Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Panggilan Politik Aktivis Salman

Ia pernah masuk daftar hitam pemerintah Orde Baru karena aktivitasnya di Masjid Salman Institut Teknologi Bandung. Ia menjauh dari politik dengan menjadi pengusaha pengeboran minyak selepas kuliah. Huru-hara 1998, yang menumbangkan Soeharto, menariknya kembali ke kancah itu. Ia lalu mendirikan Partai Amanat Nasional, menjadi menteri tiga periode, dan kini menatap kursi wakil presiden sebagai pendamping Prabowo Subianto.

30 Juni 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penjaja Koran dari Cinde Welan

Hidup di tengah keluarga besar, Hatta belajar mandiri sejak kecil. kerap menumpang di rumah sanak saudara.

Hatta Rajasa tak tergolong murid pandai di Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 atau Sekolah Menengah Atas Negeri 4 Palembang. "Nilainya pas-pasan. Naik kelas saja cukuplah," kata Iskandar, 50 tahun, adik Hatta, pekan lalu.

Iskandar, yang kini Bupati Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, bercerita waktu dan tenaga Hatta sewaktu remaja banyak terkuras untuk mencari tambahan uang saku dan biaya sekolah.

Hidup menumpang di keluarga mendiang Saminah, kakak sepupu bapaknya, membuat Hatta tahu diri. Dia akhirnya memilih menjadi penjual koran di sepanjang lorong Cinde Welan di Kota Palembang pada 1960-an.

Menurut Iskandar, mereka keluarga besar dengan selusin anak. Rentang umur mereka terpaut antara dua dan lima tahun. Hatta, yang lahir pada 18 Desember 1953, adalah anak kedua dan lelaki tertua dalam keluarga pasangan Muhammad Tohir Achmad dan Syarifah Siti Aisyah.

Meski Tohir asisten wedana-setingkat camat sekarang-gaji pegawai negeri tetap tak mampu mencukupi kebutuhan 12 anaknya. "Saya masih ingat, Kak Hatta sejak kecil kurus seperti kurang gizi," ujar Iskandar, anak nomor delapan, ketika ditemui di Desa Pampangan, Ogan Komering Ilir, Senin pekan lalu.

Hidup dalam keterbatasan tak menyurutkan niat Tohir menyekolahkan anaknya. "Bapak sering berpesan, tanpa pendidikan, tak akan ada perubahan derajat dalam kehidupan keluarga kami," kata Iskandar, yang pernah menjabat Wakil Presiden Direktur PT Arthindo Utama, perusahaan yang didirikan Hatta pada 1982.

Karena menomorsatukan pendidikan itulah ayahnya mengirimkan Hatta dan si sulung, Hanna Gayatri, bersekolah ke Palembang.

Harris Fadillah, anak keenam Tohir, mengatakan, sebagai asisten wedana, pekerjaan ayahnya kerap berpindah-pindah. Ini yang terkadang membuat mereka kesulitan mendaftar ke sekolah bagus. Saat Hatta dan Hanna bersekolah di Palembang, Harris dan sembilan saudaranya selalu ikut menetap bersama kedua orang tuanya di mana pun Tohir ditugaskan di wilayah Sumatera bagian selatan, seperti di Pangkalpinang, Belitung. "Hidup di perantauan membekas dalam hidup Kak Hatta dan menempa dia jadi pebisnis andal," ujar pengusaha perusahaan pengeboran minyak itu ketika ditemui di Palembang.

l l l

Dalam wawancara khusus dengan Tempo, Hatta mengatakan masa kecil hingga remaja merupakan episode tersulit dalam hidupnya. "Menjadi anak lelaki tertua mungkin saya orang yang paling tahu cara menggendong bayi karena adik saya ada sepuluh," kata Hatta di rumahnya di Jalan Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta Selatan, Selasa malam pekan lalu. Calon wakil presiden ini mengaku terbiasa bangun pagi-pagi buta membantu Emak-begitu Hatta memanggil ibunya.

Bersama Herry Wijaya, adik lelakinya, mereka bahu-membahu menyetrika pakaian, menanak nasi, dan mengasuh adik-adiknya. "Kami bergantian. Saya yang menimba air, Kak Hatta yang memandikan adik-adik atau sebaliknya" ujar Herry di Jakarta. Untuk pelengkap lauk makan siang, mereka kompak turun ke rawa mencari genjer dan kangkung atau memancing ikan gabus.

Hatta mengatakan kagum kepada ibunya yang mampu membesarkan 12 anak tanpa pembantu. "Ketika melihat Emak salat, doa saya hanya satu: Tuhan, kalau Kauberikan izin, saya ingin menyenangkan hati Emak."

Soal kedekatan dengan Emak, ada cerita yang hampir membikin Hatta menyesal seumur hidup. Kejadiannya ketika sebagai Menteri Koordinator Perekonomian dia ditunjuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghadiri pertemuan negara-negara G-7 di Abuja, Nigeria, pada 9 Juli 2010. Saat singgah di Arab Saudi sehari sebelumnya, Hatta mendapat panggilan telepon dari Hanny Tribuana, anak ketiga dari 12 bersaudara itu, yang mengabarkan Emak menghadapi sakratul maut di Jakarta terkena serangan jantung.

"Umur Emak sudah tidak lama lagi," ucap Hatta menirukan adiknya. "Saya bilang, jangan begitu, doakan saja Emak," ujar alumnus Fakultas Teknik Perminyakan Institut Teknologi Bandung itu.

Diliputi rasa khawatir, Hatta meminta izin kepada Yudhoyono untuk pamit kembali ke Ibu Kota. Tapi Hatta mengurungkan niat pulang mengingat pentingnya acara itu. Persis pada Jumat dinihari, 9 Juli 2010, Emak pun berpulang. Selesai konferensi, Hatta berusaha untuk pulang.

Apes, tak ada pesawat. Kalaupun ada, penerbangan memutar ke Eropa sehingga butuh waktu dua hari untuk tiba di Jakarta. Akhirnya Hatta menyerah. Ia meminta keluarga memakamkan Emak tanpa kehadirannya. "Setelah itu, saya menangis. Mungkin itulah sepanjang hidup saya menangis terkeras dan terpanjang," tuturnya.

Ia mengadu kepada Tuhan. "Apabila Engkau izinkan, saya ingin mencium, mendoakan, dan membawa emak saya ke liang lahad. Izinkanlah," kata Hatta mengulang harapannya. Setelah ia salat magrib, tiba-tiba pintu kamar hotelnya diketuk. Wakil Perdana Menteri Malaysia Muhyiddin Yasin menawarkan tumpangan jet pribadinya kepada Hatta.

Hatta mengaku akrab dengan orang nomor dua di Malaysia itu. Setelah berganti pesawat di Dubai, Uni Emirat Arab, ia akhirnya bisa mengantar ibunya ke peristirahatan terakhir.

Menurut Herry, keluarga menunda pemakaman Emak hingga kedatangan Hatta. "Saya tahu persis Kak Hatta sangat cinta kepada orang tua. Sepanjang ingatan saya, dia tak pernah berkata 'ah' kepada orang tua. Tak ada salahnya kami menunggunya," ujarnya.

l l l

DESA Jejawi terletak di Kecamatan Jejawi, Ogan Komering Ilir, lebih-kurang 100 kilometer dari Kota Palembang. Butuh dua jam bermobil untuk tiba di desa kelahiran mendiang Muhammad Tohir Achmad dan Syarifah Siti Aisyah, orang tua Hatta, itu.

Jalan sempit dan beraspal tak rata menjadi teman para pengendara. Di sisi kiri dan kanan jalan masih ditemui semak belukar sehingga semakin mempersempit badan jalan. Akibatnya laju kendaraan tidak bisa maksimal.

Hari pemungutan suara pemilihan presiden tersisa dua pekan lagi. Suasana pesta demokrasi sudah terasa di pangkal desa. Orang-orang desa memasang atribut kampanye bergambar pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Hanya ada sedikit atribut bergambar Joko Widodo-Jusuf Kalla.

"Meski ini kampung kelahiran keluarga besar Hatta, kami tidak pernah memaksa warga desa memilihnya," ucap Bupati Ogan Komering Ilir Iskandar, yang kerap melawat ke desa ini.

Persis di tengah Desa Jejawi terdapat pemandangan yang tak biasa. Di antara deretan rumah panggung, berdiri dua bangunan besar: Masjid Raya At-Tohirin dan Rumah Limas. Masjid berwarna biru dan rumah itu dibangun oleh Hatta Rajasa. Bangunan itu, kata Iskandar, sebagai bentuk pengabdian Hatta kepada desa leluhurnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus