Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Tentang pemukiman

Orang kini perlu pemukiman karena pemukiman merupakan bagian peradaban. orang tak harus menggunakan kekerasan untuk mendapatkan kekuasaan. kekuasaan akan datang sendiri berdasarkan kualitas.

2 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG meninggal dunia sesudah membaca istighfardan dua kalimat syahadat. Jenasahnya dimandikan kemudian dibungkus kain kafan seraya disiram air mawar dan wangi-wangian. Sesudah disembahyangkan, jenasah itu diusung kaum kerabat dengan sopan dan takzim, airmata berlinangan di balik kelopak. Keranda itu langsung menuju kuburan, karena di sanalah tempat peristirahatan terakhir sambil menanti hari kebangkitan. Para pelayat meninggalkan tempat peristirahatan terakhir itu sesudah mengucapkan pidato lemah lembut dan membaca talqin. Sinar matahari di atas kepala juga tampak murung. Buat sebagian jenasah di Jakarta, jalan cerita macam begitu itu sudah usang. Hanya berlaku di zaman Belanda. Zaman sekarang zaman gerak, zaman dinamis, tak kecuali untuk para jenasah. Bila dulu kuburan itu tempat peristirahatan terakhir, sekarang bisa jadi tempat peristirahatan sementara saja. Sebab, pada suatu siang boleh datang tukang pacul dari Sindanglaut, mengeduk jenasah itu, menaikkannya ke dalam oto, dibawa ke tempat baru. Bila nasib baik, itulah tempat peristirahatan terakhir sesungguhnya, dan pihak keluarga mesti bayar kontrakan makam seperti halnya manusia hidup membayar kontrakan paviliun. Bila nasib buruk, bisa jadi pindah lagi. Di bekas pemakaman itu kemudian terjadi hiruk-pikuk. Pemukul tiang beton herdentarnan, kayu-kayu digergaji, batu bata disusun, kloset-kloset dipasang pada tempatnya yang pas. Di sana akan dibangun flat Perumnas, peresmiannya dilakukan oleh para pembesar diawali pengguntingan pita nyonya-nyonyanya. Keluarga kelas menengah akan bermukim di situ, bagaikan burung merpati di sangka dirinya. Anak-anak penghuni berbaur sesamanya, karena status sosialnya rata-rata relatif serupa, begitu pula kain baju jemurannya yang melambai-lambai ditiup angin, bisa tampak dari jarak lima kilometer. Itulah pemukiman model mutakhir, yang dimungkinkan berdirinya oleh kebaikan hati para jenasah yang lebih dulu sudah meninggalkan dunia yang fana. Daripada keluyuran ketidak, kata Temujin, nama kanak-kanak Genghis Khan. Lebih baik keluyuran. Kalau malam tiba, Temujin biasa duduk mencangkung di dekat perapian kemah, nyalanya meliukliuk kena tiupan angin gurun Gobi, mendengarkan cerita orang tua jagonya jago, Khan besar bangsa Mongol, penguasa 40.000 kemah. Temujin memasang kedua daun kuping, matanya tidak berkedip, sehingga terasa perih, dan dadanya berombak-ombak, ini bisa ditandai lewat alun napasnya. Berkata sang bijak bestari itu. "Kita orang Mongol ini tidak ada seperseratusnya orang Kathay. Kita ini ibarat semut. Apa sebab kita masih mampu menghadapi mereka, karena kita ini orang keluyuran, orang nomad. Kita bawa serta barangbarang ke mana pergi. Kita gempur dan gasak mereka kalau kita di atas angin. Dan kalau kita di bawall angin, kita sembunyi. Tapi, bilamana kita ubah kita punya kebiasaan, bilamana kita dirikan rumah dan kota, bilamana kita nongkrong di pemukiman, kita tidak bakalan bisa berkembang. Kita akan layu dan kuncup, dan kita mati. Buat apa biara-biara, tempat-tempat pujaan? Itu cuma bikin lemah kita punya jiwa, membikin gejolak semangat jadi luluh, membuat parang tetap tinggal dalam sarung. Tahukah kau wahai Temujin, cucu keturunan Yesukai, bahwa hanya kekerasan dan hanya peperangan yang bisa menundukkan manusia dan kemanusiaan. Hanya kekerasan yang bisa mendorongmu ke kursi kekuasaan! Maka dari itu, jadilah pengembara terus, jadilah nomad terus, keluyuran tak henti-henti (artinya tidak tinggal di pemukiman Perumnas)." Nomad keluyuran terus menerus, biara menjadikan semangat luluh, hanya kekerasan yang bisa mendorong ke kursi kekuasaan, sungguh ucapan bijak bestari yang tidak byak dan tidak pula bestari. Andaikata dia punya kepala, pastilah dicebloskan ke dalam tungku. Orang sekarang perlu pemukiman, karena pemukiman merupakan bagian dari peradaban. Orang tidak perlu gunakan kekerasan untuk peroleh kekuasaan, karena kekuasaan bisa datang sendiri atas dasar kualitas. Dan biara, tiap orang tahu apa hasil biara itu, bagi bersimpuh di dalamnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus