Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berpilar dua, bangunan megah itu terletak di atas perbukitan. Rimbun diteduhi puluhan pohon di sekelilingnya. Bagian depannya dihiasi gerbang bertulisan ¡±Balai Depati Lawang Diwe H. Duadji¡±, yang kira-kira artinya ¡±Pintu Rumah Raja H. Duadji¡±. Rabu pekan lalu, saat Tempo mendatangi rumah yang terletak di jalan raya lintas Pagar Alam-Lahat itu, pagar pintunya terkunci rapat.
Di rumah dengan lahan 2.000 meter persegi inilah Susno Duadji selalu menginap jika ia pulang ke kampung halamannya di Dusun Tebat Gunung, Kelurahan Lubuk Buntak, Pagar Alam, sekitar 300 kilometer dari Palembang. Terakhir dia pulang ke kampung halamannya pada Januari lalu. Saat itu, di Pagar Alam sedang berlangsung pemilihan kepala daerah. Kakak Susno, Sukadi Duadji, mencalonkan diri, tapi gagal menuju putaran kedua. "Setelah itu, kami tidak pernah melihatnya lagi," ujar Pani, warga Dusun Tebat Gunung yang mengenal Susno sejak kecil.
Nama Susno harum di telinga warga Tebat Gunung. Pria yang raut wajahnya selalu seperti dalam posisi tersenyum ini dikenal pemurah. Bersama Sukadi, pada 2011 Susno membangun masjid cukup megah di tengah desanya. Masjid bernama Nur Athema Zubaidah itu diresmikan oleh Wali Kota Pagar Alam Djazuli Kuris pada 1 Juli 2011, tepat pada hari ulang tahun Susno ke-57. "Setiap tahun, dia pasti memberi sumbangan untuk warga. Jika Lebaran Haji, dia biasa menyumbang sapi," kata Kepala Desa Tebat Gunung, Andi. "Susno itu kebanggaan kami, panutan kami," dia menambahkan.
Lahir sebagai anak kedua dari delapan anak pasangan Duadji, yang sehari-hari sopir, dan Siti Almah, Susno lulus Akademi Kepolisian pada 1977. Awal-awal tugasnya banyak dihabiskan di bagian lalu lintas. Kariernya mulai mencorong saat ia ditunjuk menjadi Wakil Kepala Kepolisian Resor Yogyakarta. Dari sini, Susno kemudian "berkeliling" menjadi kepala polres sejumlah daerah, antara lain Malang, sebelum ditarik ke Markas Besar Kepolisian RI dan mendapat tugas ikut membidani lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2003.
Sempat menjadi Wakil Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan pada 2004, bapak dua putri ini kemudian ditunjuk menjadi Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat, yang kemudian mengantarkannya ke kursi Kepala Badan Reserse Kriminal pada 2008 menggantikan Bambang Hendarso Danuri, yang naik jabatan menjadi Kepala Polri. Dalam "peta bintang" di Mabes Polri saat itu, Susno dikenal sebagai loyalis BHD—sebutan populer Bambang.
Kendati saat menjadi Kepala Polda Jawa Barat Susno dipuji karena selalu mendengungkan antikorupsi—dia mengumumkan nomor telepon selulernya agar bisa dihubungi siapa pun—kala menjadi Kepala Bareskrim, ia disebut-sebut bermain dalam sejumlah kasus. Salah satunya, Susno dituduh berpihak kepada pemilik Maspion Group, Alim Markus, yang saat itu menjadi tersangka pembuat akta palsu jual-beli tanah. Dia mencabut status Alim dengan menerbitkan surat penghentian penyidikan perkara. Kepada Tempo, Susno menyatakan penghentian itu karena Alim tak bersalah.
Pada September 2009, Komisi Pemberantasan Korupsi mencium Susno ikut "bermain" dalam kasus Bank Century. Dia dicurigai berperan besar menyelamatkan duit Budi Sampoerna, pengusaha tembakau, yang tersimpan di Bank Century. Saat itu, Komisi menyadap telepon Susno dan terekam perbincangan dia bakal mendapat bagian atas jasanya. Komisi bahkan sempat membuntuti Susno di Hotel Ambhara, Jakarta Selatan, karena ia diduga bakal menerima duit di sana.
Susno pun berang, lalu menuduh KPK melakukan tindakan melanggar hukum. Ia kemudian memeriksa dan menetapkan dua pemimpin KPK, Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto, sebagai tersangka mafia hukum kasus Sistem Komunikasi Radio Terpadu. Dalam wawancara dengan Tempo pada Juli 2009, Susno saat itu mengeluarkan istilah yang terkenal atas perseteruannya dengan KPK: "cicak kok mau melawan buaya". Pernyataan yang bernada arogan itu membuat berang para aktivis antikorupsi. Sejak itulah serangan aktivis antikorupsi terhadap Polri, khususnya Susno, makin menggebu.
Pada November 2009, Presiden ÂSusilo Bambang Yudhoyono turun tangan dan membentuk Tim 8 untuk kasus Bibit-Chandra. Tim menyatakan Susno melakukan rekayasa dalam proses hukum Bibit-Chandra. Temuan ini membuat Bambang Hendarso langsung memberhentikan Susno dari jabatannya sebagai Kepala Bareskrim. Namun Susno melakukan sejumlah perlawanan. Selain membeberkan keterlibatan sejumlah petinggi polisi dalam kasus pajak Gayus Tambunan, ia muncul sebagai saksi meringankan Antasari Azhar, Ketua KPK yang menjadi tersangka kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen.
Susno terus membuat pernyataan yang membuat merah telinga Bambang Hendarso. Dia menyatakan, sebagai Kepala Bareskrim, ia tak dilibatkan dalam penyidikan kasus Antasari. Saat itu, Kepala Polri membentuk tim pengawas diketuai Wakil Kepala Bareskrim Hadiatmoko. "Laporannya langsung ke Kapolri, bukan ke saya," katanya di depan hakim. Kedatangan Susno ke pengadilan tanpa izin Kepala Polri ini dianggap melanggar kode etik.
Ujung semua ini, pada Mei 2010, Susno mendapat badai baru. Ia ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi PT Salmah Arowana Lestari dan kasus dana pengamanan pemilihan kepala daerah Jawa Barat. Perkara ini membuatnya divonis 3 tahun 6 bulan penjara. Putusan inilah yang kemudian dia lawan dengan cara menolak masuk penjara sebelum akhirnya menyerah pada Kamis malam pekan lalu.
Kepada Tempo, Sukadi Duadji menyebutkan yang dilakukan adiknya dengan menolak dieksekusi itu hanya mencari keadilan. Susno, ujar Sukadi, hanya berpegang pada hukum tertulis. "Kalau tafsir, kita juga bisa menafsirkan macam-macam," kata pria yang rumahnya terletak persis di belakang rumah Susno di Dusun Tebat Gunung itu.
LRB, Phesi Ester Julikawati (Paga ralam)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo