HASIL pemilu di Papua Nugini -- yang kedua sejak negeri itu
merdeka, 1975-tak segera bisa ketahuan. Bayaknya wilayah yang
terpencil, di belahan timur. Pulau Irian itu, membutuhkan
kesabaran untuk mengangkut dan mengumpulkan isi kotak suara.
Tambahan pula ada warisan sistem parlementer Australia yang
masih ditaati: sebelum parlemen bersidang, belum bisa diputuskan
siapa yang akan menjalankan pemerintahan.
"Selama masa menanti itu rakyat tampaknya mulai tak sabar,"
demikian laporan dari koresponden khusus TEMPO dari Port
Moresby. Setiap hari koran-koran berspekulasi tentang siapa yang
akan bekerja sama dengan siapa. Orang bertanya-tanya.
Kini semua kasak-kusuk itu padam sudah. Partai Pangu-nya Somare
keluar sebagai pemenang.
"Partai ini memang telah terbukti bekerja keras," kata Osborn.
Untuk pertama kalinya sepanjang sejarah singkat kemerdekaan,
mereka menciptakan prasarana politik yang sesungguhnya. Mereka
membentuk komite di setiap wilayah terpencil. Dan menggalakkan
kampanye dengan semboyan "Pangu knows the wy"
Akan halnya Somare sendiri, pria 47 tahun ini adalah perdana
menteri pertama. Sejak 1975 itu pula ia menjadi pemimpin partai
yang namanya berarti "Persatuan Papua dan New Guinea" itu.
Sejauh penglihatan para pengamat, partai ini memang yang paling
terorganisasi dan paling populer.
Somare dikenal memiliki rasa humor yang bagus. Ia juga seorang
pemain golf yang bersemangat. Menurut tradisi, ia juga kepala
suku di kampung kelahirannya di Provinsi Sepik Timur. Tak heran
kalau banyak orang menyebutnya 'Ketua'.
Dalam Pemilu 1977 Somare beroleh kekuatan dari hasil koalisi
dengan sejumlah politikus terkemuka. Tapi"persekutuan" itu tamat
Maret 1980, tatkala Wakil Perdana Menteri Sir Julius Chan
mengajukan mosi tidak percaya di Parlemen. Sang ketua tak kuat
bertahan.
Pemungutan suara yang dilakukan rupanya memberi angin bagus
kepada Sir Julius. Pucuk pemerintahan pun segera berganti.
Julius duduk di kursi perdana menteri, Somare menjadi pemimpin
oposisi.
Sebelum 1980, situasi ekonomi Papua Nugini tak perlu
dikhawatirkan. Namun sekitar saat itu pulalah resesi ekonomi
dunia mulai terasa dan berpengaruh keras. Harga komoditi utama
Papua Nugini -- kopi, tembaga, kopra, cokelat--mulai jatuh,
bahkan kemudian sampai 50%.
Kenyataan ini membawa akibat jauh. Penduduk pedalaman
menyalahkan pemerintahan Sir Julius Chan dalam pelbagai problem
yang timbul. Julius sendiri agaknya terlalu berterus terang.
Dalam setiap pidato ia menekankan, keadaan akan bertambah sulit
--- kecuali ekonomi Amerika Serikat berkembang cerah dan resesi
dunia bisa diatasi.
Namun masalah pokok pemerintahan Chan sebenarnya bukan situasi
ekonomi, cukup terlihat. Chan tampaknya mengalami kesulitan
menggalang kerja sama lima partai ke dalam satu pemerintahan
koalisi yang tunggal. Kelima partai itu adalah: Partai Kemajuan
Rakyat-nya Chan, Partai Nasional-nya Wakil Perdana Menteri
Lambakey Okuk, Partai Persatuan, Aliansi Melanesia, dan Papua
Besena.
Tak jarang ke-27 anggota kabinet sibuk bertengkar. Julius Chan
sering nyaris sia-sia mempersatukan semua kclompok yang
memerintah.
Menjelang pemilu terakhir malah keadaan bertambah runyam. Semua
calon memperlihatkan loyalitas utama kepada partai masing-masing
bukan kepada koalisi yang dipimpim Chan. Alhirnya,hanya satu
partai yang menduhung Partai Pangu-nya Somare. Yakni Partai
Persatuan. Dukungan ini cukup memberi tambahan beberapa kursi.
Maka tatkala Parlemen bersidang untuk memilih Perdana Menteri, 2
Agustus lalu, Partai Pangu dan Partai Persatuan memberi suara 66
untuk Somare. Sang Ketua kembali beroleh pamor.
Lalu apa yang akan dikerjakan Sir Julius Chan? Rupanya ia tak
akan menjadi pemimpin oposisi, lain dari hiasanya. Akhir juli
lalu ia memaklumkan letih melihat perbantahan di kalangan
koalisi. Ia menyatakan tak mampu'menjadi pemimpin, suatu sikap
terus terang yang di sana rupanya tidak langka.
Pemimpin oposisi yang baru adalah Pastor John Momis, imam
Katolik, yang datang dari provinsi tembaga dan emas di Pulau
Bougainville. Ia mewakili Aliansi Melanesia.
Meninjau masa kampanye, cukup banyak uang dihamburkan untuk
"membeli" suara. Julius Chan mengaku, calon-calon partainya
masing-masing kehilangan US 12 ribu. Tapi itu belum seberapa.
Di pihak Somare cukup banyak yang "menyumbang" US$ 30 ribu.
Bahkan ada yang sampai US$ 50 ribu.
Kalau cerita d i luaran boleh dipercaya, Wakil Perdana Menteri
lambakey Okuk konon mengeluarkan US$ 200 ribu. Tokoh ekstrovert
dan 'meriah' ini, yang datang dari provinsi dataran tinggi
Chimbu, berjuang untuk dirinya dan golongannya, Partai Nasional.
Pada suatu kesempatan Okuk menyelenggarakan rapat raksasa di
lapangan terbang Kundiawa, ibu kota Provinsi Chimbu. Rapat itu
menghabiskan 96 ribu botol (kecil) bir, yang dibagi-bagikan
kepada pengunjung demi mengharapkan suara.
Okuk sendiri tampil secara mengesankan. Mengenakan busana
tradisional dataran tinggi, ia didampingi Nyonya Okuk yang
berdiri di sampingnya, bertelanjang payudara.
Riwayat Okuk memang menarik. Hanya dalam tempo empat tahun, dari
seorang sopir truk di kampung ia menjadi wakil perdana menteri
serta menteri transpor dan penerbangan. Coba. Ia berperanan
dalam pengembangan armada angkutan udara De Havilland, bernilai
jutaan dollar. Di sana-sini orang menuduh dia menerima komisi
dari urusan itu, seraya mendapat kesempatan melancong ke
berbagai negeri.
Setelah pemilu ini ia kehilangan kursi. Kembali menjadi warga
negara biasa, dengan utang bertumpuk. Konon cukup banyak uang
yang dipinjam Okuk dari bank untuk belanja kampanye. Sial
memang.
Uang juga masih memegang peranan setelah pemilu usai. Konon
sejumlah anggota parlemen yang berpengaruh harus "dirangsang"
demi mendukung artai tertentu.
Memang tak ada partai yang sudi mengaku telah menyogok anggota
parlemen - tentu saja. Namun sudah menjadi pengetahuan umum,
beberapa anggota majelis terhormat itu menerima hadiah dan tiket
melancong ke luar negeri.
'Sogok' yang nyaris lumrah di sana, ialah janji sebuah kursi
menteri di dalam kabinet yang beranggotakan 27 orang. Sebagai
syarat si anggota majelis hendaklah menggabungkan diri dengan
partai yang memerintah dan menambah jumlah suara. Peristiwa
inilah konon yang terjadi dengan Roy Evara pemimpin Partai
Persatuan yang berkoalisi dengan Pangu.
Di masa lampau Evara pernah didepak dari pemerintahan Somare.
Toh kini ia muncul kembali --- bahkan konon bakal menjadi salah
seorang menteri.
Seluruhnyaterdapat 1.126 calon untuk 109 kursi di parlemen.
Hanya sekitar 500 dari jumlah itu yang ditunjuk partai-partai
besar. Sisanya tercatat sebagai calon independen. Dan mereka
inilah terutama yang mengharapkan dapat "menjual" suaranya bagi
tawaran tertinggi.
Terpilihnya Somare mungkin merupakan awal hubungan lebih baik
PNG Indonesia. Tentu, Somare sendiri tampaknya bukan orang yang
gampang melaksanakan garis lunak.
Pada 29 Juni lalu, harian Suara Karya mengatakan, "bila Somare
terpilih sebagai perdana menteri, ia akan bekerja keras bagi
hubungan baik PNG Indonesia. Kecuali kemampuannya dalam hal
ini., Somare dihormati oleh rakyat PNG dan dihargai oleh para
pemimpin Indonesia."
Somare sendiri baru-baru ini berkata, pemerintahan Pangu harus
meyakini bahwa perbatasan haruslah dibuat "nyata secara fisik."
Untuk itu ia mengungkapkan, akan lebih banyak dilakukan hubungan
antarmenteri PNG-Indonesia ketimbang sekedar main surat-suratan
diplomatik.
Isyarat ini segera membuahkan hasil. Perundingan perbatasan
diselenggarakan dua kali, di Bali dan Jayapura.
Di seluruh kawasan PNG sendiri kabar kemenangan Somare dan
Partai Pangu tampak diterima baik. Sir Julius Chan memang agak
"diragukan" karena ia berdarah Cina. Sedang Somare sering
dipandang sebagai tokoh yang mengantarkan PNG ke kemerdekaan.
Acap dibandingkan sebagai "Soekarnonya PNG". Pandai bicara,
sangat terkenal.
"Tim Pangu tampaknya lebih baik dari pemerintahan Julius Chan,"
menurut beberapa pengamat di Port Moresby. Lebih banyak tenaga
lulusan perguruan tinggi, lebih banyak tenaga muda yang cerdas
dan berpengalaman dalam pelayanan masyarakat. "Dengan kemenangan
menyolok di parlemen, Pangu tampaknya akan bisa melampaui masa
lima tahun pemerintahannya."
Tapi Somare sendiri seperti melancarkan semacam otokritik.
"Partai Pangu telah belajar dari kesalahannya di masa lalu,"
katanya. Ketika berbicara pertama kali di depan parlemen, ia
menggunakan bahasa ungkapan. "Pada Maret 1980," katanya,
"serigala telah merobek-robek tubuh singa." Yang dimaksudkannya
adalah pecahnya "persatuan" partai-partai akibat mosi tidak
percaya Julius Chan. Tapi kini, "sang singa iebih pandai menjaga
diri."
Toh hari depan Partai Pangu tak bisa dilepaskan dari masalah
kesulitan ekonomi yang mempengaruhi setiap bangsa. Bila Pangu
tak bisa melakukan sesuatu untuk 82% dari 3 juta penduduk PNG
yang tinggal di wilayah terpencil, pamor partai ini akan
rontok, menurut koresponden kita.
Saat ini stabilitas tampaknya memang lumayan--kecuali beberapa
perkelahian antarsuku yang bersaingan. Termasuk perkelahian
karena dukungan kepada calon dan partai yang berbeda dalam
pemilu lalu.
DI provinsi dataran tinggi Enga, baru-baru ini ribuan prajurit
suku bertempur satu sama lain. Busur, panah dan kapak ramai
bicara. Bukan saja manusia. Kebun sayur pun banyak yang binasa
--- selain rumah dan tanaman kopi. Perempuan-perempuan kena
perkosa. Huru-hara itu baru padam setelah polisi bersenjaa
turun tangan. Dari helikopter sempat disaburkan gas air mata.
Untunglah ekonomi PNG masih ditunjang Australia. Mereka mendapat
28% dari jumlah anggaran dari "bekas penjajah" itu. Jumlah ini
meliputi US$ 220 juta.
Setidak-tidaknya, untuk sementara, bangsa ini sedang bergembira
menyambut kemenangan Pangu yang mengeluarkan biaya US$ 1 juta
untuk keperluan kampanye. Entah apa yang bakal dilakukan partai
itu di bawah pemimpinnya. Toh pada akhirnya, seperti yang anda
maklum, keadaan banyak tergantung pada apa yang akan dilakukan
Amerika Serikat menghadapi resesi ekonomi. PNG memang negeri
merdeka. Tapi seperti banyak negeri kecil lainnya, ia juga
tergantung pada tingkah laku negara-negara besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini