Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Kebangkitan di Hari Sabtu

Puluhan ribu pendukung gerakan reformasi pemilu menguningkan kota Kuala Lumpur. Aksi terbesar di Malaysia sejak 1998 yang dihadapi pemerintah Malaysia dengan kekerasan.

19 November 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ruko di Jalan Klang Lama, Kuala Lumpur, itu seperti kantor sebuah perusahaan yang bangkrut. Terkunci rapat, sepi. Tidak terlihat lagi beberapa orang yang biasanya sibuk mengurus surat-menyurat. Setelah demonstrasi yang berakhir dengan kekerasan, Sabtu dua pekan silam, suasana di tempat itu redup.

Kantor Bersih, wadah yang menampung sekitar 70 organisasi—partai politik, lembaga swadaya masyarakat, organisasi massa dan lain-lain—itu bukan tempat favorit para aktivis sekarang. Mereka bertemu di tempat-tempat umum seperti kafe atau mal—tempat-tempat yang diyakini lebih aman. Kuala Lumpur, kota yang dikenal dengan iklan pariwisata ”Truly Asia” ini bergerak, ”hidup” seperti biasa. Tapi suasana mencekam setelah Sabtu yang berdarah itu belum juga berlalu.

”Memang ada ketakutan, terutama setelah demonstrasi,” kata Tian Chua, salah satu anggota pengurus Bersih saat dihubungi pertengahan pekan lalu. Hari itu, 245 orang demonstran ditahan, 18 di antaranya anak-anak dan remaja. Kini, setelah demonstrasi yang menuntut reformasi agenda pemilu, polisi, aparat pemerintah mengeluarkan aneka ancaman bagi siapa saja yang berani berkumpul berkelompok.

Sabtu dua pekan lalu, untuk pertama kalinya sejak aksi besar-besaran 1998 saat Anwar Ibrahim dipecat dari jabatan Deputi Perdana Menteri dan diadili dengan tudingan korupsi dan sodomi, masyarakat berani menyuarakan keinginan dengan terbuka dan begitu besar. Tian Chua memperkirakan sekitar 40 ribu orang memadati kawasan depan Istana. Seperti diserukan oleh Bersih, sebagian besar demonstran mengenakan baju kuning, tanda ”kebebasan akhbar”. ”Banyak massa yang tidak berhasil masuk Kuala Lumpur atau yang hanya berkumpul di Dataran Merdeka, atau juga di Masjid Jamek,” kata Tian yang juga Ketua Penerangan Partai Keadilan itu.

Di pintu gerbang istana, Anwar Ibrahim bersama Abdul Hadi Awang dan Nasharuddin Mat Isa dari PAS (Partai Islam Se-Malaysia), serta Lim Kit Siang dan Lim Guan Eng dari DAP (Partai Aksi Demokratik) menyerahkan memorandum ke perwakilan Yang di-Pertuan Agong Tuanku Mizan Zainal Abidin. Di jalan masuk ke Kuala Lumpur lalu lintas macet total. Kota pun sepi dari kegiatan bisnis. Banyak toko dan kantor tutup. Polisi memasang blokade di mana-mana. Bahkan wartawan Tempo, Ramidi, yang sedang berusaha memasuki Kuala Lumpur, tertahan lama. Bus yang dia tumpangi harus menunggu empat jam dari 14.00 sampai 18.00.

Menurut rencana, pemilu Malaysia akan digelar tahun depan dan 70 organisasi itu menuntut sejumlah perbaikan dalam proses elektoralnya, di antaranya pembenahan daftar pemilih yang sekarang di tangan Suruhanjaya Pilihanraya (Komisi Pemilihan Umum), karena, menurut Tian Chua, banyak penyelewengan di sana. Sekitar 50 persen warga yang memiliki hak memilih tak terdaftar. Mereka juga menuntut perlakuan yang sama terhadap polisi dan militer. Selama ini mereka memilih 3–4 hari sebelum hari pemilihan dan kartu suara diserahkan ke kantor-kantor mereka. Kalau sudah begini, siapa yang bisa memastikan bahwa pemungutan suara itu ”jurdil”.

Penggunaan tinta penanda bagi orang sudah menggunakan hak pilihnya juga diusulkan. ”Dan akses ke media yang sama dan rata,” Tian Chua menandaskan. Menurut dia, selama ini media massa tidak diperbolehkan menyiarkan kegiatan partai oposisi.

Sayang, aksi akbar tersebut ditangani aparat dengan kekerasan. Dekat Masjid Jamek, barikade polisi mencegat massa yang bergerak ke arah Lapangan Merdeka. ”Pihak polis menangkap orang tanpa waran (surat penangkapan) dan menggunakan kekerasan dalam meleraikan perhimpunan di Masjid Jamek,” kata Pengarah Eksekutif Suaram (Suara Rakyat Malaysia), Yap Swee Seng.

Seorang demonstran asal Perlis yang tidak bersedia menyebut namanya mengaku bahwa bus yang membawa rombongannya dihentikan empat kali oleh polisi. Bahkan rombongan juga diancam. Beberapa kali mengubah rute karena jalanan yang ditutup polisi, mereka bisa mencapai Masjid Jamek dan kemudian bergabung dengan para demonstran lainnya. Di sanalah ia dan rekan-rekannya merasakan semburan air dan gas air mata. ”Sepatutnya polis menembak ke arah atas, bukannya ke arah kami,” katanya.

Di sanalah teriakan ”Allahu Akbar” terdengar bersahutan. Seorang wartawan AFP menyaksikan sejumlah demonstran masuk ke masjid, mencari perlindungan. Ketua Polis Negeri Terengganu Datuk Ayub Yaakob mengatakan, tembakan dilakukan polisi karena untuk mempertahankan diri, seperti saat pertemuan di Terengganu pada 8 September silam. Bentrokan antara massa dan polisi terjadi, dan polisi pun melepaskan tembakan ke massa yang sedianya hadir untuk mendengarkan ceramah. Aktivis PAS, Suwandi Abdul Ghani dan Muhammad Azman Aziz, terkena tembakan. Ada pula polisi yang cedera.

Aziz, warga Selangor yang berniat belanja di Kuala Lumpur, juga menyaksikan bagaimana polisi memukuli demonstran. ”Kenapa harus dipukuli? Padahal, hak orang untuk berhimpun,” ujarnya. Meski demikian, para penganjur demo mengklaim perhimpunan akbar Sabtu sebagai keberhasilan. ”Ini kemenangan bagi masyarakat sipil dan rakyat sejagat,” kata Tian Chua. Ia bahkan menyebutnya sebagai gerakan yang bangkit kembali. Maksudnya, kebangkitan kembali setelah gelombang reformasi yang menggelora saat Anwar Ibrahim dipecat.

Pemerintah Malaysia telah menyatakan bahwa demonstrasi tanpa izin dari kepolisian ilegal. Deputi Perdana Menteri Najib Razak mengancam, pemerintah tak akan memberi toleransi pada pertemuan ilegal, dan masyarakat yang ambil bagian di dalamnya agar siap-siap masuk tahanan. Sehari sebelumnya, Badawi sendiri mengingatkan kemungkinan terjadinya kekerasan. Menurut dia, para demonstran tak mencapai apa pun kecuali menghancurkan spirit persatuan nasional. ”Kalau oposisi pikir mereka berhasil dengan mengumpulkan sepuluh ribu orang, saya mau mereka tahu Barisan Nasional bisa menggelar lebih dari itu dengan mudah—tapi untuk apa?” katanya.

Yang di-Pertuan Agong Tuanku Mizan Zainal Abidin sendiri, Jumat pekan lalu, merasa perlu menegaskan bahwa ia tidak mendukung aksi Sabtu itu. Pernyataannya muncul sebagai jawaban atas klaim ia berada di pihak para demonstran.

Hingga kini para pembela gerakan reformasi pemilu tetap bergerak. Mereka terus menekan Komisi Pemilihan Umum. Mereka mendatangi para sultan untuk menyerahkan memorandum agar agenda ini dibawa ke pertemuan majelis raja-raja. Selain itu, setiap Sabtu, masyarakat diminta mengenakan pakaian dan pita kuning sebagai pernyataan solidaritas dan protes terhadap sistem pemilu yang ada sekarang. ”Kami sedang konsolidasi dan akan terus bergiat untuk mendesakkan reformasi,” janji Tian Chua.

Purwani Diyah Prabandari, Faisal Mustaffa (Kuala Lumpur)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus