Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Nasib Si Nenek Rimbo

24 April 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SENJA baru saja turun di Desa Renah Kayu Embun, Kecamatan Sungai Penuh, Kerinci, Jambi. Burhanuddin, yang siap menunaikan salat magrib, mengambil air wudu dari sebuah sungai kecil yang mengalir membelah- desa. Ketika berbalik pulang ke pondoknya, tiba-tiba pria berusia 30 tahun itu bertemu pandang dengan sepasang mata berkilat dan tajam.

Mata itu milik seekor harimau bertubuh kekar. Panjangnya sekitar 1,5 meter. Jantung Burhanuddin seakan berhenti berdegup. Dia dan sang raja hutan hanya terpisah jarak sekitar 20 meter. Dengan tiga-empat lompatan, sang raja hutan itu bisa mencengkeram tubuhnya. Pelan-pelan Burhanuddin melangkah mundur. Harimau itu diam saja. Sedetik kemudian, peladang itu pun terbirit-birit sambil berteriak kesetanan.

Kejadian itu sempat disaksikan Thamrin, seorang penduduk yang rumahnya dekat dengan tempat kejadian. Di atas rumah panggungnya, pria yang kini menjabat kepala desa itu menyaksikan harimau bagai tak berselera mengejar Burhanuddin. ”Dia hanya menjilat-jilat gayung yang tertinggal,” katanya kepada Tempo, Selasa dua pekan lalu.

Seorang penduduk lain, Khusminar, rupanya tak seber-untung Burhanuddin. Sepekan setelah kejadian itu, wanita berusia 45 tahun ini juga bertemu dengan harimau di ladangnya. Tapi dia terpaksa meregang nyawa karena harimau menerkam tengkuknya.

Kedua peristiwa itu adalah sepenggal cerita tentang dekatnya hubungan antara penduduk dan harimau di bumi Kerinci. Hubungan kedua makhluk itu terjalin jauh sebelum Kerinci menjadi sebuah kota nan ramai. Bahkan harimau telah terkait erat dengan kultur dan adat Kerinci.

Harimau adalah satwa yang dilindungi oleh adat Kerinci. Bila satwa yang dipanggil dengan sebutan nenek kito dalam rimbo atau nenek rajo tunggu pamatang itu masuk kampung, itulah pertanda adanya kesalahan susila atau pelanggaran adat di kampung tersebut.

Namun itu cerita lalu. Perburuan harimau meningkat se-iring dengan pengetahuan orang tentang nilai kulit dan isi perut si Raja Hutan. Tak ada data persis berapa ekor harimau yang mati setiap tahunnya. Deborah Martyr, aktivis Fauna & Flora International yang menjadi konsultan perlindungan harimau Balai Taman Nasional Kerinci Seblat, mengatakan bahwa tahun lalu masih ada 150 ekor harimau di kawasan itu. Tapi tertangkapnya seorang pemburu- pada Agustus 2005, yang mengaku telah membunuh 40 ekor, serta seorang lagi pada Januari lalu, yang mengaku membunuh 17 ekor, adalah penanda bahwa jumlah Si Nenek Rimbo telah jauh berkurang.

Rusdi, aktivis dari Lembaga Tumbuh Alami, mengatakan bahwa perburuan harimau sangat berdampak pada populasi karena para pemburu umumnya mengejar harimau muda yang baru saja lepas dari induknya. ”Ini benar-benar meng-ancam regenerasi harimau,” katanya.

Para aktivis lingkungan kerap memergoki para pemburu itu keluar dari hutan sembari menggendong karung berisi- kulit harimau. Penampilannya seperti penduduk kampung- biasa. Tapi, setelah disergap, di karung itu ada kulit harimau yang siap dijadikan pajangan. Para pemburu itu -tergiur harga kulit harimau yang di luar negeri bisa laku US$ 15 ribu atau sekitar Rp 135 juta.

Selain oleh pemburu, macan-macan itu juga terancam oleh semakin sempitnya habitat mereka dan hilangnya mangsa buruan seperti rusa. Itu sebabnya, acap kali mere-ka turun ke desa-desa. Di sebuah desa di kaki Gunung Kerinci, pernah ada harimau masuk kampung dan ditangkap penduduk. Lalu, warga setempat menjadikannya sebagai tontonan. Yang ingin melihat keperkasaan raja hutan harus mengisi ”kencleng” untuk pembangunan masjid.

Kabar itu sampai di telinga para aktivis pelindung harimau. Akhirnya mereka bergotong-royong membangun mas-jid-. Sebagai imbalannya, Si Belang diserahkan ke para pencinta lingkungan dan dilepas ke hutan.

Karena maraknya perburuan dan menyempitnya habitat-, saat ini diperkirakan harimau di seluruh Sumatera—yang tersebar dari Taman Nasional Gunung Leuser di Aceh sampai Taman Nasional Way Kambas di Lampung—jumlah-nya cuma tersisa 496 ekor. Itu populasi menurut data Matthew Linhie dari Institut Konservasi dan Ekologi Durrel, Inggris, pada 2003. Setahun sebelumnya Persatuan Konservasi Dunia (IUCN) juga telah menetapkan status populasi harimau memasuki tahap kritis, dan bila tak dilindungi nasib Si Nenek Rimbo akan menyusul kisah macan jawa yang kini sudah punah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus