan alat peraga
19 April: Pemungutan dan penghitungan suara
20 April-1 Mei: Rekapitulasi suara
5-6 Mei: Penetapan pasangan calon tanpa sengketa
(Mengikuti jadwal Mahkamah Konstitusi): Sengketa hasil
(Paling lama tiga hari setelah putusan MK): Penetapan pasangan calon terpilih setelah putusan MK
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo