Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Papua di bawah pangu

Michael somare, 47 perdana menteri i dengan partai pangau yang memenangkan pemilu. penduduknya terdiri dari berbagai kelompok etnis yang paling dominan melanesia. (sel)

2 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HASIL pemilu di Papua Nugini -- yang kedua sejak negeri itu merdeka, 1975-tak segera bisa ketahuan. Bayaknya wilayah yang terpencil, di belahan timur. Pulau Irian itu, membutuhkan kesabaran untuk mengangkut dan mengumpulkan isi kotak suara. Tambahan pula ada warisan sistem parlementer Australia yang masih ditaati: sebelum parlemen bersidang, belum bisa diputuskan siapa yang akan menjalankan pemerintahan. "Selama masa menanti itu rakyat tampaknya mulai tak sabar," demikian laporan dari koresponden khusus TEMPO dari Port Moresby. Setiap hari koran-koran berspekulasi tentang siapa yang akan bekerja sama dengan siapa. Orang bertanya-tanya. Kini semua kasak-kusuk itu padam sudah. Partai Pangu-nya Somare keluar sebagai pemenang. "Partai ini memang telah terbukti bekerja keras," kata Osborn. Untuk pertama kalinya sepanjang sejarah singkat kemerdekaan, mereka menciptakan prasarana politik yang sesungguhnya. Mereka membentuk komite di setiap wilayah terpencil. Dan menggalakkan kampanye dengan semboyan "Pangu knows the wy" Akan halnya Somare sendiri, pria 47 tahun ini adalah perdana menteri pertama. Sejak 1975 itu pula ia menjadi pemimpin partai yang namanya berarti "Persatuan Papua dan New Guinea" itu. Sejauh penglihatan para pengamat, partai ini memang yang paling terorganisasi dan paling populer. Somare dikenal memiliki rasa humor yang bagus. Ia juga seorang pemain golf yang bersemangat. Menurut tradisi, ia juga kepala suku di kampung kelahirannya di Provinsi Sepik Timur. Tak heran kalau banyak orang menyebutnya 'Ketua'. Dalam Pemilu 1977 Somare beroleh kekuatan dari hasil koalisi dengan sejumlah politikus terkemuka. Tapi"persekutuan" itu tamat Maret 1980, tatkala Wakil Perdana Menteri Sir Julius Chan mengajukan mosi tidak percaya di Parlemen. Sang ketua tak kuat bertahan. Pemungutan suara yang dilakukan rupanya memberi angin bagus kepada Sir Julius. Pucuk pemerintahan pun segera berganti. Julius duduk di kursi perdana menteri, Somare menjadi pemimpin oposisi. Sebelum 1980, situasi ekonomi Papua Nugini tak perlu dikhawatirkan. Namun sekitar saat itu pulalah resesi ekonomi dunia mulai terasa dan berpengaruh keras. Harga komoditi utama Papua Nugini -- kopi, tembaga, kopra, cokelat--mulai jatuh, bahkan kemudian sampai 50%. Kenyataan ini membawa akibat jauh. Penduduk pedalaman menyalahkan pemerintahan Sir Julius Chan dalam pelbagai problem yang timbul. Julius sendiri agaknya terlalu berterus terang. Dalam setiap pidato ia menekankan, keadaan akan bertambah sulit --- kecuali ekonomi Amerika Serikat berkembang cerah dan resesi dunia bisa diatasi. Namun masalah pokok pemerintahan Chan sebenarnya bukan situasi ekonomi, cukup terlihat. Chan tampaknya mengalami kesulitan menggalang kerja sama lima partai ke dalam satu pemerintahan koalisi yang tunggal. Kelima partai itu adalah: Partai Kemajuan Rakyat-nya Chan, Partai Nasional-nya Wakil Perdana Menteri Lambakey Okuk, Partai Persatuan, Aliansi Melanesia, dan Papua Besena. Tak jarang ke-27 anggota kabinet sibuk bertengkar. Julius Chan sering nyaris sia-sia mempersatukan semua kclompok yang memerintah. Menjelang pemilu terakhir malah keadaan bertambah runyam. Semua calon memperlihatkan loyalitas utama kepada partai masing-masing bukan kepada koalisi yang dipimpim Chan. Alhirnya,hanya satu partai yang menduhung Partai Pangu-nya Somare. Yakni Partai Persatuan. Dukungan ini cukup memberi tambahan beberapa kursi. Maka tatkala Parlemen bersidang untuk memilih Perdana Menteri, 2 Agustus lalu, Partai Pangu dan Partai Persatuan memberi suara 66 untuk Somare. Sang Ketua kembali beroleh pamor. Lalu apa yang akan dikerjakan Sir Julius Chan? Rupanya ia tak akan menjadi pemimpin oposisi, lain dari hiasanya. Akhir juli lalu ia memaklumkan letih melihat perbantahan di kalangan koalisi. Ia menyatakan tak mampu'menjadi pemimpin, suatu sikap terus terang yang di sana rupanya tidak langka. Pemimpin oposisi yang baru adalah Pastor John Momis, imam Katolik, yang datang dari provinsi tembaga dan emas di Pulau Bougainville. Ia mewakili Aliansi Melanesia. Meninjau masa kampanye, cukup banyak uang dihamburkan untuk "membeli" suara. Julius Chan mengaku, calon-calon partainya masing-masing kehilangan US 12 ribu. Tapi itu belum seberapa. Di pihak Somare cukup banyak yang "menyumbang" US$ 30 ribu. Bahkan ada yang sampai US$ 50 ribu. Kalau cerita d i luaran boleh dipercaya, Wakil Perdana Menteri lambakey Okuk konon mengeluarkan US$ 200 ribu. Tokoh ekstrovert dan 'meriah' ini, yang datang dari provinsi dataran tinggi Chimbu, berjuang untuk dirinya dan golongannya, Partai Nasional. Pada suatu kesempatan Okuk menyelenggarakan rapat raksasa di lapangan terbang Kundiawa, ibu kota Provinsi Chimbu. Rapat itu menghabiskan 96 ribu botol (kecil) bir, yang dibagi-bagikan kepada pengunjung demi mengharapkan suara. Okuk sendiri tampil secara mengesankan. Mengenakan busana tradisional dataran tinggi, ia didampingi Nyonya Okuk yang berdiri di sampingnya, bertelanjang payudara. Riwayat Okuk memang menarik. Hanya dalam tempo empat tahun, dari seorang sopir truk di kampung ia menjadi wakil perdana menteri serta menteri transpor dan penerbangan. Coba. Ia berperanan dalam pengembangan armada angkutan udara De Havilland, bernilai jutaan dollar. Di sana-sini orang menuduh dia menerima komisi dari urusan itu, seraya mendapat kesempatan melancong ke berbagai negeri. Setelah pemilu ini ia kehilangan kursi. Kembali menjadi warga negara biasa, dengan utang bertumpuk. Konon cukup banyak uang yang dipinjam Okuk dari bank untuk belanja kampanye. Sial memang. Uang juga masih memegang peranan setelah pemilu usai. Konon sejumlah anggota parlemen yang berpengaruh harus "dirangsang" demi mendukung artai tertentu. Memang tak ada partai yang sudi mengaku telah menyogok anggota parlemen - tentu saja. Namun sudah menjadi pengetahuan umum, beberapa anggota majelis terhormat itu menerima hadiah dan tiket melancong ke luar negeri. 'Sogok' yang nyaris lumrah di sana, ialah janji sebuah kursi menteri di dalam kabinet yang beranggotakan 27 orang. Sebagai syarat si anggota majelis hendaklah menggabungkan diri dengan partai yang memerintah dan menambah jumlah suara. Peristiwa inilah konon yang terjadi dengan Roy Evara pemimpin Partai Persatuan yang berkoalisi dengan Pangu. Di masa lampau Evara pernah didepak dari pemerintahan Somare. Toh kini ia muncul kembali --- bahkan konon bakal menjadi salah seorang menteri. Seluruhnyaterdapat 1.126 calon untuk 109 kursi di parlemen. Hanya sekitar 500 dari jumlah itu yang ditunjuk partai-partai besar. Sisanya tercatat sebagai calon independen. Dan mereka inilah terutama yang mengharapkan dapat "menjual" suaranya bagi tawaran tertinggi. Terpilihnya Somare mungkin merupakan awal hubungan lebih baik PNG Indonesia. Tentu, Somare sendiri tampaknya bukan orang yang gampang melaksanakan garis lunak. Pada 29 Juni lalu, harian Suara Karya mengatakan, "bila Somare terpilih sebagai perdana menteri, ia akan bekerja keras bagi hubungan baik PNG Indonesia. Kecuali kemampuannya dalam hal ini., Somare dihormati oleh rakyat PNG dan dihargai oleh para pemimpin Indonesia." Somare sendiri baru-baru ini berkata, pemerintahan Pangu harus meyakini bahwa perbatasan haruslah dibuat "nyata secara fisik." Untuk itu ia mengungkapkan, akan lebih banyak dilakukan hubungan antarmenteri PNG-Indonesia ketimbang sekedar main surat-suratan diplomatik. Isyarat ini segera membuahkan hasil. Perundingan perbatasan diselenggarakan dua kali, di Bali dan Jayapura. Di seluruh kawasan PNG sendiri kabar kemenangan Somare dan Partai Pangu tampak diterima baik. Sir Julius Chan memang agak "diragukan" karena ia berdarah Cina. Sedang Somare sering dipandang sebagai tokoh yang mengantarkan PNG ke kemerdekaan. Acap dibandingkan sebagai "Soekarnonya PNG". Pandai bicara, sangat terkenal. "Tim Pangu tampaknya lebih baik dari pemerintahan Julius Chan," menurut beberapa pengamat di Port Moresby. Lebih banyak tenaga lulusan perguruan tinggi, lebih banyak tenaga muda yang cerdas dan berpengalaman dalam pelayanan masyarakat. "Dengan kemenangan menyolok di parlemen, Pangu tampaknya akan bisa melampaui masa lima tahun pemerintahannya." Tapi Somare sendiri seperti melancarkan semacam otokritik. "Partai Pangu telah belajar dari kesalahannya di masa lalu," katanya. Ketika berbicara pertama kali di depan parlemen, ia menggunakan bahasa ungkapan. "Pada Maret 1980," katanya, "serigala telah merobek-robek tubuh singa." Yang dimaksudkannya adalah pecahnya "persatuan" partai-partai akibat mosi tidak percaya Julius Chan. Tapi kini, "sang singa iebih pandai menjaga diri." Toh hari depan Partai Pangu tak bisa dilepaskan dari masalah kesulitan ekonomi yang mempengaruhi setiap bangsa. Bila Pangu tak bisa melakukan sesuatu untuk 82% dari 3 juta penduduk PNG yang tinggal di wilayah terpencil, pamor partai ini akan rontok, menurut koresponden kita. Saat ini stabilitas tampaknya memang lumayan--kecuali beberapa perkelahian antarsuku yang bersaingan. Termasuk perkelahian karena dukungan kepada calon dan partai yang berbeda dalam pemilu lalu. DI provinsi dataran tinggi Enga, baru-baru ini ribuan prajurit suku bertempur satu sama lain. Busur, panah dan kapak ramai bicara. Bukan saja manusia. Kebun sayur pun banyak yang binasa --- selain rumah dan tanaman kopi. Perempuan-perempuan kena perkosa. Huru-hara itu baru padam setelah polisi bersenjaa turun tangan. Dari helikopter sempat disaburkan gas air mata. Untunglah ekonomi PNG masih ditunjang Australia. Mereka mendapat 28% dari jumlah anggaran dari "bekas penjajah" itu. Jumlah ini meliputi US$ 220 juta. Setidak-tidaknya, untuk sementara, bangsa ini sedang bergembira menyambut kemenangan Pangu yang mengeluarkan biaya US$ 1 juta untuk keperluan kampanye. Entah apa yang bakal dilakukan partai itu di bawah pemimpinnya. Toh pada akhirnya, seperti yang anda maklum, keadaan banyak tergantung pada apa yang akan dilakukan Amerika Serikat menghadapi resesi ekonomi. PNG memang negeri merdeka. Tapi seperti banyak negeri kecil lainnya, ia juga tergantung pada tingkah laku negara-negara besar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus