Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam keadaan kritis di Rumah Sakit MMC Jakarta, Bambang Sukarsono mendengar suara lirih Hatta Rajasa berbicara dengan tim dokter. "Dia bukan kawan saya, tapi saudara saya," ucap Bambang menirukan kata-kata Hatta tiga tahun lalu.
Sehari sebelumnya, Bambang baru saja diterbangkan dari Belitung. Ia mengalami kecelakaan saat bersepeda menyusuri pulau penghasil timah itu. Dia terjatuh, lehernya terbentur setang. Musibah ini membuat tubuh Bambang bagian leher ke bawah lumpuh.
Hatta, yang saat itu Menteri Koordinator Perekonomian, baru saja mendengar kabar tentang kondisi Bambang. Dia bergegas meluncur dari kantornya di kawasan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, ke rumah sakit yang terletak di bilangan Kuningan itu. Hatta pun menemui tim dokter untuk memastikan bahwa Bambang mendapat penanganan yang tepat.
"Kalau memang tidak bisa, akan saya evakuasi ke Korea," ujar Bambang menirukan ucapan Hatta. Hari itu juga Bambang dilarikan ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta Pusat. "Sore itu langsung dibedah," kata Bambang.
Bambang adalah kawan karib Hatta sejak di bangku kuliah. Keduanya sama-sama masuk Institut Teknologi Bandung pada 1973, salah satu angkatan paling solid di ITB yang dikenal dengan sebutan Fortuga, Forum Tujuh Tiga.
Setahun menjalani matrikulasi, Hatta dan Bambang masuk jurusan teknik perminyakan. Anggota geng mereka ada Alimin Abdullah, yang kini anggota DPR; Al Hilal Hamdi, mantan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi; serta Aqwan, rekan bisnis Bambang hingga saat ini.
Pertemanan mereka mulai erat ketika Hatta tinggal di rumah Bambang di kompleks rumah tentara di Geger Kalong, Bandung. Saat itu ayah Bambang, Kolonel Kasman Hadi, bertugas di Jakarta sebagai Komandan Detasemen Markas Besar TNI Angkatan Darat. "Daripada kosong, saya ajak kawan-kawan tinggal di rumah, termasuk Pak Hatta," kata Bambang.
Selama tinggal di perumahan militer tersebut, Hatta menunjukkan kelebihannya. Salah satunya, Hatta dipilih menjadi ketua muda-mudi di kompleks itu. "Bukan anak tentara yang ditunjuk sebagai ketua pemuda. Saya yang asli di sini enggak bisa," kata Bambang sembari menambahkan bahwa Hatta luwes bergaul dengan siapa saja.
Perkawanan Hatta dengan Bambang terus terjalin ketika sama-sama menjadi aktivis kampus. Mereka turut memprotes saat Presiden Soeharto mulai melancarkan tekanan terhadap gerakan mahasiswa pada 1978. Hatta, yang aktif di himpunan mahasiswa jurusan perminyakan, duduk sebagai wakil di Majelis Permusyawaratan Mahasiswa.
Pada tahun itu mahasiswa menyatakan ketidakpercayaan terhadap kepemimpinan Soeharto. Bagi mereka, pemilihan presiden oleh MPR hanya sandiwara. Di ITB, gerakan ini dimotori oleh Dewan Mahasiswa. Menjelang pelaksanaan Sidang Umum MPR, yang agendanya memilih Soeharto lagi jadi presiden, kampus ITB diduduki tentara.
Buntut dari aksi ini, Ketua Umum Dewan Mahasiswa ITB Heri Akhmadi diciduk pasukan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Sejak itu, aktivis mahasiswa tiarap untuk menghindari kejaran tentara. Bambanglah yang menyelamatkan Hatta lari dari satu ke tempat lain.
Bambang mengisahkan, karena Ketua Dewan Mahasiswa ditangkap, tak tertutup kemungkinan yang lain hanya menunggu giliran. Benar saja, tak lama berselang, Al Hilal Hamdi dicokok aparat.
Menggunakan Toyota Land Cruiser Hard Top, Bambang dan sejumlah aktivis kabur ke arah Ciater, Jawa Barat. Hanya menginap semalam, mereka lari ke Pangandaran dan kemudian ke Jakarta. "Jakarta daerah yang paling aman," Di Jakarta, mereka bersembunyi di kompleks perumahan tentara di Cijantung. "Ayah saya juga ikut melindungi," tutur Bambang.
Selama pelarian, Bambang melanjutkan, mereka tidak pernah tinggal lebih dari satu malam di satu tempat. "Dulu tidak seperti sekarang sistem komunikasinya. Reaksi informasi terlambat satu hari, karena harus ke bawah dulu," katanya.
Setelah Soeharto dipilih kembali menjadi presiden untuk ketiga kalinya, aktivis mahasiswa mulai menampakkan diri dari persembunyian. Mereka kembali ke kampus setelah situasi benar-benar aman.
Kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan diterapkan di kampus, tidak terkecuali ITB "Kami kembali ke kampus, konsentrasi menyelesaikan kuliah. Tidak sampai setahun kami selesai, saya, Pak Hatta, dan Pak Hilal," kata Bambang.
Alimin Abdullah bercerita, salah seorang dosen di Teknik Perminyakan ITB, Faisal Effendi Yazid, memberi kabar menarik. Salah seorang alumnus ITB sedang merintis usaha di bidang perminyakan. Geng Fortuga diminta menemui Arifin Panigoro, sang alumnus ITB Jurusan Teknik Elektro. Arifin baru saja merintis bisnis pengeboran minyak. Nama perusahaannya Meta Epsi Drilling Company, yang belakangan dikenal dengan nama Medco.
Tiba di markas Meta Epsi, Bambang, Hatta, dan Hilal tafakur mendengarkan paparan Arifin Panigoro. "Saya lagi beli rig, sedang dikirim dari Amerika," kata Bambang menirukan sambutan Arifin saat itu. Pekerjaan pertama mereka adalah proyek pengeboran sumur minyak di Sumatera Selatan.
Sejak itu, Arifin adalah guru mereka bertiga dalam bisnis. Banyak pengalaman yang mereka dapatkan ketika bekerja dengan Arifin. Pernah suatu kali Hatta dan Bambang mencapai rekor drilling time, pengeboran sumur minyak kurang dari 32 hari. "Kami mendapat sertifikat pengeboran tercepat," kata Bambang.
Selama magang, Hatta dan Bambang lebih banyak di lapangan. Sedangkan Hilal berkutat mengurusi keuangan perusahaan. "Saya kebagian menangani feasibility study, business plan," kata Hilal.
Di Meta Epsi, mereka leluasa menerapkan berbagai teori tentang perminyakan yang diperoleh dari bangku kuliah. "Kami belajar sambil bekerja," ujar Al Hilal Hamdi. Pernah suatu kali mereka gagal melakukan pengeboran, tapi Arifin Panigoro tidak marah. "Yang penting kalian sekarang sudah paham," kata Hilal menirukan ucapan Arifin.
Hanya beberapa bulan mereka bekerja di Meta Epsi. Hatta menantang Bambang untuk membuat perusahaan sendiri. "Masak, enggak bisa bikin seperti Meta Epsi," ujar Bambang mengulangi ajakan Hatta. Lalu mereka menemui Arifin untuk undur diri dari Meta Epsi. "Kami kemudian mendirikan usaha yang sama di bidang drilling contractor," katanya.
Hatta, Bambang, dan Alimin akhirnya memiliki perusahaan. Namanya Arthindo Utama, dengan cita-cita ingin bersaing dengan Meta Epsi. Belum sampai meraksasa seperti Medco, krisis ekonomi 1998 datang. "Pak Hatta memilih ke politik, saya meneruskan bisnis," kata Bambang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo