Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komposisi terakhir, dari Sergio Ortega, seorang komposer yang dikagumi Pablo Neruda.”
Konduktor Alejandro Iglesias Rossi, 47 tahun, berdiri dan menjelaskan di atas panggung. Rambut putihnya panjang tergerai. Penonton menanti klimaks. Sudah lima komposisi disuguhkan orkestra asal Argentina itu. Semuanya terasa magis. Cara Rossi memimpin sebuah ansambel tidak terlihat seperti seorang profesor musik, namun seperti seorang pemimpin sekte yang tengah memimpin sebuah sakramen liar.
Inilah sebuah orkestra yang garang: Orchestra of Indigenous Instruments and New Technologies. Panggung Teater Luwes, Institut Kesenian Jakarta, dipenuhi instrumen tiup dan perkusi dari tradisi Andes: Amazon, Bolivia, Peru, Meksiko, Argentina, Cile, dan Paraguay.
Lima belas pemusik, mengikuti instruksi Rossi, ditingkapi derum synthesizer yang diolah komputer, bergantian memainkan alat ”aneh-aneh”. Ada instrumen seperti pipa cangklong panjang hampir semeter, ada alat tiup berupa tanduk melingkar-lingkar, ada bambu kecil disatukan menjadi organ mulut, ada selongsong berisi biji-bijian suara hujan, juga instrumen dawai tradisional.
Orkestra ini dibentuk dari lingkungan kampus Universitas Nasional di Tres de Febrero pada 2001. Mulanya namanya Fronteras del Silencio (Ambang Sunyi). Mereka menciptakan instrumen suku Indian Amerika Latin yang telah punah dengan bertolak dari informasi kisah rakyat. Saat workshop di IKJ, mereka mendemonstrasikan alat pemanggil hujan dari Paraguay yang mereka sebut bullroarer. Ini benang berbandul kayu pipih yang bila diputar-putar menimbulkan desing.
Dan ketika alat itu dimainkan, tiba-tiba di Cikini turun hujan lebat, disertai geluduk yang mengerikan. Rossi menceritakan, di sebuah kota di Argentina pernah terjadi panas kerontang, suhu 40 derajat, tapi begitu ia memainkan bullroarer, hujan tiba-tiba turun hanya di lokasi sekitar mereka.
Sebetulnya bunyi-bunyian cericit burung, kesiur angin, dan gulungan topan yang dihasilkan instrumen tak asing bagi kita. Komponis Rahayu Supanggah sering menciptakan bunyi-bunyian demikian dari ricikan gamelan. Namun, mendengar orkestra Argentina ini, tampaklah bahwa musik dihadirkan melalui pendekatan lain: bukan hanya serasa beratmosfer masa lampau, tapi juga urban. Malah sepintas sound yang dihasilkan mengingatkan pada suasana ”dark ambient”, musik dari grup-grup progressive rock seperti Magma dari Prancis yang terpengaruh komposisi bersuasana ritual milik Carl Off.
”Kita adalah anak-anak abad ke-21. Dalam orkestra ini, ritual bukan sesuatu yang datang dari masa lalu. Ritual adalah sesuatu yang kita miliki dalam diri sendiri,” kata Alejandro. Maka komposisi mereka pun bertolak dari beat-beat lagu suku Indian kuno Amerika Latin, seperti Aztec, yang mereka kreasi ulang dengan kebebasan bermusik.
Misalnya komposisi Sergio Ortega di atas yang berjudul Lonquen (2003). Pola ritmenya bertolak dari musik Nguillatun, ritual keramat suku Mapuche di Cile dan Argentina. Seorang anggota orkestra, Susana Ferreres, maju. Rambutnya kusut dibiarkan lepas, ia mendaras kata: ”Lonquen”—berulang-ulang kata itu diucapkan seperti histeris. Semua pemusik kemudian ikut meneriakkan kata itu. Kita tak tahu artinya—tapi intonasinya menyemburkan luka. Klimaksnya semua menjerit. Lonquen ternyata adalah sebuah nama kota di luar Santiago. Pada 1978, sekelompok pekerja tambang menemukan mayat-mayat. Ternyata itu mayat para pengikut Presiden Salvador Allende yang dibantai ketika Jenderal Pinochet melancarkan kudeta pada 11 September 1973.
”Sahabat saya, Sergio Ortega, saat itu menyelamatkan diri secara klandestin,” kata Alejandro. Menurut Alejandro, 20 tahun sesudah peristiwa itu, Ortega membuat komposisi. Ia begitu sedih mengenangnya, hingga akhirnya terserang kanker pankreas ganas, yang kemudian merenggut nyawanya. ”Ortega mengambil musik suku Mapuche karena Mapuche adalah suku yang tak bisa ditaklukkan sepenuhnya oleh Spanyol.”
Demikian, agaknya, komposisi yang diangkat orkestra selalu memberi suasana mencekam. Malam itu, ada sebuah komposisi yang bertolak dari kisah penampakan-penampakan yang dialami oleh Yehezkiel, nabi Perjanjian Lama. Ada yang tentang Genesis—penciptaan—yang menggunakan instrumen tiup Yahudi Ya Shofar. Pada semuanya seperti ada deru angin yang membawa serombongan makhluk halus melintas.
”Seperti upacara voodoo,” bisik seorang penonton. Inilah salah satu tontonan Art Summit 2007 yang cukup kuat dikenang.
Seno Joko Suyono, Anton Septian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo