Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Saya ini Produk Asing

30 Juni 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJUMLAH jajak pendapat memperkirakan elektabilitas Prabowo Subianto-Hatta Rajasa mendekati pesaing mereka, Joko Widodo-Jusuf Kalla. Pendukung kandidat yang diusung Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Amanat Nasional, dan Partai Bulan Bintang ini semakin percaya diri.

"Itu artinya kami harus bekerja lebih keras lagi," kata Prabowo, 63 tahun, tentang meningkatnya popularitas itu, setelah menghadiri dialog dengan Kamar Dagang dan Industri di Djakarta Theatre, Jumat dua pekan lalu. Hashim Djojohadikusumo, adiknya, tak kalah optimistis. "Kalau trennya sudah naik, suatu ketika akan bisa menyalip. Kan, hanya sekitar tiga minggu lagi," ujarnya.

Tempo mengajukan permintaan wawancara kepada Prabowo, baik secara tertulis melalui surat maupun lisan. Surat dikirimkan ke Markas Pemenangan Prabowo-Hatta di Rumah Polonia, Cipinang Cempedak, Jakarta Timur. Permintaan juga dilayangkan melalui surat elektronik ke Badan Komunikasi Partai Gerindra serta media dan komunikasi mereka. Prabowo dan timnya menolak dengan alasan Tempo "tidak berimbang" terhadap mereka.

Demi kesempatan yang sama kepada semua kandidat, Tempo menurunkan wawancara dengan Prabowo sebelum mantan Komandan Jenderal Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat itu resmi menjadi calon presiden, Oktober tahun lalu. Ketika itu dia berkunjung ke kantor redaksi Tempo. Wawancara dilanjutkan di rumah besarnya di Bojongkoneng, Hambalang, Kabupaten Bogor.

Sebagian wawancara total enam jam lebih itu telah dimuat pada Tempo edisi 28 Oktober 2013. Tempo menambah beberapa pertanyaan dalam berbagai kesempatan Prabowo tampil di publik.

Mengapa Anda mencalonkan diri jadi presiden?

Saya merasa Indonesia on the wrong track. Ekonomi kita terjebak dalam wrong system. Saya bisa buktikan selama sekian puluh tahun tidak ada accumulation of national wealth. Kita tidak menjadi negara produktif, tapi konsumtif. Bahkan produsen kita telantar. Petani dibikin supaya tak mau produksi, dikalahkan elite. Ini menghina, memalukan.

Ini terjadi sejak pemerintahan Yudhoyono?

Oh, tidak…. Mulai pertengahan Orde Baru sudah begitu. Tapi Orde Baru, yang dibilang jelek, melarang ekspor kayu gelondongan. Reformasi dengan pasar bebas mengizinkan hal itu dilakukan. Orde Baru melarang ekspor rotan, tapi harus diolah. Sekarang mentah diambil. Semua, termasuk tambang.

Kalau terpilih, apa yang akan Anda lakukan untuk mengubahnya secara dramatis?

Sistem politik kita masih memberikan kekuasaan begitu besar kepada eksekutif. Jadi, kalau ada keberpihakan, bisa kita lakukan.

Anda sendiri punya perusahaan tambang dan memiliki konsesi hutan….

Iya, benar. Kalau tidak, diambil semua oleh orang asing. Kalau saya ambil, kan milik orang Indonesia. Saya pakai untuk membesarkan kekuatan Indonesia.

Anda kelihatannya anti-asing?

Tidak. Saya ini produk asing. Tapi yang saya terima dari Barat adalah life, liberty, and the pursuit of happiness. Selalu saya ajarkan kepada anak buah agar belajar dari asing. Ketika masih aktif, saya banyak mengirim anak buah ke luar negeri. Ratusan perwira saya kirim ke luar negeri.

Kalau jadi presiden, gaya seperti apa yang akan Anda terapkan?

Kepemimpinan rasional. Saya akan berusaha kolegial karena negara kita ini besar. Saya akan memilih the best and the brightest tim yang bersama saya mengelola negara. Saya punya keyakinan sejak kecil, setiap pekerjaan ditentukan dari penyusunan tim. Menyusun tim adalah kunci.

Kabinet Anda akan sebesar sekarang atau lebih ramping?

Idealnya lebih ramping. Tapi negara kita besar. Jadi, menurut saya, angka sekitar 30 menteri memadai. Ini feeling saya.

Elektabilitas Anda terus naik dan mendekati pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla....

Itu artinya kami harus bekerja lebih keras lagi.

Siapa saja pendukung dan pemilih Anda?

Ada segmen-segmen. Tentu yang paling besar adalah pemilih pertama. Mereka paling besar jumlahnya. Saya kira juga para petani, nelayan, pedagang pasar, dan pegawai negeri.

Bagaimana dengan kelas menengah dan terdidik?

Saya lihat saya mendapat dukungan besar dari kelas menengah. Mereka rasional. Di Facebook, pendukung saya paling besar.

Kalau keluarga besar TNI?

Sebagian besar ke saya, bintang satu ke bawah, juga beberapa senior.

Kenapa bintang satu ke bawah mendukung Anda?

Saya kira sikap saya sangat jelas. Ada resonansi. Kenapa kita beli satu juta mobil tiap tahun, enggak ada satu pun merek Indonesia. Masuk akal enggak Indonesia mengambil 10 persen dari pangsa pasar kita sendiri? Does it make sense? Indonesia belum bisa bikin mobil setelah 68 tahun merdeka, sedangkan Malaysia sudah bisa bikin mobil 20 tahun lalu. Kenapa kita selalu kalah?

Apa yang akan Anda lakukan terhadap situasi itu?

Kalau pemimpinnya nasionalis, seperti Mahathir Mohamad di Malaysia, satu juta mobil yang dijual di Indonesia pasti produk dalam negeri semua. Okelah, tidak sebesar itu, nanti kita dimusuhi Jepang. Sepuluh persennya saja masak enggak bisa? Jangan-jangan masyarakat kita yang enggak nasionalis? Korea, misalnya, semua produknya dari sana. Jepang juga begitu. Di sini orang suka mencemooh produk domestik.

Banyak juga yang mencemooh mobil Esemka hasil inisiatif Joko Widodo?

Itu sesuatu yang harus didukung. Makanya saya dukung waktu itu. Tapi saya dengar sudah mau mati sekarang.

Anda sangat optimistis dipilih oleh pemilih pemula. Bagaimana dengan pemilih lama? Bagaimana Anda menjelaskan masa lalu yang kerap disangkutkan dengan masalah hak asasi manusia?

Saya kan berkeliling terus. Konstituen saya besar, pengikut saya banyak. Survei yang saya bikin menunjukkan pendukung saya cukup besar, dari berbagai segmen. Dalam demokrasi, orang enggak mau mendukung, ya, enggak apa-apa. Akan saya terima apa pun keputusan rakyat.

Penculikan aktivis diungkit lagi. Komentar Anda?

Mau diapain? Ini pemilihan ketiga yang saya ikuti. Apalagi yang ditanya?

Kesempatan menjadi presiden tinggal pada 2014. Anda akan habis-habisan seperti Perang Bubat?

Begini, saya ini mendekati masalah selalu dengan pendekatan filosofis. Saya ngelakoni. Bagaimanapun saya ada pengaruh Jawa. Saya juga ngelakoni, nerimo dalam arti positif. Saya jalankan dengan iktikad baik, mengabdi. Rame ing gawe, sepi ing pamrih. Saya ingin berbuat baik untuk negara dan bangsa. Apa pun yang terjadi, saya terima. Jadi enggak didramatisasi seperti Perang Bubat.

Menghadapi pemilihan presiden 9 Juli nanti, banyak kampanye hitam yang ditujukan kepada pasangan lawan. Tanggapan Anda?

Tidak baik itu.

Bagaimana mengatasi radikalisme dan Islamofobia agar negara ini tetap utuh?

Komitmen saya kepada NKRI sangat jelas. Kalau dibandingkan, negara kita yang besarnya 25 negara di Eropa, jumlah penduduknya keempat (di dunia), ribuan suku, kasus ini relatif manageable. Saya kira persoalan utama adalah good government. Masalahnya, kita kehilangan Rp 1.000 triliun kebocoran anggaran setiap tahun. This is not a joke.

Apa hubungannya?

Radikalisme atau semua paham yang ekstrem akan tumbuh subur manakala ada keputusasaan di kalangan muda. Kalau anak-anak muda lulusan SMA tidak punya harapan, tidak punya prospek, tidak bisa bekerja, di sinilah alam subur radikalisme. Ini pengalaman, kalau kita baca sejarah.

Anda sendiri percaya Tuhan?

Saya percaya yang saya miliki hari ini adalah pemberian Tuhan. Tapi saya bukan orang yang terlalu taat menjalankan ritual (agama).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus