SEORANG meninggal dunia sesudah membaca istighfardan dua kalimat
syahadat. Jenasahnya dimandikan kemudian dibungkus kain kafan
seraya disiram air mawar dan wangi-wangian. Sesudah
disembahyangkan, jenasah itu diusung kaum kerabat dengan sopan
dan takzim, airmata berlinangan di balik kelopak. Keranda itu
langsung menuju kuburan, karena di sanalah tempat peristirahatan
terakhir sambil menanti hari kebangkitan. Para pelayat
meninggalkan tempat peristirahatan terakhir itu sesudah
mengucapkan pidato lemah lembut dan membaca talqin. Sinar
matahari di atas kepala juga tampak murung.
Buat sebagian jenasah di Jakarta, jalan cerita macam begitu itu
sudah usang. Hanya berlaku di zaman Belanda. Zaman sekarang
zaman gerak, zaman dinamis, tak kecuali untuk para jenasah. Bila
dulu kuburan itu tempat peristirahatan terakhir, sekarang bisa
jadi tempat peristirahatan sementara saja. Sebab, pada suatu
siang boleh datang tukang pacul dari Sindanglaut, mengeduk
jenasah itu, menaikkannya ke dalam oto, dibawa ke tempat baru.
Bila nasib baik, itulah tempat peristirahatan terakhir
sesungguhnya, dan pihak keluarga mesti bayar kontrakan makam
seperti halnya manusia hidup membayar kontrakan paviliun. Bila
nasib buruk, bisa jadi pindah lagi.
Di bekas pemakaman itu kemudian terjadi hiruk-pikuk. Pemukul
tiang beton herdentarnan, kayu-kayu digergaji, batu bata
disusun, kloset-kloset dipasang pada tempatnya yang pas. Di sana
akan dibangun flat Perumnas, peresmiannya dilakukan oleh para
pembesar diawali pengguntingan pita nyonya-nyonyanya. Keluarga
kelas menengah akan bermukim di situ, bagaikan burung merpati di
sangka dirinya. Anak-anak penghuni berbaur sesamanya, karena
status sosialnya rata-rata relatif serupa, begitu pula kain baju
jemurannya yang melambai-lambai ditiup angin, bisa tampak dari
jarak lima kilometer. Itulah pemukiman model mutakhir, yang
dimungkinkan berdirinya oleh kebaikan hati para jenasah yang
lebih dulu sudah meninggalkan dunia yang fana. Daripada
keluyuran ketidak, kata Temujin, nama kanak-kanak Genghis Khan.
Lebih baik keluyuran. Kalau malam tiba, Temujin biasa duduk
mencangkung di dekat perapian kemah, nyalanya meliukliuk kena
tiupan angin gurun Gobi, mendengarkan cerita orang tua jagonya
jago, Khan besar bangsa Mongol, penguasa 40.000 kemah. Temujin
memasang kedua daun kuping, matanya tidak berkedip, sehingga
terasa perih, dan dadanya berombak-ombak, ini bisa ditandai
lewat alun napasnya.
Berkata sang bijak bestari itu. "Kita orang Mongol ini tidak ada
seperseratusnya orang Kathay. Kita ini ibarat semut. Apa sebab
kita masih mampu menghadapi mereka, karena kita ini orang
keluyuran, orang nomad. Kita bawa serta barangbarang ke mana
pergi. Kita gempur dan gasak mereka kalau kita di atas angin.
Dan kalau kita di bawall angin, kita sembunyi. Tapi, bilamana
kita ubah kita punya kebiasaan, bilamana kita dirikan rumah dan
kota, bilamana kita nongkrong di pemukiman, kita tidak bakalan
bisa berkembang. Kita akan layu dan kuncup, dan kita mati. Buat
apa biara-biara, tempat-tempat pujaan? Itu cuma bikin lemah kita
punya jiwa, membikin gejolak semangat jadi luluh, membuat parang
tetap tinggal dalam sarung. Tahukah kau wahai Temujin, cucu
keturunan Yesukai, bahwa hanya kekerasan dan hanya peperangan
yang bisa menundukkan manusia dan kemanusiaan. Hanya kekerasan
yang bisa mendorongmu ke kursi kekuasaan! Maka dari itu, jadilah
pengembara terus, jadilah nomad terus, keluyuran tak henti-henti
(artinya tidak tinggal di pemukiman Perumnas)."
Nomad keluyuran terus menerus, biara menjadikan semangat luluh,
hanya kekerasan yang bisa mendorong ke kursi kekuasaan, sungguh
ucapan bijak bestari yang tidak byak dan tidak pula bestari.
Andaikata dia punya kepala, pastilah dicebloskan ke dalam
tungku. Orang sekarang perlu pemukiman, karena pemukiman
merupakan bagian dari peradaban. Orang tidak perlu gunakan
kekerasan untuk peroleh kekuasaan, karena kekuasaan bisa datang
sendiri atas dasar kualitas. Dan biara, tiap orang tahu apa
hasil biara itu, bagi bersimpuh di dalamnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini