Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Setelah Pilkada Jakarta

17 April 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak putaran pertama, pemilihan Gubernur DKI Jakarta telah merampas perhatian publik dan media. Perhatian itu tidak menyurut menjelang putaran kedua, yang akan berlangsung Rabu pekan ini. Acara prime time televisi dan headline koran-koran secara reguler diisi oleh komentar serta perdebatan. Media sosial juga dipenuhi emosi pembelaan dan serangan para pendukung terhadap tiap kandidat.

Ingar-bingar pembicaraan dan peliputan media tentang peluang kemenangan, strategi, dan taktik tiap pasangan membuat kita sedikit miopik. Isu ini menjauhkan kita untuk melihat masa depan yang teramat dekat. Katakanlah Anies Baswedan-Sandiaga Uno memenangi pertarungan, apa problem politik yang akan dihadapi pasangan ini ketika mereka mulai memerintah Jakarta? Pertanyaan ini bisa juga dibalik: jika Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat menang, tantangan macam apa yang harus diselesaikan pasangan inkumben ini ketika mereka memulai lagi menjalankan roda pemerintahan?

Pertanyaan tersebut penting karena putaran kedua pilkada akan segera usai, dan pemenangnya harus lekas merumuskan kebijakan konkret dan mengeksekusinya selama lima tahun ke depan. Siapa pun yang meraih suara terbanyak, mereka tidak akan bekerja di ruang hampa. Polarisasi politik yang telah menguat menjelang dan selama pilkada berlangsung akan mendedahkan kesulitan dalam memerintah.

Polarisasi adalah gejala mengosongnya ruang tengah dan bersamaan dengannya terjadi migrasi pemilih ke ruang-ruang ekstrem, di kiri ataupun di kanan. Migrasi itu bisa mengambil bentuk pergeseran posisi ideologis elite dan para pemilih, dan bisa juga pergeseran posisi mereka terhadap sebuah isu kebijakan.

Di Amerika Serikat, pengkutuban atau polarisasi pemilih ditandai oleh penurunan drastis jumlah pemilih independen yang moderat dan lazimnya mengisi ruang tengah, serta semakin menggumpalnya para pemilih ke kubu Partai Republik di sisi kanan atau ke kubu Partai Demokrat di sisi kiri. Tak hanya pada sebuah isu, posisi kedua kubu ini berbeda. Tapi, hampir di semua isu kebijakan, posisi keduanya berseberangan.

Sementara kubu Partai Demokrat menginginkan pengenaan pajak yang lebih besar bagi kelas kaya dan kemudian meredistribusikan kekayaan itu ke kelompok-kelompok miskin, kubu Partai Republik justru menginginkan sebaliknya, yakni pengurangan pajak bagi kelas kaya. Sementara kubu Partai Demokrat ingin mengurangi belanja militer, sebaliknya kubu Partai Republik ingin menambah anggaran militer.

Kontras yang berkebalikan itu merambah pula ke isu-isu lain, seperti persetujuan terhadap perkawinan sesama jenis, legalitas aborsi, penerapan hukuman mati, pentingnya regulasi pemerintah dalam perlindungan konsumen, dan penyediaan jaminan kesehatan universal oleh pemerintah. Polarisasi itu menjadi polarisasi ideologis jika hampir di semua isu, kedua kubu bertolak belakang.

Di Jakarta, polarisasi menggumpal ketika kubu pasangan Anies-Sandi dan kubu Basuki-Djarot mengambil posisi berseberangan pada sejumlah isu kebijakan. Pada isu reklamasi Teluk Jakarta, misalnya, kedua pasangan ini berlawanan. Demikian juga pada isu penggusuran di Kampung Pulo, Bidaracina, Pinangsia, Waduk Pluit, dan terakhir di Bukit Duri.

Raibnya ruang tengah dan migrasi para pemilih di pilkada Jakarta ke sisi-sisi ekstrem mirip dengan yang terjadi di Amerika. Yang menarik, dalam derajat tertentu, justru kontras kebijakan yang diajukan para kandidat ini bukan menjadi inti penyebab terbelahnya pemilih Jakarta. Polarisasi politik Jakarta bertumpu pada identitas pasangan Anies-Sandi yang mewakili komunitas muslim dengan pemahaman keagamaan yang puritan dan literal versus identitas pasangan Basuki-Djarot yang mewakili komunitas nasionalis dengan pemahaman keagamaan yang lebih longgar.

Polarisasi itu mengeras ketika tiap kubu mendefinisikan satu sama lain dengan cara sedikit ceroboh. Misalnya, sebagian pendukung Anies-Sandi menggambarkan pendukung Basuki-Djarot sebagai kelompok antiagama. Sebaliknya, sebagian pendukung Basuki-Djarot melukiskan pendukung Anies-Sandi sebagai kelompok antikebinekaan. Kedua kubu para pendukung lantas mengembangkan ketidaksukaan satu sama lain. Akibatnya, irisan di tengah yang bisa menyambung dua kubu tersebut semakin tipis dan menghilang. Polarisasi pun terjadi di dua level sekaligus, yakni level elite dan level publik.

Dengan latar belakang polarisasi ini, pemenang pilkada Jakarta kelak akan menghadapi setidaknya tiga tantangan berat. Pertama, kemungkinan munculnya problem kemacetan politik. Siapa pun pasangan pemenang pilkada ini, mereka harus meloloskan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah melalui DPRD yang juga beranggotakan politikus dari partai pendukung seterunya. Basuki-Djarot telah mengalami kemacetan politik pada periode lalu karena usulan APBD-nya kerap dibendung kubu-kubu partai yang berseberangan dengan partainya. Hal yang sama bisa terulang jika mereka memenangi pilkada.

Kemacetan yang sama bisa dialami pasangan Anies-Sandi jika mereka memenangi pilkada Jakarta. Kubu-kubu yang berseberangan bisa merecoki selama masa lima tahun pemerintahan mereka.

Kedua, kemungkinan munculnya problem diskoneksi pemerintahan. Dengan pengandaian Anies-Sandi menang, jelas posisi pemerintahannya di DKI belum tentu sejalan dengan pemerintahan pusat yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo. Selain topangan partai pendukung yang berseberangan, Prabowo Subianto yang menjadi tokoh utama di balik pasangan Anies-Sandi secara politik adalah pesaing Presiden Joko Widodo. Walhasil, kinerja pemerintahan Anies-Sandi akan membawa efek yang bertaut dengan keuntungan atau kerugian politik bagi Presiden Joko Widodo. Dus, diskoneksi pemerintahan bukan mustahil akan terjadi.

Ketiga, kemungkinan munculnya problem pembayaran "utang politik" kepada konstituen. Tidak semua konstituen ditarik dan diikat dukungannya dengan tawaran kebijakan, tapi dengan tarikan dan ikatan simbolis. Misalnya, dukungan yang diperoleh Anies-Sandi jelas diolah dari sentimen dan solidaritas keagamaan.

Ketika mereka melibatkan diri secara aktif di komunitas-komunitas muslim yang puritan, mereka memang tidak menawarkan pengesahan syariat Islam seandainya mereka menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta. Mereka berdua tidak menjual perda syariah. Tapi, jelas, syariahisasi kehidupan sosial dan politik adalah aspirasi komunitas-komunitas puritan pendukung mereka. Pertanyaannya, bagaimana aspirasi ini kelak dikelola oleh pasangan Anies-Sandi jika tuntutan itu pada akhirnya akan muncul di masa pemerintahannya?

Opsi untuk memenuhi tuntutan kaum muslim puritan akan mengisolasi komunitas-komunitas nasionalis, yang tidak berkeberatan dengan kehidupan religius tetapi menolak formalisasi syariah untuk dijadikan perda. Jika itu dilakukan, separuh pemilih DKI akan terus-menerus merecoki pemerintahan mereka.

Opsi lainnya adalah sebaliknya, yakni penolakan terhadap pengadopsian syariah untuk diterapkan di Jakarta. Jika aspirasi itu tidak tertampung, Anies-Sandi akan membikin komunitas-komunitas puritan di Ibu Kota mengalami disilusi politik karena harapan mereka tidak terpenuhi.

Pada situasi lain, jika tuntutan kelompok puritan terhadap pasangan Anies-Sandi melunak, dan mereka sekadar menginginkan ruang kampanye sosial untuk dakwah-dakwah syariah di panggung-panggung publik, itu berarti membuka kemungkinan terjadinya gesekan sosial dengan komunitas atau kelompok nasionalis di tengah publik.

Sebaliknya, bagaimana jika Basuki-Djarot yang memenangi pilkada? Bisa jadi pasangan ini tak akan mengalami diskoneksi pemerintahan. Tapi potensi kemacetan pemerintahan DKI- terutama dalam proses politik anggaran-akan terulang sebagaimana telah terjadi sebelumnya. Bukan hanya itu, pasangan ini juga akan menghadapi gelombang demonstrasi komunitas muslim puritan yang sangat asertif.

Pelajaran pada 1998 mungkin perlu ditengok untuk mengantisipasi situasi pasca-pilkada Jakarta. Saat itu polarisasi politik yang akarnya sama juga terjadi, bahkan lebih keras. Tapi dua kubu elite politik yang berhadap-hadapan saat itu (kubu nasionalis dan kubu Islam puritan) bisa menemukan kompromi dan mampu mengendalikan masing-masing komunitas pendukungnya untuk menghindari terjadinya bentrok di jalan-jalan. l

Dodi Ambardi
Ketua Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada; Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus