Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAUDARA ipar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Letnan Jenderal Erwin Sudjono, melepaskan jabatannya sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad). Selanjutnya, Erwin akan menjabat sebagai Kepala Staf Umum Markas Besar TNI, yang ditinggalkan Letnan Jenderal Endang Suwarya.
Posisi yang ditinggalkan Erwin akan diisi oleh mantan Panglima Komando Daerah III Siliwangi, Mayor Jenderal George Toisutta. Serah-terima jabatan Pangkostrad ini dilangsungkan di lapangan Markas Divisi I Kostrad, Cilodong, Bogor, Jawa Barat, dan langsung dipimpin oleh Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Djoko Santoso.
Dalam kesempatan itu, Kepala Staf TNI Angkatan Darat, Jenderal Djoko Santoso, menyatakan TNI sudah tak lagi berpolitik praktis atau berbisnis. Tekad ini sesuai dengan semangat reformasi di tubuh TNI seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Menurut dia, aturan peradilan militer memungkinkan anggota TNI yang melakukan tindakan kriminal diadili di peradilan sipil. ”Kami akan tunduk pada ketentuan itu,” katanya.
Australia: Kasus Balibo Disengaja
PENGADILAN Glebe Coroners Negara Bagian New South Wales, Australia, menyimpulkan lima wartawan asing yang meninggal di Desa Balibo, Timor Leste, 16 Oktober 1975, sengaja dibunuh tentara Indonesia. Menurut Dorelle Pinch dari Pengadilan Glebe Coroners, mereka dibunuh agar tidak memberitakan invasi Indonesia ke Timor Leste.
Kasus Balibo Five kembali diungkit pekan lalu setelah selama delapan pekan Pinch menyelidiki bukti-bukti kematian Brian Peters, Malcolm Rennie, Greg Shackleton, Gary Cunningham, dan Tony Stewart. Pinch, seperti dikutip Sydney Morning Herald, mengungkapkan, tewasnya para wartawan itu bukan karena sedang berada di tengah pertempuran seperti yang diakui pemerintah Indonesia.
Mantan Menteri Penerangan Yunus Yosfiah diduga terlibat dalam pembunuhan itu. Menurut Pinch, Yunus yang saat itu berpangkat kapten dan Komandan Tim Susi berperan memberi perintah pembunuhan. Hasil temuan Pinch akan disampaikan kepada Jaksa Agung Australia Philip Ruddock. Juru bicara kepresidenan Dino Pati Djalal mengatakan, pemerintah Indonesia tidak akan menanggapi keputusan Pengadilan Glebe Coroners itu.
Lima Siswa Penganiaya Ditangkap
LIMA siswa Sekolah Menengah Atas Negeri 34, Pondok Labu, Jakarta Selatan, dikeluarkan dari sekolah dan terancam hukuman penjara lima tahun karena menganiaya adik kelas mereka. Korban adalah Muhammad Fadil, 15 tahun, siswa kelas satu, yang patah lengan kirinya.
”Mereka diancam dengan Pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu memukul bersama-sama,” kata Ida Rumindang Radjagukguk, penasihat hukum para tersangka. Lima siswa yang kini ditahan di Polres Depok bernama David, Deni, Wely, dan Ernes. Satu tersangka bernama Dwi, kata Ida, masih berumur 16 tahun.
Sebelumnya, mereka sempat ditahan di Polsek Metro Cilandak, Jakarta Selatan. Pemindahan lokasi penahanan ini, menurut Ida, karena tempat kejadian perkara penganiayaan masuk wilayah hukum Polres Depok.
Ida telah meminta penangguhan penahanan kepada Polres Depok. ”Kami akan cek hasilnya,” kata Ida kepada Tempo, Jumat pekan lalu.
Perjanjian Lombok Disetujui
DEWAN Perwakilan Rakyat akhirnya memberi kata setuju dengan meratifikasi perjanjian keamanan dengan Australia pada Senin pekan lalu. Sepuluh fraksi DPR mendukung pengesahan perjanjian yang ditandatangani kedua pejabat negara setahun sebelumnya di Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Perjanjian ini meliputi 21 area kerja sama dalam sepuluh bidang, di antaranya pertahanan, keamanan laut, keselamatan dan keamanan penerbangan, terorisme, penegakan hukum, dan intelijen.
Pengesahan dilakukan dalam rapat Komisi Pertahanan DPR, yang dihadiri Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda, Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata, dan Wakil Menteri Pertahanan di Gedung Nusantara II, DPR.
Wakil Fraksi Partai Amanat Nasional Deddy Djamaluddin Malik mengatakan, ratifikasi Lombok Treaty ini akan mendorong Negeri Kanguru lebih menghormati batas wilayah RI. ”Kami minta prinsip-prinsip yang ada di dalam perjanjian kerja sama keamanan dilaksanakan dengan benar,” ujarnya.
Zulkarnain Divonis Dua Tahun Penjara
ZULKARNAIN Yunus diganjar dua tahun penjara karena kasus pengadaan alat sidik jari otomatis atau Automatic Fingerprint Identification System (AFIS). Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam sidang Senin pekan lalu menyatakan bekas Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum dan HAM itu melakukan penunjukan langsung terhadap PT Sentral Fillindo yang mengakibatkan kerugian negara Rp 6,4 miliar. Zulkarnain juga didenda Rp 100 juta.
”Zulkarnain Yunus sebagai pejabat tinggi telah secara sadar tidak melakukan cek dan ricek terlebih dahulu dalam melakukan pengadaan alat AFIS,” kata ketua majelis hakim Krisna Menon. Proyek AFIS ini berlangsung 2004 di masa Yusril Ihza Mahendra menjadi menteri. Zulkarnain membawahi Direktorat Daktiloskopi, pengguna AFIS.
Selain Zulkarnain, terdakwa lain yang divonis bersalah adalah Apendi. Ia dihukum tiga tahun penjara dan denda Rp 100 Juta. Kepala Bagian Rumah Tangga Departemen Hukum dan HAM ini yang menjadi pimpinan proyek senilai Rp 18,8 miliar itu. Zulkarnain mengaku hanya meneruskan perintah atasannya. Sedangkan Apendi hanya melaksanakan tugas administrasi. Keduanya minta waktu sepekan untuk mempertimbangkan putusan ini.
Dalam kasus pengadaan alat sidik jari ini, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi juga sudah menghukum Direktur PT Sentral Fillindo Eman Rachman dengan tiga tahun penjara dan uang pengganti Rp 3,7 miliar.
Staf YLBHI Mundur Serentak
Sebanyak 19 dari 22 anggota staf dan karyawan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengundurkan diri karena merasa sudah tidak bisa bekerja sama lagi dengan Ketua YLBHI, Patra M. Zen. ”Kami sangat terpukul oleh keputusan Patra M. Zen,” kata Wakil Ketua Bidang Internal YLBHI, Fenta Peturun, di kantor YLBHI kemarin.
Puncak kekecewaan terhadap kepemimpinan Patra disebabkan keluarnya kebijakan soal pemberlakuan sistem kerja buruh kontrak di YLBHI. Menurut Fenta, sistem itu jelas bertentangan dengan hak asasi manusia. ”Karena lembaga ini bukan perusahaan,” katanya.
Selain kebijakan itu, menurut Fenta, Patra juga kerap mengeluarkan kebijakan yang menyimpang dari tujuan YLBHI. Contohnya, setiap karyawan YLBHI diwajibkan mengumpulkan dana miliaran. Patra pun kerap melakukan pelecehan secara verbal hingga seorang anggota staf mengundurkan diri. Sayang, Patra M. Zen enggan berkomentar soal ini. ”Itu hak mereka,” ujarnya singkat.
Tempo Gugat Balik RAPP
SIDANG gugatan perkara perdata pencemaran nama baik dan penghinaan yang diajukan Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP) terhadap PT Tempo Inti Media Harian, penerbit Koran Tempo, memasuki tahap pembacaan jawaban dari tergugat. Selain menjawab isi gugatan, dalam jawaban yang disampaikan pada sidang yang digelar Kamis pekan lalu di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ini Tempo menuntut balik penggugat. Sidang tersebut merupakan kelanjutan atas gagalnya upaya mediasi karena pihak RAPP tidak mau mencabut tuntutannya, yakni Tempo membayar kerugian materiil Rp 1 miliar dan kerugian imateriil Rp 500 juta.
Dalam upaya gugatan balik, PT Tempo mengajukan dalil bahwa RAPP telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan melanggar kebebasan pers. ”Dengan adanya gugatan, media massa pun takut untuk memberitakan sesuatu,” kata kuasa hukum Tempo, Hendrayana. Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, penyelesaian sengketa dengan media dilakukan dengan melapor dulu ke Dewan Pers. Nyatanya, RAPP langsung mengajukan gugatan ke pengadilan. ”Ini perbuatan melawan hukum,” ujar Hendra.
Kuasa hukum RAPP, Leonard Simorangkir, meminta waktu dua pekan untuk menanggapi eksepsi dan gugatan balik Tempo. Ketua majelis hakim Eddy Risdianto hanya memberi waktu satu pekan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo