Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rapat mingguan Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 23 Desember 2008 itu baru dimulai selepas salat asar. Rapat dipimpin langsung Boediono sebagai gubernur bank sentral, diikuti Deputi Gubernur Senior Miranda Swaray Goeltom dan enam deputi lain, serta dihadiri beberapa anggota staf biro gubernur dan Direktorat Pengawasan Bank 3, di bawah komando Erwin Riyanto.
Erwin, yang kini menjabat pemimpin perwakilan BI di Singapura, diminta hadir karena salah satu agenda penting pada Senin sore itu adalah membicarakan nasib duit BI yang sudah terbenam lama di PT Bank Artha Graha Internasional (BAGI). Dana sejumlah Rp 1,019 triliun itu diguyurkan ke bank milik Tomy Winata dan Sugianto Kusuma tersebut dalam bentuk pinjaman subordinasi atau subordinated loan (SOL) sejak Oktober 1997. Kredit diberikan dengan tujuan membantu penyehatan bank ini setelah mengambil alih Bank Artha Prima yang amburadul. Jangka waktunya 25 tahun atau baru akan jatuh tempo pada 2022.
Menurut sumber di Bank Indonesia yang turut diundang dalam pertemuan tersebut, Erwin membawa usul yang bikin kaget beberapa deputi gubernur. "Dia minta Dewan Gubernur menyetujui pemberian diskon bunga ke Artha Graha, dari 6 persen jadi 3,25 persen per tahun," kata sumber itu Rabu pekan lalu. "Atas dukungan Deputi Pengawasan Siti Fadjrijah dan Bu Miranda, dia juga mengusulkan selisih bunga sebesar Rp 504,21 miliar yang belum dibayar PT BAGI dianggap tidak ada."
Alasan yang disebutkan Erwin adalah kondisi keuangan Artha Graha yang suram. Jika bunga tetap dibebankan 6 persen, bank itu harus membayar angsuran bunga Rp 62,2 miliar per tahun. Padahal labanya yang tercatat pada 2006 hanya Rp 41,8 miliar. Lalu, pada 2007, keuntungan turun hingga tinggal Rp 31,3 miliar.
Bila bank ini tak ditolong, cepat atau lambat BI harus menyiapkan kuburan baginya. "Filosofi pengawas di BI adalah menyelamatkan bank. Sebab, kalau BI tidak membantu, duit BI yang sudah telanjur nyemplung di bank itu akan ikut amblas," juru bicara Bank Indonesia, Difi Ahmad Johansyah, menyampaikan penjelasan dari Erwin Riyanto tentang latar belakang usulnya.
Meski demikian, dalam rapat ketika itu sebenarnya usul Erwin sempat dipertanyakan oleh beberapa deputi gubernur, antara lain Budi Rochadi (almarhum) dan Budi Mulya. Mereka memprotes karena melihat adanya perlakuan yang terlalu istimewa jika diskon itu diberikan. Sebab, kata mereka, pada saat bersamaan ada bank lain, seperti Bank IFI, yang sedang sekarat dan tak diberi pertolongan serupa.
Beberapa pejabat bank sentral yang ditemui pekan lalu mengatakan ada dua mazhab yang lazim dianut oleh pengawas menghadapi bank bermasalah. "Yang pertama, mereka akan dibina. Kedua, kalau memang susah dibantu, ya, dibinasakan," kata salah satu pejabat itu. "Memang agak aneh jika bank seperti PT BAGI terus-terusan ditolong dengan berbagai fasilitas macam itu."
Pejabat yang lama bertugas di bagian pengawasan ini melanjutkan, dengan aset lebih dari Rp 17 triliun, bank tersebut seharusnya sudah dicurigai karena setiap tahun keuntungannya hanya berkisar di angka puluhan miliar rupiah. "Hampir pasti ada yang tak beres. Coba saja dilihat, siapa sih sebenarnya nasabah mereka? Dari situ akan kelihatan apakah bank ini melayani publik yang luas atau hanya kelompok mereka dan beberapa perusahaan."
Sumber lain di BI yang menyimak perdebatan dalam rapat 23 Desember 2008 itu bercerita, pada akhirnya, suara Siti Fadjrijah dan Miranda, dengan bantuan Erwin, yang muncul sebagai pemenang. "Mereka bertiga yang paling aktif mendorong keputusan. Itu bisa dilihat dengan jelas lewat catatan risalah rapat," ujarnya.
Di akhir pertemuan, hampir seluruh usul pemberian fasilitas kepada Artha Graha disepakati. Surat perjanjian kredit untuk fasilitas itu diterbitkan saat Miranda Goeltom menjadi Pelaksana Tugas Gubernur BI pada Juni 2009, setelah Boediono mengundurkan diri untuk menjadi calon wakil presiden. Sebaliknya, belakangan kita tahu, Bank IFI dibiarkan mati dan ditutup pada April 2009.
Korting dan pengabaian atas selisih bunga inilah yang kembali dipersoalkan dan jadi tanda tanya dalam rapat Komisi Keuangan dan Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat dengan Bank Indonesia, Senin pekan lalu. Anggota Dewan dari Fraksi Partai Golkar, Nusron Wahid, menengarai adanya perlakuan diskriminatif dalam keputusan BI. "Yang punya SOL dan minta restrukturisasi ada beberapa bank. Kenapa hanya Artha Graha yang diberi potongan bunga?" kata Nusron.
Nusron merujuk pada hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan yang dikeluarkan pada April 2010. Di situ, BPK menemukan adanya beberapa kejanggalan dan perlakuan istimewa terhadap Artha Graha. Sebab, pada saat bersamaan, restrukturisasi pinjaman subordinasi juga dilakukan terhadap dua bank lain, yakni Bank Mega dan Bank Danamon. Bedanya, kepada dua bank ini, BI tetap memberlakukan bunga sesuai dengan kesepakatan awal, yakni 6 persen dan 5 persen.
BPK juga menghitung adanya kekurangan bayar sebagai implikasi dari penurunan bunga dan perubahan sistem pembayaran. Sesuai dengan kesepakatan pada 1997, bunga rata-rata 6 persen per tahun itu memang dibayarkan secara progresif atau capping. Dalam lima tahun pertama, bunga dihitung sebesar 0,25 persen, lalu lima tahun berikutnya 2 persen, kemudian 6 persen, 10 persen, hingga pada lima tahun terakhir Artha Graha akan menanggung bunga 27,83 persen.
Keputusan rapat Dewan Gubernur BI memang tak hanya memberi diskon bunga, tapi juga mengubah model pembayarannya menjadi efektif. Artinya, setiap tahun Artha Graha diharuskan membayar beban bunganya sebesar 3,25 persen.
Padahal, dengan sistem capping, dalam 10 tahun pertama kreditnya, bank ini baru membayar bunga Rp 175,872 miliar. Sedangkan bila dihitung dengan tingkat bunga rata-rata 6 persen, semestinya kewajibannya Rp 672,904 miliar. Karena itu, BPK meminta BI tetap menagih selisih bunga yang belum dibayarkan sebesar Rp 497 miliar. "Tidak diperhitungkannya selisih bunga tersebut adalah tidak tepat," BPK menulis dalam laporan auditnya.
Lagi pula, tindakan BI yang "melupakan" kekurangan pembayaran bunga dari Artha Graha ini tidak berlaku sama untuk Bank Mega dan Danamon. Pada Bank Mega, yang dianggap kurang bayar Rp 34,6 miliar, BI mewajibkan melunasinya dengan cara dicicil selama lima tahun. Adapun selisih Rp 1,7 miliar dari Danamon dibereskan pada 2 Juli 2008. "Keseluruhan kredit subordinasi dari eks bank merger telah dipercepat pelunasannya pada 2011, walaupun baru jatuh tempo pada 2017," ujar Vera Eve Lim, Chief Financial Officer dan Direktur PT Bank Danamon Indonesia Tbk.
Menanggapi hal ini, mantan Gubernur BI Boediono, yang kini menjadi wakil presiden, menyampaikan penjelasan tertulis kepada Tempo. Dia menegaskan bahwa restrukturisasi dan perubahan suku bunga SOL buat Artha Graha sama sekali tidak memotong pokok utang yang harus dibayar, yakni tetap senilai Rp 1,019 triliun. "Rapat Dewan Gubernur menyetujui usul itu karena situasi pada 1997, saat SOL diberikan, sudah tidak sama dengan 2008," katanya. "Tujuan restrukturisasi adalah menjamin agar BAGI tetap sehat dan mampu mengembalikan kredit itu."
Sesuai dengan ketentuan, katanya, rapat Dewan Gubernur BI memang berwenang memutuskan restrukturisasi. Ia menilai audit BPK juga tak mempersoalkan restrukturisasi itu. "Tapi meminta BI menagih selisih pembayaran bunga pada 1997-2008, sebesar Rp 497 miliar," kata Boediono. "Dan sepanjang pengetahuan saya, BI sudah menagihnya ke BAGI." Hal serupa dikatakan Gubernur BI saat ini, Darmin Nasution, dan Halim Alamsyah, Deputi Gubernur BI yang kini membawahkan pengawasan bank. "Sudah ditagih oleh BI. Sudah lama."
Namun penegasan Boediono dan Darmin itu disanggah Bank Artha Graha. Melalui kuasa hukumnya, Otto Hasibuan, bank ini membantah memiliki tanggungan kurang bayar bunga SOL kepada BI. "Tagihan itu saya kira tidak ada. Dengan adanya restrukturisasi, seharusnya sudah selesai," ujar Otto saat dihubungi Kamis pekan lalu.
Tempo mencoba meminta keterangan langsung dari Wakil Direktur Utama Bank Artha Graha, Wisnu Tjandra, di lantai 5 Gedung Artha Graha di kawasan Sudirman Central Business District. Namun petugas di kantornya mengatakan Wisnu sedang tidak di tempat. Sekretarisnya, Susan, ketika dihubungi mengatakan Wisnu sedang sibuk dengan proyek lain. "Sedang rapat soal Jembatan Selat Sunda," katanya.
Otto menekankan, keputusan bank sentral untuk memberikan fasilitas kepada Bank Artha Graha harus dilihat dalam konteks kondisi perbankan pada masa itu. "Perbankan kesulitan, ada persoalan ekonomi. Jadi jangan menggunakan ukuran sekarang," ujarnya. Ia memastikan bahwa banyaknya fasilitas BI buat Bank Artha Graha tak ada kaitannya dengan posisi Miranda Goeltom.
Seperti banyak diberitakan, Miranda berhasil duduk sebagai Deputi Gubernur Senior BI pada 2004. Belakangan, meledak skandal suap sejumlah anggota DPR yang memilih Miranda dengan cek pelawat senilai Rp 24 miliar. Dari penelusuran Komisi Pemberantasan Korupsi, ada jejak Grup Artha Graha dalam proses terbitnya cek-cek yang kemudian ditebarkan kepada puluhan anggota Dewan yang menyokong Miranda. Tapi, kata Otto, "Jauh sekali itu. Jangan dihubung-hubungkan."
Ketika ditemui di kediamannya dua pekan lalu, Miranda, yang banyak senyum dan tenang saat menjelaskan statusnya sebagai tersangka dalam kasus cek pelawat, tiba-tiba terdiam ketika disodori dokumen audit BPK tentang SOL ke Artha Graha. "Dari mana kamu bisa mendapat dokumen ini?" katanya. Dia lalu membaca secara detail salinan audit itu. "Saya tidak tahu soal ini. Silakan tanya ke pejabat Bank Indonesia. Saya tidak berhubungan langsung dengan bank-bank itu."
Sampai akhir pekan lalu, para penyidik di Komisi Pemberantasan Korupsi masih berusaha keras mempelajari kaitan antara kebijakan janggal di bank sentral dan kasus suap dalam pemilihan Miranda. Masalahnya, kata salah satu sumber di KPK, berbagai peristiwa itu dipisahkan oleh rentang waktu yang jauh. "Agak sulit mengaitkannya secara langsung," ujarnya. "Mungkin bisa dihubungkan sedikit menyangkut motifnya saja. Kami justru akan menyelidiki soal diskon bunga pinjaman itu dalam kasus baru yang terpisah."
Y. Tomi Aryanto, Setri Yasra, Martha Thertina
PT Bank Artha Graha Internasional
Didirikan dengan nama
Dewan Komisaris:
Komisaris Utama:
Wakil Komisaris Utama:
Wakil Komisaris Utama:
Komisaris Independen:
Komisaris Independen:
Komisaris Independen:
Direksi:
Direktur Utama:
Wakil Direktur Utama:
Wakil Direktur Utama:
Direktur:
Direktur:
Direktur Kepatuhan:
30 September 2011
Bank AG memiliki 35 kantor cabang, 44 kantor cabang pembantu, 5 kantor kas, dan 12 payment point serta 76 jaringan anjungan tunai mandiri (ATM) dan 1 mobile terminal.
ASET TETAP (dalam jutaan rupiah) | |
2010 | 17.063.094 |
2011 | 17.423,255 (September 2011) |
TOTAL EKUITAS (jutaan rupiah) | |
2009 | 963.069 |
2010 | 1.054.458 |
2011 | 1.146,024 (September 2011) |
LABA SETELAH PAJAK (miliar rupiah) | |
2009 | 41.858 |
2010 | 83.669 |
2011 | 92.113 |
Yang Istimewa buat Artha Graha
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, BI memberikan pinjaman subordinasi (subordinated loan, SOL) kepada beberapa bank untuk membantu penyehatan perbankan. Salah satunya kepada PT Bank Artha Graha Internasional (BAGI), yang saat itu disetujui sebagai investor untuk menyelamatkan Bank Artha Prima yang jebol.
Diberikan pada 21 Oktober 1997
Jangka waktu 25 tahun (Sampai 2022)
Jumlah:
- Rp 489,552 miliar (konversi dari kredit likuiditas darurat Artha Prima)
-Rp 530 miliar dana segar sebagai pinjaman baru
Total: Rp 1,019 triliun
Jaminan:
- Tanah dan bangunan senilai Rp 33,239 miliar
- Jaminan fiducia atas bangunan senilai Rp 60,45 miliar
- Jaminan pribadi atau personal guarantee (PG) dan corporate guarantee (CG) senilai total SOL, terdiri dari:
- PG Tommy Winata dan Sugianto Kusuma alias Aguan sebesar Rp 530 miliar
- CG PT Artha Mulia, PT Puris Platinum Murni, dan PT Puspita Bisnis Puri senilai Rp 489,552 miliar.
Bunga: 6 persen per tahun. Dibayarkan secara capping, dengan rincian:
Masa tenggang pembayaran pokok utang adalah 15 tahun. Jadi, cicilan atas pokok utang baru akan dibayarkan sejak tahun ke-16, atau mulai pada 2013 sampai jatuh tempo pada 2022. Besarnya adalah 10 persen per tahun.
2006
16 Oktober, PT BAGI mengirim surat ke Bank Indonesia. Minta bunga dikorting habis dari 6 persen jadi 1 persen efektir mulai 2006 sampai 2015. Selanjutnya bunga naik 2 persen sampai lunas. Permintaan DITOLAK.
200829 Oktober, surat terakhir dikirim ke BI. Isinya sama, minta keringanan bunga dengan alasan neraca bank yang terlalu berat menanggung utang. BI menggelar rapat dewan gubernur pada 23 Desember 2008 untuk membahasnya, dipimpin Gubernur BI Boediono.
Hasilnya:
- Disetujui percepatan pembayaran pokok SOL, yang tadinya baru dimulai pada 2013 menjadi 2010.
- Adanya percepatan jatuh tempo pinjaman dari 2022 menjadi 2019.
- Pembayaran angsuran pokok secara prorata sebesar Rp 101,955 miliar per tahun mulai 2010.
- Tidak ada pengurangan pokok SOL, jadi tetap Rp 1,019 triliun.
- Adanya perubahan suku bunga dari sistem capping dengan rata-rata 6 persen, menjadi efektif dengan tingkat bunga 3,23 persen. Suku bunga baru berlaku sejak 21 Oktober 2008.
Arahan RDG: selisih perhitungan bunga akibat sistem pembayaran capping diabaikan alias dianggap tak ada.
Sebagai perbandingan:
2009
Mei, Boediono mundur dari BI dan mencalonkan diri jadi wakil presiden. Miranda Goeltom menjadi pelaksana tugas Gubernur BI. Juni, surat perjanjian kredit baru untuk Artha Graha dibuat.
2010
Audit Badan Pemeriksa Keuangan menemukan kejanggalan pemberian korting bunga buat PT BAGI.
2012
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo