Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pangalangok Jilah merasa bertanggung jawab terhadap keberadaan hutan di Kalimantan.
Membentuk organisasi Tariu Borneo Bangkule Rajangk demi mempertahankan hutan yang tersisa.
Memiliki anggota pasukan hampir 100 ribu di seluruh Borneo.
BEBERAPA hari setelah Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan, Effendi Buhing, ditangkap paksa oleh polisi, akhir Agustus lalu, pemimpin besar Pasukan Merah setanah Dayak, Pangalangok Jilah, terbang ke Jakarta. Dia datang untuk menemui sejumlah tokoh di negeri ini, termasuk Presiden Joko Widodo, buat mengadukan penangkapan tersebut dan memprotes pembabatan hutan di Kalimantan Tengah. “Buat saya, ini fatal karena sudah berlebihan merusak alam dan sangat membabi-buta,” kata Pangalangok Jilah, 40 tahun, saat ditemui Tempo, Senin, 10 September lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hutan Kalimantan, menurut dia, memiliki arti penting bagi masyarakat Dayak, juga dunia. Tak hanya sebagai paru-paru dunia, hutan di Tanah Borneo juga menjadi sumber penghidupan masyarakat yang hidup dari berburu dan meramu. Kini, selain kehilangan sebagian “supermarket” yang memasok kebutuhan harian tersebut, masyarakat Dayak dihadapkan pada konsekuensi banjir dan tanah longsor akibat pembabatan hutan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepada wartawan Tempo, Nur Alfiyah dan Isma Savitri, Pangalangok Jilah menjelaskan pentingnya hutan bagi masyarakat Dayak dan proses pengangkatannya sebagai pangalangok, pemimpin tinggi masyarakat Dayak. Dia juga mengungkapkan mimpinya menyatukan seluruh masyarakat Dayak yang terkotak-kotak dan keinginannya agar tak ada lagi hutan yang digusur menjadi perkebunan sawit. “Ketika saya sudah tua, saya ingin melihat orang-orang Dayak sudah menjadi tuan di tanahnya sendiri,” ujar pria bernama asli Agustinus itu.
Apa yang membuat Anda jauh-jauh datang dari Kalimantan ke Jakarta untuk kasus Effendi Buhing?
Kasus ini sudah lama. Ada permasalahan sangat besar antara masyarakat adat dan PT Sawit Mandiri Lestari yang dibiarkan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah. Ini tanggung jawab saya sebagai panglima Dayak atau Pangalangok Jilah untuk mempertahankan hutan itu. Semua harus terjaga, alam harus seimbang. Saya lahir di hutan dan hidup di hutan. Saya enggak bisa sembarangan menebang. Satu pohon saja harus saya hormati. Tapi orang datang main tebang saja. Mereka menghantam hutan menggunakan alat. Habis semua hutan. Nangis hati ini. Ndak bisa saya biarkan.
Sewaktu mendapat kiriman video penangkapan Effendi Buhing, bagaimana perasaan Anda?
Nangis saya. Gugur air mata saya. Emosi. Sedih melihat negara ini. Orang yang merusak hutan dibiarkan, orang yang membela hutan ditangkap. Di mana keadilan di Indonesia? Saya sangat berharap Presiden Joko Widodo turun ke Kinipan, ke Kalimantan Tengah. Borneo kan paru-paru dunia. Kalau hutan di sini rusak, apa Pak Jokowi tidak malu?
Apa yang membuat Anda begitu peduli terhadap hutan Kinipan?
Kinipan itu hutan terakhir di Kalimantan Tengah, ndak ada lagi hutan di sana. Buat saya, ini fatal karena sudah berlebihan merusak alam dan sangat membabi-buta. Artinya semua sudah dimiliki oleh mereka. Katanya negara melindungi, tapi kenapa hutan Kalimantan Tengah itu tinggal Kinipan? Artinya terjadi pembiaran. Itu yang sudah terjadi masif dan terstruktur. Ada kongkalikong baik pemerintahannya, tokoh-tokohnya, politiknya, pemodalnya. Bahayanya lagi, masyarakat adat itu dikriminalisasi. Masyarakat adat itu membela hutan, tapi kenapa mereka yang ditangkap? Seharusnya negara ini membantu masyarakat adat mempertahankan hutan dan adat itu sendiri.
Apa arti hutan bagi masyarakat Dayak?
Hutan itu supermarketnya orang Dayak. Memberikan kehidupan, menjaga keseimbangan. Sebagai sumber makanan, sumber penghasilan. Pingin makan daging, tinggal pergi ke hutan. Pingin makan ikan, ke hutan. Butuh rumah, bisa nebang pohon. Semua ada di situ. Alam memberikan manfaat yang sangat banyak untuk kami, orang Dayak. Saya, sebagai panglima, harus mampu menjaga setiap jengkal tanah adat itu. Saya punya pasukan yang khusus menjaga adat dan tradisi supaya hutan Kalimantan ndak dirusak orang.
Berapa banyak jumlah anggota Pasukan Merah?
Hampir 100 ribu, tersebar di seluruh Borneo.
Selain di Kinipan, apakah Pasukan Merah bergerak untuk kasus lain?
Banyak, tapi yang kelihatan kasus yang besar saja. Sebenarnya dengan perusahaan kecil banyak. Orang kami dikriminalisasi, ditangkap, tuduhannya mencuri semua. Penjara itu disiapkan untuk orang-orang yang melawan perusahaan, untuk masyarakat bawah. Kenapa yang besar, yang merusak hutan, kok ndak ditangkap? Saya kecewa terhadap Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah yang terlalu pro dengan orang berduit, tidak menjaga ekosistem alam, tidak menjaga adat itu sendiri. Malah mereka memorak-porandakan hutan. Ini kalau saya mau laporkan ke PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa), habis sudah mereka itu.
Bagaimana cara Anda mempertahankan hutan?
Saya bentuk organisasi Tariu Borneo Bangkule Rajakng. Tariu artinya teriakan, Bangkule Rajangk itu kerajaan Dayak. Jadi artinya teriakan orang Borneo. Ayo, bangkit! Hutan yang masih ada itu yang masih bisa kita selamatkan. Intinya, masyarakat mau kompak, bahu-membahu bagaimana menyelamatkan adat untuk mempertahankan hutan yang tersisa, termasuk di Kinipan. Bagaimana kita mempertahankan budaya, tradisi, adat kita karena itulah identitas kita.
Anda adalah pemimpin masyarakat Dayak. Bisa dijelaskan bagaimana proses pemilihannya?
Saya pangalangok, membawahkan lebih dari 90 panglima setanah Dayak. Saya terpilih lewat mimpi dari leluhur.
Siapa yang bermimpi?
Kadang-kadang masyarakat desa, kadang pasukan.
Saat umur berapa ilham itu datang?
Sebelum saya lahir, nenek saya bilang, nanti di kampung akan lahir dua orang yang bakal memimpin orang Dayak se-Kalimantan. Dia akan menjadi orang hebat. Dia akan dikawal oleh leluhur, roh-roh kebaikan. Siapa satu orangnya lagi, saya belum tahu.
Kalau kepada Anda, adakah pesan leluhur yang disampaikan lewat mimpi?
Leluhur berpesan, “Jilah, sekarang kamu satukan orang Dayak yang sudah terkotak-kotak.” Saya bilang, bagaimana caranya, saya ndak punya pendidikan yang cukup, saya orang biasa, hanya orang kampung, lahir di hutan? “Kamu tenang, kami akan mengikutimu di mana pun kamu berada. Kamu tidak akan lapar. Kamu akan disambut, dielu-elukan orang. Kamu tenang rezeki, akan mengalir asal kamu beradat.” Saya ikuti mimpi itu.
Anda sudah disebut sebagai pemimpin sejak kecil. Bagaimana rasanya menyandang status itu?
Sangat berat. Saya juga kadang lelah, cuma saya tidak menyerah. Saya hanya ingin ketika saya sudah tua, saya mau melihat orang-orang Dayak sudah menjadi tuan di tanahnya sendiri. Mereka berpendidikan, maju di segala bidang. Jadi pengusaha, pemimpin. Jadi (anggota) Polri, TNI. Dayak itu dikenal karena pulaunya besar, hutannya lebat, adat dan budayanya kental.
Apa pesan Anda kepada masyarakat Dayak?
Saya berpesan kepada generasi muda, jangan mau menjual tanah kepada perusahaan perkebunan. Mereka akan membujuk dan merayu dengan cara apa pun supaya mereka bisa mengambil tanahmu dengan memberikan sekolahan, beasiswa, pembangunan jalan. Itu sesungguhnya bohong. Mereka akan mempekerjakan kamu, tapi hanya sementara. Ketika mereka bosan, kamu ditendang. Ini cara perampasan yang halus. Belum lagi nanti ketika gaji kamu tidak keluar, kamu mau makan apa? Pasti nyuri sawit, lalu kamu akan ditangkap. Kamu akan dipenjarakan di tanah kamu sendiri. Ibarat tikus mati di lumbung padi. Jadi jangan bilang pintar dulu kalau kamu jual tanah.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo