Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HAWIK Willy Maruto, mantan anggota staf khusus anggota Dewan Perwakilan Rakyat, berbicara blakblakan. Bertamu ke kantor pengusaha Yudi Setiawan, Direktur Utama PT Cipta Inti Parmindo di Jalan Cipaku I, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, ia menguraikan kembali penerimaan uang Rp 9,295 miliar dari tuan rumah.
Mantan anggota staf Eko Sarjono Putro, anggota Dewan dari Partai Golkar, ini tak sadar lawan bicaranya merekam pembicaraan pada pertengahan Januari 2011 itu. Dalam rekaman 7 menit 10 detik yang dimiliki Tempo, Hawik mengungkapkan peran Eko Sarjono yang memerintahkan penerimaan uang.
Berbicara dengan bahasa Jawa, Yudi terdengar berusaha mengorek banyak keterangan dari Hawik. Beberapa kali dia berbicara keras sambil melontarkan pertanyaan pancingan.
"Ini tulisan Pak Eko, dan itu antara lain berdasarkan laporanku."
Tak puas dengan jawaban tersebut, Yudi kembali mencecar Hawik soal tanggal penerimaan uang dalam mata uang asing dan kurs yang berlaku saat itu.
"Ah, sampean itu lho.... Gitu aja dihitung."
Dalam bagian lain, terlontar juga soal tidak adanya proyek yang dijanjikan, sebagai kompensasi pemberian uang itu. Yudi meminta Hawik mendesak Eko segera mengembalikan uang jika proyek tak bisa diperoleh.
Yudi, yang kini diterungku di Lembaga Pemasyarakatan Teluk Dalam, Banjarmasin, karena tersangkut perkara korupsi pengadaan alat peraga pendidikan di Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan, membenarkan soal rekaman tersebut. "Itu percakapan saya dengan Hawik," katanya Rabu pekan lalu.
Rekaman inilah yang kemudian dijadikan senjata mengejar Eko. Yudi meminta pengembalian sisa yang diberikan lewat Hawik senilai Rp 4,792 miliar berikut bunga sebanyak dua persen setiap bulan. "Eko sudah membayar sebagian," ujarnya. "Sisanya dia selalu berkelit membayar."
Hawik membenarkan soal penerimaan uang dari Yudi itu. Menurut dia, seluruh uang tersebut diserahkan kepada Eko. "Saya hanya kebagian mengambil," kata lelaki 60 tahun yang memutuskan mundur sebagai anggota staf khusus Eko tiga bulan setelah mendapat tugas menjemput uang itu.
Bertemu pertama kali di Hotel Atlet Senayan akhir Januari 2010, Yudi dikenalkan dengan Eko oleh seorang anggota staf khusus petinggi Partai Beringin. Dalam pertemuan yang berlangsung sekitar satu jam itu, Eko juga memperkenalkan Hawik sebagai anggota stafnya. Eko dan Hawik sama-sama pengurus Dewan Pimpinan Daerah Golkar Jawa Tengah.
Dalam pertemuan pertama itu, Yudi dan Eko sudah langsung mengikat kesepakatan untuk "berbisnis" bersama. Eko, yang duduk di Komisi Infrastruktur DPR, menyampaikan soal rencana pembahasan anggaran bencana untuk proyek rekonstruksi dan rehabilitasi gempa Padang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2011. "Di sana ada jatah Golkar," ucap Eko, seperti yang ditirukan Yudi.
Diberi sinyal, insting bisnis pengusaha kelahiran Surabaya 35 tahun lalu ini langsung berdenyut. Klaim Eko soal "jatah" dinilai sebagai peluang besar. Apalagi disebutkan kisaran anggaran alokasi bencana yang akan dibahas mencapai Rp 4 triliun. "Dia juga bilang pasti bisa bantu."
Sepekan kemudian, mereka kembali bertemu. Eko menjamu Yudi di kantornya di ruangan 1222, Gedung Nusantara I, kompleks parlemen. Saat itu, Yudi menitipkan empat daerah guna mendapatkan anggaran bencana. Keempat daerah itu adalah Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Kabupaten Situbondo, dan Kabupaten Lombok Tengah.
Menurut Yudi, total anggaran yang dijanjikan Eko bisa cair dalam anggaran perubahan 2010 itu senilai Rp 310 miliar. Untuk bisa mendapatkannya, Eko minta disediakan fee tiga persen dari nilai proyek. "Itu mesti dibayar di muka," katanya.
Yudi mengaku beberapa kali sempat dibawa Eko bertemu dengan seorang pemimpin Badan Anggaran. Dalam pertemuan itu, kembali disampaikan soal jatah Golkar bakal mendapatkan bagian dari anggaran bencana yang akan segera dibahas.
Jalan pintas menggunakan jasa calo memang bukan barang baru dalam pengurusan anggaran bencana. Mekanisme yang dibuat untuk penentuan daerah-daerah mana saja yang bakal dapat alokasi anggaran sepenuhnya dibahas di DPR.
Usul daerah yang bakal mendapat anggaran dimasukkan oleh pemerintah lewat Badan Nasional Penanggulangan Bencana, yang menjaring permintaan dari para kepala daerah. Kemudian usul itu akan dibahas dengan Komisi Sosial DPR dan selanjutnya disahkan oleh Badan Anggaran. "Saat itu, peran makelar anggaran bermain," ujar seorang politikus Senayan.
Akhir Januari 2010, setelah berhasil mengumpulkan dana, Yudi menghubungi Eko. Dia meminta waktu bertemu untuk menyerahkan fulus pelicin itu, tapi Eko menolak dengan alasan sibuk. Dia mengatakan uang itu akan diambil langsung oleh Hawik di Apartemen Semanggi, Pusat Bisnis Sudirman, Jakarta Pusat, tempat tinggal Yudi.
Hawik datang sekitar pukul 23.00, 1 Februari 2010. Uang dalam bentuk dolar Amerika Serikat dan Singapura telah dikemas dalam tas kertas hitam. Sebelum uang berpindah tangan, Yudi mengontak Eko dan meminta membuat tanda terima. "Namun dia menolak dan memerintahkan Hawik saja yang membuat," katanya.
Dengan menggunakan tulisan tangan, Yudi membuat surat tanda terima. Dalam surat tertanggal 1 Februari 2011 yang salinannya diperoleh Tempo itu tertulis penyerahan uang sebesar Rp 9,295 miliar dari Yudi Setiawan. Uang itu disebutkan untuk pembayaran pengurusan dana bencana alam di empat tempat, yaitu Jawa Tengah sebesar Rp 170 miliar, Nusa Tenggara Barat Rp 100 miliar, Kabupaten Situbondo Rp 20 miliar, dan Lombok Tengah Rp 20 miliar.
Sebagai prasyarat, pada alinea terakhir surat tanda terima itu, Yudi menulis anggaran dana bencana alam tersebut akan dikucurkan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya. Di atas meterai Rp 6.000, Hawik membubuhkan tanda tangan.
Saat ditemui di kediamannya di Semarang, Hawik membenarkan seluruh cerita Yudi. Dia mengaku menumpang mobil Toyota Alphard milik Yudi mengantarkan tas berisi uang ke kediaman Eko di Jalan Percetakan Negara, Jakarta Timur. "Saya sampai sekitar pukul 1 dinihari di sana," ujarnya. "Setelah menyerahkan uang itu, saya langsung pulang."
Hingga tenggat akhir 15 Februari 2011 yang disepakati, janji persetujuan anggaran bencana empat daerah yang diminta Yudi tidak kunjung terealisasi. Yudi mengaku berusaha menemui Eko untuk menagih janjinya. "Namun dia selalu berkelit," katanya.
Karena Yudi terus menagih uang itu, sejumlah petinggi Golkar sempat turun tangan. Menurut Yudi, dia sempat bertemu dengan sejumlah pejabat teras partai dan diminta tidak terus mengejar Eko mengembalikan uang itu. Sampai akhirnya tiba-tiba dia diangkat sebagai Bendahara Umum Gerakan Muda Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong. "Saya tidak pernah minta, tapi langsung ditunjuk," ucapnya. Yudi hanya enam bulan menjabat dan kemudian mengundurkan diri.
Setahun kemudian, Yudi menggunakan jasa kantor hukum Tito Refra, adik kandung John Kei, tokoh pemuda yang sekarang menjadi narapidana kasus pembunuhan, untuk mengejar piutang ke Eko. Tito dua kali mengirimkan surat somasi kepada Eko.
Tak cukup lewat jalur hukum, Yudi juga melaporkan Eko ke Badan Kehormatan DPR dengan tuduhan melakukan praktek percaloan anggaran. Dia mengaku sempat dimintai keterangan dua kali. "Namun setelah itu tidak jelas ujungnya," katanya.
Tito membenarkan soal penunjukan kantor hukumnya. "Namun saya langsung minta berhenti ketika dia melapor ke Badan Kehormatan," ujarnya. Adapun mantan Ketua Badan Kehormatan M. Prakosa menolak jika dituduh menyetop perkara itu. "Sebagai pelapor, dia tiba-tiba hilang dan tidak bisa dihubungi."
Hingga tulisan ini diturunkan, Eko belum bisa dimintai komentar. Surat permohonan wawancara dan pertanyaan tertulis sudah dikirimkan ke kantor politikus yang sekarang duduk di Komisi Pemerintahan dan Dalam Negeri DPR ini. Dia juga tidak berada di rumahnya di Jalan Sriwijaya, Semarang. "Pak Eko sedang umrah," kata Yati, penjaga rumahnya.
Syafrie Noer, kuasa hukum Eko, membantah tudingan itu. Menurut dia, penerimaan uang itu sepenuhnya urusan Hawik. "Mereka dulu berteman, jadi Pak Eko ikut membantu menyelesaikan urusan itu," ujarnya.
Dia menegaskan, kliennya tidak pernah membuat pengakuan menerima uang Yudi dari Hawik. "Tidak pernah ada itu," kata Syafrie.
Hawik membantah keras. Dia mengaku mau menerima uang dari Yudi karena sebelumnya sudah berkomunikasi dengan Eko. "Saya ini siapa sih, masak dikasih uang sebanyak itu?" ujarnya.
Adapun Yudi mengaku tidak ambil pusing dengan jurus berkelit Eko. Menurut dia, bukti tanda terima uang dan rekaman suara Hawik sudah sangat kuat menunjukkan keterlibatan Eko.
Setri Yasra, Wayan Agus Purnomo, Muhammad Rizki (Jakarta), Rofiuddin (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo