Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAMAN Nasional Kerinci Seblat, tujuh tahun lalu, adalah hutan yang menikmati hidup. Pohon-pohon berdiri rapat. Batangnya diselimuti lumut dan semak lebat-. Kalau ada orang masuk hutan, puluh-an atau ratusan pacet akan berlompat-an untuk berpesta mencecap darah. ”Saking banyaknya seperti hujan pacet dari pucuk-pucuk pohon dan semak,” ujar Cahyo Junaedy, wartawan Tempo yang masuk hutan itu selama 30 hari.
Lelaki itu menyuruk ke dalam hutan sejauh 130 kilo-meter untuk meneliti flora- dan fauna hutan. Selama per-jalanannya dia kerap di-iringi segerombolan kera, ber-temu- rusa, dikejar gajah, dan ngacir karena bersirobok dengan macan kumbang.
Itu dulu. Simpan saja cerita itu sekarang. Hutan indah itu kini di beberapa wilayah sudah mulai tercampakkan-. -Lorong-lorong hutan yang gelap itu sebagian kini terke-lupas menjadi lapangan- de-ngan- sisa-sisa pokok pohon-. Itulah yang terjadi di secuil hutan dekat Desa Lempur di Kabupaten Kerinci.
Di antara pepohonan yang berdiri menjulang, sebuah sodetan raksasa mengular membelah hutan. Sodetan itu adalah cikal-bakal jalan menuju Desa Lempur. Lebarnya 10 sampai 15 meter. Karena baru dibangun, permukaannya masih berupa tanah becek, sisa hujan sehari sebelumnya. Di sisi-sisinya bertumpuk potongan kayu besar dan kecil-, serta gundukan tanah hasil korekan alat berat.
Jangan cari satwa liar, karena yang bisa diamati hanyalah kupu-kupu aneka warna. Selebihnya hanyalah suara burung dan serangga, tanpa terlihat wujudnya. Hati sedikit terhibur ketika sejumlah jejak kaki rusa tampak di permukaan tanah yang masih basah. ”Rusa ini baru lewat beberapa jam yang lalu,” kata Untung Wantoro, petugas taman nasional yang menemani Tempo ke hutan itu, Rabu dua pekan lalu.
Jalan mengular itu memang baru mencapai tiga kilometer dari jembatan. Tetapi rencananya jalan itu akan menghubungkan Desa Lempur di Kabupaten Kerinci dan Desa Ipuh di Kabupaten Muko-muko, keduanya di selatan Provinsi Jambi, sejauh 34 kilometer.
Jalan itu telah menembus kawasan hutan Taman Nasional Kerinci Seblat. Padahal taman nasional yang membujur- di empat provinsi dan 14 kabupaten itu telah ditetapkan sebagai hutan hujan- warisan dunia oleh UNESCO pada 2004. Di lahan seluas 1,36 juta hektare itu terdapat 306 spesies burung, 42 spesies mamalia, 8 spesies primata, dan 40 spesies amfibia. Hutan ini juga dihuni tujuh spesies kucing hutan langka, mulai dari macan pohon sampai harimau sumatera (Panthera tigris sumatrensis) yang endemik.
Ada 2.000 sampai 3.000 spesies tumbuhan di sana. Di antaranya adalah meranti (Shorea atrinervosa), rotan (Cala-mus leoli), bunga Rafflesia dari jenis Rafflesia hasseltii dan Rafflesiaarnoldi, gaharu (Aquilaria spp), dan pohon pacat (Harpulia arborea). Di dalam hutan juga tumbuh 300 spesies anggrek.
Alip Tanton Hartono dari Balai Taman Nasional Kerinci Seblat mengatakan, jalan itu akan merusak keseimbangan ekosistem hutan karena akan melintasi zona inti taman nasional. Di zona inti itulah satwa penting seperti harimau sering melintas dan melakukan perburuan.
Deborah Martyr, aktivis lingkungan dari Fauna & Flora Internasional, menga-takan jalan itu akan melintasi kawasan habitat harimau sumatera dan badak sumatera yang hampir punah. ”Jalan itu sama saja dengan mempersila-kan pem-buru masuk dengan mudah,” kata warga- negara Inggris ini gemas.
Martyr bukan aktivis kagetan. Perempuan bertinggi sedang itu sudah berta-hun-tahun hidup di rimba Kerinci Se-blat-. Ia yakin, jalan akan menghancur-kan Taman Nasional Kerinci Seblat-. Tanpa dibangun jalan pun, dia sudah- ber-kali-kali memergoki pemburu meng-gendong kulit harimau atau penebang liar melenggang seenaknya (baca Nasib Si Nenek Rimbo). Kini gerbang perburuan dan pembalakan liar seperti dibuka lebar-lebar.
Yang ngotot untuk membuka jalan itu adalah masyarakat Lempur. Menurut Muhammad Dayan, tokoh pemuda Lempur, mereka bukannya tak mengerti prinsip konservasi, tapi peningkatan kesejahteraan masyarakatnya lebih penting. ”Apa binatang saja yang mau dilindungi? Lalu kami ini bagaimana?” katanya.
Bangsawan Lempur, Depati Agung Syukur Kela Brajo, mengatakan kondisi geografis Lempur yang terletak di selatan Kerinci dan terjepit di ujung Taman Nasional membuat desa itu terisolasi. Jalan itu akan membuka akses lalu lintas ke Bengkulu. Bahkan, ikan segar dari laut pun bisa didapatkan de-ngan mudah, karena jarak Lempur ke laut hanya akan jadi satu setengah jam.
Hitung-hitungan ekonomi itu sebetul-nya pernah dibahas dalam sebuah loka-karya perwakilan sembilan kabupaten pada Oktober 2001 yang dimotori oleh Greenomics Indonesia. Dalam pertemu-an di Padang itu mereka menyimpulkan bahwa pembangunan jalan lebih besar mudarat daripada manfaatnya.
Kalkulasinya begini: masyarakat dan pemerintah daerah di sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat memang akan meraup Rp 8,8 miliar dari perdagang-an dan menghasilkan pendapatan asli -daerah Rp 6,1 miliar selama sepuluh tahun. Namun pembukaan hutan dalam jangka waktu yang sama akan mendatangkan kerugian: Rp 2 miliar akibat penebang-an liar, Rp 10 miliar karena hilangnya keanekaragaman hayati serta kerugian ekologis Rp 20 miliar.
Produktivitas sektor- pertanian juga akan melorot karena kurangnya air. Dan diperkirakan nilai kerugiannya selama lima tahun sampai Rp 47,7 miliar.
Masyarakat Lempur tak peduli hitung-an-hitungan itu. Februari lalu me-reka membuka jalan. Acuannya adalah surat dari Direktorat Jenderal- Perlindungan Hutan dan Konservasi- Alam yang terbit pada November 2005. Masyarakat menganggap surat itu ada-lah restu. Sebenar-nya surat itu ha-nya merestui peningkat-an jalan setapak yang sudah ada sejak zaman Belanda sepanjang 16 kilometer dengan lebar 1,5 meter dan diperkeras dengan batu alam tanpa semen.
Kenyataannya, jalan yang dibuka le-bar-nya 10 sampai 15 meter dan panjang-nya mencapai 34 kilometer. ”Kalau cuma jalan setapak, itu menghina namanya,” kata Syukur, tetua adat di Lempur.
Pencinta lingkungan dan petugas- Ba-lai- Taman Nasional pun geram. Ber-kalikali perundingan yang digelar mem-bentur tembok. Kepala Balai Taman Nasional Kerinci Seblat Soewartono pun melaporkan Syukur dan penduduk Lempur ke polisi. Tapi anjing menggonggong kafilah tetap berlalu.
Syukur mengklaim hutan taman nasional yang dibelahnya adalah hak ulayat adat Kedepatian Alam Sakti Lekuk 50 Tumbi yang dipimpinnya. Jadi, tak perlu izin untuk membuat jalan itu. ”Kami ingin mencuci di halaman sendiri, siapa yang melarang?” katanya menantang.
Klaim ini membuat dia berhadapan de-ngan masyarakat adat yang lain. Depa-ti Rencong Telang Bustami Ilyas dari Depati IV Alam Kerinci mengatakan hak adat Lempur dan Kedepatian Alam Sakti sebetulnya hanya terbatas di kawasan Desa Lempur. Sedangkan hutan yang termasuk kawasan Taman Nasional adalah hutan adat Depati IV Alam Kerinci.
Persoalan jalan ini kini telah sampai ke meja Menteri Kehutanan Malam Sambat Ka’ban. Sebagaimana pencinta- ling-kungan, sang menteri juga tegas me-nolak pembangunan jalan itu. ”Sebaik-nya dihentikan,” kata dia kepada Tem-po-, Rabu pekan lalu. Bila pembuat-an jalan itu masih berlanjut, sang menteri berjanji akan menuntut pihak yang bertanggung jawab dan melaporkannya ke pihak yang berwajib.
Tanpa ada jalan tembus pun hutan Kerinci Seblat sudah mulai terkikis penebang liar. Menurut Kholid Indarto-, yang mewakili Kepala Balai Taman Nasional Kerinci Seblat, sepanjang tahun ini ditemukan areal penebangan liar 240 hektare. Sebanyak 108 polisi hutan yang men-jaga taman nasional itu tak kuasa membendung aksi tersebut. Bujet mere-ka- juga cekak. Setahun mereka cuma bisa beroperasi delapan kali ke dalam hutan.
Kini taman yang dulu dijuluki ”segenggam tanah surga yang tercampak ke bumi” oleh penyair Kerinci Burhan Gozali itu tinggal menunggu waktu. Pembangunan jalan akan membuat keindah-an Kerinci hanya jadi dongeng.
Deddy Sinaga (Kerinci)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo