Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI DEPAN dua penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, November 2010, Miranda Swaray Goeltom membuka kedekatannya dengan Tomy Winata, salah satu pemilik PT Bank Artha Graha Tbk. Mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia ini diperiksa sebagai saksi bagi empat anggota Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat periode 1999-2004 yang menjadi tersangka kasus suap cek pelawat.
Mendapat 21 pertanyaan, Miranda menjawab dengan lugas dan tidak berbelit-belit.
"Saya kenal dengan Tomy Winata," kata Miranda seperti tertulis dalam dokumen pemeriksaan yang salinannya diÂperoleh Tempo. Dia mengaku pernah menghubungi sang Âtaipan pada Desember 2004 guna meminjam pesawat terbang untuk mengirim bantuan ke Aceh, yang saat itu terkena tsunami. "Saya beberapa kali menghubungi Tomy Winata."
Miranda menegaskan tidak memiliki rekening simpanan dan kredit di Bank Artha Graha. Kendati begitu, seperti yang tertulis di dokumen itu, dia mengaku pernah memiliki simpanan deposito karena ditawari oleh sang keponakan yang bekerja di bank tersebut.
Mendapat jawaban itu, penyidik terus mengejar Miranda soal pernah bertemu dengan Tomy. Kali ini Miranda mengelak. "Saya tidak ingat apakah pernah mengadakan pertemuan dengan Tomy sebelum pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia," katanya.
Lima belas bulan kemudian, Miranda kehilangan memori. Jumat dua pekan lalu, setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus suap cek pelawat, dia mengaku tidak mengetahui siapa pemilik Bank Artha Graha. Soal Tomy Winata, "Saya tidak kenal, Anda yang tahu," katanya kepada Tempo, Jumat dua pekan lalu. Ia juga mengatakan hanya mengenal nama dengan Tomy. "Tidak pernah berhubungan," ia menambahkan.
Menurut Miranda, dia hanya beberapa kali berinteraksi dengan Wisnu Tjandra, Wakil Direktur Utama Bank Artha Graha. Namun itu hanya sebatas relasi dirinya sebagai pejabat bank sentral dengan bankir. "Ada sejumlah acara di Bank Indonesia yang diikuti Wisnu."
Setelah menjadikan Miranda sebagai tersangka suap cek pelawat, KPK bergerak mencari tokoh utama pemberi suap itu. Dari pengakuan sejumlah saksi di persidangan, 480 lembar cek senilai Rp 24,5 miliar yang ditebar kepada anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR periode 1999-2004 setelah Miranda terpilih menjadi Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Cek itu adalah pesanan PT First Mujur Plantation and Industry, perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Selasa pekan lalu, KPK memanggil tiga komisaris perusahaan itu. Mereka adalah Komisaris Utama F.X. Sutrisno Gunawan serta dua komisaris, Ronald Harijanto dan Yan Eli Mangatas Siahaan. Sebelumnya, Budi Santoso, Direktur Keuangan First Mujur, beberapa kali diperiksa sebagai saksi.
Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan Zulkarnain mengatakan pemeriksaan petinggi First Mujur diarahkan mencari siapa tokoh penyandang dana suap cek pelawat. "Semua untuk mengungkap pihak yang mendanai suap," katanya.
Sumber Tempo mengatakan, selain menyasar First Mujur, penyidik membidik peran Bank Artha Graha, sebagai pihak yang menyalurkan kredit untuk First Mujur dan ikut membantu memesan cek pelawat. Menurut dia, dalam pemeriksaan Budi Santoso, penyidik secara khusus mengejar soal hubungannya dengan Tomy Winata. Lelaki kelahiran Jakarta, 17 Desember 1972, ini diketahui menikah dengan Agustina Harapan, yang disebut-sebut anak angkat Tomy.
Dalam pemeriksaan itu, penyidik sempat mencecar Budi tentang identitas mertua lelakinya. Namun dia menolak menyebutkan namanya. "Saya hanya memanggil Papa," katanya. Pertanyaan itu diulang beberapa kali, tapi jawaban serupa terlontar dari Budi.
Terakhir, sang penyidik mencoba dengan pertanyaan memutar. "Kalau ada tamu yang bertemu dengan papa mertua Anda, mereka memanggil apa?" Budi berpikir keras, tapi kembali menolak menyebutkan nama. "Ya, mereka memanggil Papa," katanya.
Budi menjadi saksi kunci dalam mengurai alur khusus cek pelawat ini. Sebab, dari keterangan sejumlah saksi di pengadilan, cerita asal dana Rp 24,5 miliar itu berhenti di Ferry Yen alias Suhardi Suparlan, yang meninggal pada 7 Januari 2007.
Nama Ferry pertama kali disebut Budi. Bersaksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada April 2010, Budi mengatakan perusahaannya membeli cek dari Bank Internasional Indonesia melalui Bank Artha Graha atas pesanan Ferry. "Cek itu untuk membeli lahan perkebunan," katanya.
Dalam salinan berita acara pemeriksaan di KPK, Budi menjelaskan bahwa cek pelawat itu merupakan uang muka pembelian lahan kelapa sawit 5.000 hektare di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Presiden Direktur First Mujur Hidayat Lukman alias Teddy Uban-lah yang meminta dia mengeluarkan Rp 24 miliar untuk pembayaran.
Menurut Budi, Ferry meminta uang diserahkan dalam bentuk cek perjalanan, Rp 50 juta per lembar. Budi memerintahkan stafnya membeli cek dari Bank Internasional Indonesia karena Artha Graha tak mengeluarkan cek jenis itu. Ia mengeluarkan Rp 24 miliar dalam tujuh lembar cek untuk pembelian. Menurut dia, uang berasal dari pencairan kredit berjangka dari Bank Artha Graha. Budi menyebutkan cek telah diserahkan kepada Ferry segera setelah diterima dari Bank Internasional Indonesia.
Nyatanya, dalam kecepatan kilat, cek itu sudah sampai ke meja Nunun Nurbaetie, pemilik Wahana Esa Sejati. Selisih waktu cek diterima First Mujur dengan penerimaan di kantor Nunun hanya dua jam. Beberapa saat kemudian, seperti terungkap dalam dokumen persidangan, Nunun menyuruh anak buahnya, Arie Malangjudo, mengantar cek ke sejumlah politikus.
Dalam salinan dokumen cek dan real time gross settlement (RTGS) Bank Artha Graha ke Bank Internasional Indonesia yang diperoleh Tempo, terungkap bagaimana transaksi superkilat itu terjadi. Cek pelawat itu diketahui dipesan oleh Artha Graha pada 8 Juni 2004 sekitar pukul 08.00. Selanjutnya, pada pukul 08.26, ada transaksi RTGS. Tepat pukul 09.00, cek pelawat itu tersedia dan dua jam kemudian diantarkan ke Ferry Yen.
Di sini muncul kejanggalan: tujuh lembar cek Bank Artha Graha yang disebutkan berasal dari First Mujur diterima pada sore hari pukul 16.05. Sumber Tempo menilai alur transaksi itu janggal bin ajaib. "Sebab, pembelian cek pelawat lebih dulu ketimbang datangnya cek yang disebut Budi Santoso," katanya.
Budi dan Tomy Winata belum bisa dimintai tanggapan. Meski sebelumnya, melalui Wisnu Tjandra, Tomy mengaku tidak mengetahui soal transaksi pembelian cek pelawat. "Beliau bilang tidak tahu," ujar Wisnu.
Otto Hasibuan, kuasa hukum Bank Artha Graha, mengaku tidak tahu soal hubungan Budi dengan Tomy, yang juga Wakil Komisaris Bank Artha Graha. Dia juga menegaskan tidak ada kaitan khusus antara Bank Artha Graha dan kasus cek pelawat itu. "Bank ini hanya menjalankan kegiatan perbankan biasa," katanya.
Setri Yasra, Rusman Paraqbueq
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo