Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DIA termasuk pejabat eselon satu yang lama bertahan di Departemen Keuangan. Melewati berbagai posisi penting di departemen itu, mulai dari Direktur Jenderal Lembaga Keuangan, Ketua Bapepam, dan Direktur Jenderal Pajak, sejak zaman Menteri Keuangan Bambang Sudibyo hingga era Sri Mulyani.
Sering kali ia mengerjakan tugas melampaui bidangnya. Semasa menjadi Direktur Jenderal Lembaga Keuangan, misalnya, ia menggarap penyelesaian masalah obligasi rekapitalisasi perbankan. ”Padahal sebetulnya itu bukan pekerjaan saya,” katanya.
Integritas profesional Darmin Nasution diakui oleh para sejawat dan pengamat. Sebagai Direktur Jenderal Pajak, ia tak segan menindak wajib pajak bandel. Darmin bahkan pernah mengancam memamerkan foto mereka di Bundaran Hotel Indonesia.
Di ruang rapat kantornya di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, sambil tak lepas mengepulkan asap rokok, Darmin Nasution berbincang hangat dengan Nugroho Dewanto, Widiarsi Agustina, Agus Supriyanto, dan Bayu Galih dari Tempo, tentang berbagai persoalan perpajakan
Bagaimana nasib penerimaan pajak di tengah naiknya harga minyak internasional dan pertumbuhan ekonomi yang melambat?
Kenaikan harga minyak mentah berdampak langsung pada naiknya penerimaan dan subsidi. Sekarang mana yang lebih besar? Kalau minyak mentah saja, subsidinya bakal naik lebih besar. Tapi kalau minyak mentah ditambah gas, penerimaannya sedikit lebih besar. Artinya, penerimaan kita malah sedikit membaik.
Apakah mungkin menambah penerimaan dengan mengenakan pajak baru kepada perusahaan-perusahaan minyak yang menerima rezeki nomplok karena kenaikan harga?
Itu harus mengubah kontrak. Membicarakan kontrak itu jangan dikira bisa selesai dalam tiga bulan. Dalam kontrak migas dan kontrak karya untuk pertambangan umum, semua sudah diatur secara terperinci. Kita bisa saja mengatakan, ”Ini undang-undang.” Tapi mereka bisa menjawab, ”Boleh saja undang-undang, tapi tidak berlaku buat saya. Yang berlaku cuma kontrak.” Jadi, kontrak itu adalah undang-undang di antara para pihak yang berkepentingan.
Mengapa berbeda dengan sektor kelapa sawit, yang bisa dikenai pajak tambahan?
Karena, di sektor migas dan pertambangan umum, mereka baru mau melakukan investasi kalau ada kontrak. Bagaimana dulu terjadinya kontrak, itu tak usah ditanyakan sekarang. Panjang urusannya. Kalau CPO (crude palm oil) tak ada urusan. Dia cuma izin investasi biasa.
Pengusaha CPO mengeluh akibat pajak tambahan, industri hilir jadi menurun?
Harga CPO yang naik tinggi kan membuat mereka mengekspor? Ya, jelas berkurang pasokan ke hilir. Malah mungkin pajak ekspornya kurang tinggi, ha-ha-ha.… Tapi itu bukan pekerjaan kita, itu pekerjaan Bea Cukai. Maka namanya bukan pajak ekspor, tapi pungutan ekspor.
Kenaikan harga minyak tak mempengaruhi realisasi penerimaan pajak tahun ini?
Untuk realisasi sampai Oktober, penerimaan pajak termasuk dari PPh migas sudah mencapai 76 persen dari target. Total penerimaan sampai akhir Desember akan bisa mencapai target APBN, yaitu Rp 432,5 triliun. Mungkin nanti realisasi penerimaan dari migas akan sedikit lebih tinggi, yang nonmigas sedikit lebih rendah. Penerimaan pajak 2007 naik 26 persen dibanding 2006.
Bagaimana dengan penerimaan pajak dari perorangan?
Penerimaan pajak perorangan di negeri ini kecil sekali.
Dulu petugas pajak mengirim formulir NPWP ke banyak orang. Bagaimana hasilnya?
Itu bagian dari upaya Ditjen Pajak melakukan ekstensifikasi pajak untuk meningkatkan penerimaan dari perorangan. Sebetulnya, yang punya NPWP di Indonesia ini, katakanlah angka awal 2007, mendekati 4 juta orang. Dari jumlah itu yang efektif bayar paling-paling 1,3 juta orang. Dari jumlah itu, 900 ribuan adalah perusahaan. Padahal penduduk kita ada 220 juta orang. Kalau kita pakai hitungan keluarga saja, ada 55 juta keluarga. Bila yang penghasilannya rendah kita ambil separuhnya saja, mestinya ada 27,5 juta orang punya NPWP. Di negara-negara maju, peranan penerimaan pajak perorangan itu amat besar porsinya.
Upaya ekstensifikasi pajak kurang berhasil?
Ekstensifikasi kemarin metodenya mengambil data kependudukan ditambah data pelanggan listrik, telepon, dan lain-lain. Kemudian disortir, maka dikirimlah sekitar 4 juta formulir NPWP. Tapi namanya dikirim ke rumah, selain ada yang dobel, juga jatuh ke orang yang salah. Akhirnya yang mengembalikan formulir sedikit sekali.
Ada upaya lain?
Kami kemudian menyusun program ekstensifikasi. Tidak mengirim ke rumah, tapi mendatangi pusat-pusat belanja, supaya memang ada orangnya, walaupun ini lebih susah. Seperti waktu di Tanah Abang, pertama kali tahu petugas pajak, semuanya tak mau ngomong. Untuk mulai bicara saja perlu beberapa minggu. Tapi lama-lama, kalau you bisa meyakinkan, ngomong baik-baik, dengan berbagai pendekatan, akhirnya mereka mau juga.
Mereka akhirnya bersedia membayar pajak?
Itu pun namanya pedagang, ngomongnya begini, ”Udahlah, Pak, saya enggak mau repot, berapa sebulan?” Ha-ha-ha..., dia pikir uang centeng. Masyarakat kita tahapnya masih begitu. Mau bilang apa? Mereka juga tanya, ”Boleh tidak bayar Rp 150 ribu sebulan?” Pusing kami mendengarnya. Mana bisa pajak dibayar begitu? Bisa, tapi harus ada dasarnya. Omzetnya berapa? Nanti kita hitung final berapa?
Berapa banyak wajib pajak baru yang diperoleh?
Setahun ini bertambah 1,2 juta wajib pajak. Tapi penerimaannya belum, karena mereka baru akan bayar pajak pada Maret tahun depan.
Proyeksi penerimaannya berapa?
Terus terang, kami belum berani mengumumkan perkiraan karena ini pengalaman pertama dengan cara besar-besaran mendatangi orang.
Masalahnya, data yang masuk itu benar atau tidak.
Itu persoalan lain. Sistem perpajakan kita berdasarkan self assessment. Artinya, wajib pajak dipersilakan mengisi sesuai kondisi yang benar menurut dia. Pasangan sistem ini adalah pemeriksaan, audit. Karena orang dipersilakan mengisi sendiri, harus ada yang memverifikasi benar-tidaknya data mereka. Tapi, terus terang, kemampuan pemeriksa kami masih sangat lemah. Jumlahnya sedikit sehingga kami tak bisa memeriksa lebih dari dua persen. Kami sudah minta kepada Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, kalau boleh merekrut auditor baru.
Sekarang berapa jumlah auditor pajak?
Hanya 3.000 orang atau sekitar 10 persen dari total pegawai kami. Bandingkan dengan negara-negara Eropa yang auditornya 40 persen dari seluruh pegawai pajak. Di Jepang malah 70 persen.
Ada cara lain melakukan kontrol terhadap wajib pajak?
Kami menugaskan seluruh kantor pajak membuat profil 200 wajib pajak terbesar dalam lima tahun terakhir. Bagaimana omzetnya, bagaimana mereka membayar pajak pendapatan dan penghasilan. Jadi, kami bisa menghitung rasionya. Profil itu lalu kami klasifikasi. Misalnya, kalau belum beres, warnanya merah. Hasilnya: selama ini pembayaran pajak oleh dunia usaha banyak tidak benarnya. Rata-rata jauh dari benchmark-nya. Omzet naik terus, tapi pajaknya tetap rendah.
Seberapa banyak modus seperti itu ditemukan?
Orang Jawa bilang, ”sangat buanyaaaaaak.”
Jika kategorinya merah, apa konsekuensinya?
Kami menyurati mereka. Kami sampaikan, dalam catatan kami, selama lima tahun kondisinya harusnya begini, begini. Kalau ada alasan dan pengakuan, kami kasih kesempatan menyelesaikan dendanya. Bila tidak, kami terpaksa turun memeriksa.
Ujungnya menjatuhkan sanksi?
UU Pajak memberikan kesempatan bagi wajib pajak secara bertingkat membetulkan dirinya. Ini kaitannya dengan assessment itu. Jadi, yang penting, pajak itu memang untuk mengumpulkan duit, bukan memenjarakan orang.
Bagaimana dengan kasus PT Asian Agri?
Dalam kasus Asian Agri, proses empat tahap itu sudah berlangsung. Tinggal yang terakhir.
Pengusaha nakal biasanya bekerja sama dengan petugas pajak. Bagaimana Anda mengontrol pegawai?
Kami punya account representative yang tugasnya melayani sekaligus mengawasi wajib pajak. Tapi dia tak berhak menentukan pajaknya berapa, juga tak berhak menagih.
Dalam kasus Asian Agri, mungkinkah account representative-nya tidak mendengar apa-apa? Dia memang tak tahu atau....
Dalam kasus Asian Agri, kami mendapat laporan dari pihak luar. Dari sana kami mengejar masuk dengan mengambil dokumen. Jadi, kami tidak memulai pemeriksaan kasus ini dari aparat kami. Soal nanti dalam pemeriksaan, ternyata ada orang dalam membantu, bisa saja. Tetap akan kami proses. Dalam kasus seperti ini, kan bisa saja ada yang terlibat.
Sudah seberapa jauh penyidikan kasus ini?
Masih terus diselidiki. Masalahnya, dokumennya sangat banyak dan membuat kami harus kerja lembur. Ada 1.400 boks dan sampai sekarang baru setengahnya yang sudah diperiksa.
Kerugian negara belum bertambah dari Rp 1,3 triliun?
Sejauh ini masih Rp 1,3 triliun. Kemungkinan bertambah bisa saja, karena dokumen yang diperiksa baru tahun 2002-2005. Sedangkan 2006 belum, karena SPT-nya belum masuk. Kasus Asian Agri termasuk rumit. Bukan semata penggelembungan biaya, tapi juga management fee yang fiktif, transfer pricing.
Dugaan pelanggaran seperti itu kabarnya bakal mudah mereka patahkan. Apakah petugas pajak memiliki jurus lain?
Saya tak perlu menjelaskan semua. Buktinya ada, dan ini semua kan ada strategi perangnya.
Ada kemungkinan tersangkanya bertambah?
Bisa jadi. Kami akan mengumumkannya ke publik. Sekarang ini, mohon kami jangan ditanya detailnya terlalu jauh. Mereka juga punya strategi. Masak, kami buka semuanya.
Apakah ada pendekatan ”pribadi” dari mereka?
(Tertawa). Sudahlah, tak usah disinggung soal itu.
Bagaimana dengan tekanan politik, kekuasaan, dan uang?
Saya tidak peduli. Biarkan saja, itu bagian dari proses. Tidak usah risau.
Bila mereka terbukti bersalah akan terkena sanksi apa?
Sanksinya pidana kurungan setinggi-tingginya 6 tahun. Ditambah denda setinggi-tingginya 400 persen. Yang terpenting, Rp 1,3 triliun harus dibayar dulu.
Mungkinkah kasus ini berkembang ke arah pencucian uang?
Kasus pencucian uang biasanya ketahuannya dari kasus pajak juga. Jika dalam penyelidikan modusnya ada ke arah itu, mengapa tidak? Terus terang, kami masih terus mengembangkan penyelidikan bersama PPATK, KPK, kejaksaan, juga kepolisian. Sungguh, ini adalah kasus di mana kami dengan enak bisa bekerja sama dengan semuanya. Kami merasa didukung yang lainnya.
Mungkinkah kasus ini diselesaikan di luar pengadilan?
Sesuai dengan undang-undang dan Peraturan Menteri Keuangan, bisa saja berkas itu dihentikan. Tapi ini dilakukan setelah berkas diserahkan ke kejaksaan. Di situ Menteri Keuangan berkomunikasi dengan Kejaksaan Agung. Tapi, sewaktu saya menjelaskan soal itu, kemudian dibilang Dirjen Pajak mau menghentikan penyidikan. Pusing saya. Saya hanya menjelaskan aturannya. Kami ingin pokoknya penyidikan diselesaikan.
Selain kasus Asian Agri, adakah kasus penggelapan pajak lain yang kini ditangani tim Anda?
Tahun 2007 sebetulnya ada cukup banyak kasus, tapi tidak sebesar Asian Agri. Yang sudah divonis ada tujuh perkara. Hampir semuanya soal faktur fiktif. Yang sudah diserahkan ke kejaksaan (P21) ada 9 kasus, dan yang masih dalam penyidikan ada 46 kasus. Saya sendiri yakin, banyak yang belum ditemukan.
Apakah ada sektor usaha yang khusus Anda amati?
Melalui model profiling tadi, kami akhirnya mendalami beberapa sektor juga. Misalnya kelapa sawit, ternyata banyak pembayaran pajaknya tidak benar. Dan jumlahnya ribuan. Kami mengurut satu per satu, dan yang besar-besar sudah kami panggil.
Biasanya perusahaan besar memiliki beking.…
Saya enggak peduli soal beking. Tetap akan kami kejar. Enggak ada urusan soal itu. Pokoknya, ini urusan pajak. Mau ubah atau saya periksa.
Bagaimana rencana BPK mengaudit kantor pajak?
Kami sudah menawarkan suatu protokol jalan tengah. Terserah mau dibacanya bagaimana. Permintaan kami, BPK memeriksa aparat pajak dalam rangka memeriksa keuangan negara, bukan memeriksa petugas pajak. Ini harus jelas. Sehingga kalau mau audit kami, auditlah berdasarkan SOP (standard operating procedure) kami.
Sudah disepakati?
Prinsipnya semua sudah. Protokol atau MOU-nya akan ditandatangani Ketua BPK dengan Menteri Keuangan. Kemudian antara Dirjen Pajak dan Pejabat BPK.
Menteri Koordinator menawarkan insensif pajak untuk sektor usaha. Sudah seberapa jauh rincian pembahasan masalah ini?
Belum konkret. Kami juga sudah mengusulkan, dan Menteri Keuangan sudah sependapat, kalau mau memberikan insentif, silakan saja asal matang, jelas, dan mekanismenya aman. Dan yang terpenting, harus ada akuntabilitasnya. Jangan sampai hanya kasih fasilitas tapi tak tahu hasilnya seperti apa. Bagaimanapun, fasilitas itu sesuatu yang hilang dari penerimaan. Itu yang perlu ditulis di APBN setiap tahun.
Darmin Nasution
Tempat dan Tanggal Lahir:
- Tapanuli, Sumatera Utara, 21 Desember 1948
Pekerjaan:
- 1976-kini, Dosen Fakultas Ekonomi UI
- 1987-1989, Wakil Kepala LPEM-FEUI
- 1989-1993, Kepala LPEM-FEUI
- 1993-1995, Asmenko I Indag
- 1995-1998, Asmenko Prodis
- 1998-2000, Asmenko I Wasbangpan
- 2000-2005, Direktur Jenderal Lembaga Keuangan
- 2005-2006, Ketua Badan Pengawasan Pasar Modal
- 2006-Kini, Direktur Jenderal Pajak.
Pendidikan:
- 1976, Sarjana Ekonomi UI
- 1986, Doktor Ekonomi Universitas Sorbone, Paris
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo