SERANGKAIAN letusan membangunkan penduduk Traves, Prancis,
lewat tengah malam itu. Bunyi itu datang dari arah hutan. Dan di
sana hanya terdapat sebuah rumah.
Tapi setelah tercenung sejenak, mereka kembali ke bawah selimut
masing-masing. Tentulah ada orang yang membakar petasan, pikir
mereka. Kekerasan kriminal tak mungkin terjadi di Traves, dusun
dengan 350 penghuni yang sebagian besar petani.
Petasan, ya. Bukankah hari ini 14 Juli, Hari Bastille? Di
seluruh Prancis orang sedang bersorak-sorai dan membakar mercon.
Apa salahnya bila di Traves pun ada warga dusun yang
memperlihatkan sedikit kegembiraan?
Tapi, di atas hutan tempat letusan itu terdengar, langit merah
oleh cahaya api. Rumah terpencil itu sedang terbakar--milik
Joachim Peiper, 61 tahun. Penduduk Traves segera menyibakkan
selimutnya kembali, berlarian tergapahgupuh, mencoba ikut
menyelamatkan apa yang mungkim Wajah mereka yang cemas memerah
di bawah bayangan api.
Pagi pun datang. Para gendarme, dan anggota pemadam kebakaran,
melacak seluruh sisa dan di antara puing-puing mereka menemukan
senjata api --dan selongsong peluru yang sudah ditembakkan.
Kemudian sesosok mayat--yang lebih mirip dengan sekerat arang.
Para wartawan mulai datang menyerbu Traves.
Hari itu juga koran-koran Prancis muncul dengan kepala berita
yang mengejutkan. Fronce-Soir, misalnya, menulis secara menyolok
di halaman depannya: "Eksekusi Untuk Seorang Tokoh SS." Dan,
luka-luka Perang Dunia II pun kembali dibuka dan diungkap.
Kisahnya dimulai dari 11 Juli 1945. Hari itu Mahkamah Militer
Amerika Serikat, yang bersidang di Dachau, menjatuhkan hukuman
seumur hidup kepada Joachim Peiper, perwira yang memiliki banyak
tanda jasa dari Waffen SS, korp elite pasukan tempur Nazi
Jerman. Ia dipersalahkan turut bertanggung jawab atas
pembantaian 71 tahanan Amerika di Hutan Ardennes, dekat Malmedy.
Tapi setelah melalui masa hukuman 12 tahun, Peiper dilepaskan
dengan jaminan.
Pada 1972 ia beroleh kediaman sah di Traves, sekitar 80 mil dari
perbatasan Jerman. Ia hidup dengan senyap di dusun terpencil
itu, hingga 22 Juni tahun tersebut. Pada hari itu, L'Humanite,
koran Partai Komunis Prancis, memberitahu penduduk Traves-dan
dunia--tentang siapa sebenarnya Peiper itu.
"Setelah itu tak ada lagi kedamaian untuk Traves dan Peiper,"
kata Rober Daley dalam tulisannya di The New York Times awal
November 1976. Peiper mendapat peringatan gelap bertubi-tubi. Ia
diancam: kalau tak meninggalkan Prancis sebelum Hari Bastille,
rumahnya akan dibakar dan dia sendiri akan dibunuh.
"L 'Affaire Peiper", alias pembunuhan Peiper 14 Juli itu,
seperti dilaporkan koran-koran Prancis dan Jerman, memang
membangunkan kembali emosi yang sudah terpendam 30 tahun.
Keresahan bangkit di kedua negeri. Kelompok-kelompok ekstrim
segera mencanangkan kekerasan-kekerasan baru. Sebuah bom meledak
di sana, kemudian sebuah rencana jahat terbongkar di sini.
Sedang Traves tak punya polisi. Bila malam tiba, keamanan dusun
kecil itu dipikulkan ke pundak sepasukan gendarme.
Malah hingga beberapa bulan kemudian ketertiban masih belum
pulih sepenuhnya. Apalagi isu berkembang semakin luas: tak ada
orang yang yakin bahwa sosok yang hangus itu adalah jenazah
Peiper.
Syahdan, Joachim Peiper tiba pertama kali di Traves 1962. Ia
berkemah di hutan, di tepi Bengawan Saone. Lebar sungai itu
kira-kira dua kali kemampuan orang melemparkan sebillh tongkat.
Kedua tepinya berpagarkan rindang pohonan.
Setelah kunjungan pertama itu, musim panasdemi musim panas
Peiper datang dan berkemah di tempat yang sama. Tanahnya sendiri
tak seberapa bermutu. Berhutan lebat, curam melandai langsung ke
tepi sungai. Peiper membeli tanah di situ seluas sekitar dua
acre, dan mulai mendirikan rumah dengan tangannya sendiri.
Pekerjaan itu memakan waktu bertahun-tahun.
Ketika akhirnya rumah itu berdiri, Peiper mulai berusaha
mendapat izin tinggal di Prancis. Dan sesuai dengan perjanjian
Pasaran Bersama Eropa, izin seperti itu turun dengan sendirinya.
Permohonan Peiper ditandatangani oleh Mayor Ernest Rigoulot. Di
situ disebutkan, ia memiliki tanah dan rumah di Traves, dan
ingin menghabiskan masa pensiunnya di sana. Masa lampau dan masa
kininya sama sekali tak disinggung.
Izin diberikan hampir tanpa kesulitan. Tahun 1972, Peiper yang
berusia 57 tahun resmi mendapat tempat pengungsian di negeri
yang pernah tiga kali dijarah Jerman selama masa 70
tahun--sedang penjarahan terakhir bahkan terjadi dengan bantuan
Peiper sendiri.
Traves terletak sekitar 10 mil dari Vesoul, kota kecil dengan
penduduk 18 ribu. Dusun itu cukup jauh dari jalan besar. Di sana
panorama menyajikan padang rumput dan hutan silih berganti.
Kawanan lembu berjalan dengan malasnya sepanjang kampung, menuju
lumbung-lumbung tua yangdibangun dari batu.
Untuk para penghuni yang meninggal, tersedia tanah pekuburan di
sekitar gereja. Lonceng yang tergantung di menara gereja itu
juga tak pernah alpa berdentang dari jam ke jam, dengan irama
yang sama seperti beberapa abad sebelumnya. Tak ada hotel. Rumah
minum hanya sebuah, milik Mayor Rigoulot, sekaligus berfungsi
sebagai toko makanan dan minuman kecil-kecilan.
Jarang orang melihat Peiper di cafe Rigoulot. Ia memang tak
punya uang banyak. Ia menerjemahkan buku-buku sejarah militer
untuk sebuah penerbit di Stuttgart, tapi pekerjaan itu tak
menghasilkan kemakmuran. Istrinya, Sigurd, datang mengunjunginya
padawaktu-waktu tertentu dari Munich. Sedang anak dan cucunya
menjenguknya pada setiap musim panas. "Kami mengenal keluarga
itu," kata Mayor Rigou lot.
Peiper berbahasa Prancis cukup baik, dengan aksen asing yang
kentara. la memiliki sebuah sampan dan suka berdayung sepanjang
sungai. Mempunyai sejumlah buku, dan gemar mendengarkan musik
dari pesawat hifi-nya. Rambutnya putih, dan penampilannya
mengesankan seorang yang sedang dimangsa usia tua. Ya, dia
sungguh seorang Jerman. "Tapi bagian perangnya sudah termasuk
masa lampau," kata Robert Daley (yang juga dikenal dengan
novelnya To Kill a Cop) dalam edisi TNYT yang telah disebut.
Pada monumen Perang Dunia I yang terdapat di Traves, memang tak
bakal ditemukan nama-nama tokoh Perang Dunia II.
Pada 1975, Peiper pergi ke kota kecil Vesoul mencari kawat yang
cocok untuk kandang kedua anjingnya. Untuk keperluan pengiriman
barang pesanan itu, ia meninggalkan nama dan alamatnya pada
kerani toko, Paul Cacheau, seorang lelaki jangkung bertampang
keras, dengan rambut kelabu dan kaGamata bergagang tanduk. Nah,
inilah agaknya pangkal bencana.
Cacheau seorang yang bangga. Sebab: ia memiliki sebuah kopi apa
yangdinamakan Buku Cokelat-semacam daftar orang-orang yang
dituduh sebagai bajingan perang Nazi. Buku ini diterbitkan oleh
Partai Komunis Jerman Timur. Nah. Untuk Cacheau, "bau Jerman"
Peiper segera saja tercium dari aksen dan pembawaan.
Maka begitu orang itu berlalu, Cacheau segera menyimak Buku
Cokelatnya. Dan ini: di halaman 103, ia menemukan nama
Peiper--berikut kejahatan yang didakwakan atas namanya. Maka ia
pun melompat--dan segera menghubungi partai komunis setempat,
menyampaikan penemuan itu.
Penyelidikan segera dilakukan oleh Pierre Durand, reporter
L'Humanite. Dan hasilnya bisa dilihat 22 Juni 1975 Hampir
seluruh halaman depan koran tersebut dimakan kepala berita:
"Siapa Melindungi Penjahat Perang di Prancis?" Maka dusun kecil
Traves pun maklum akan masa lampau orang tua di hutan itu .
Lahir di Berlin, 30 Januari 1915, Joachim Peiper adalah putra
seorang opsir tentara Prusia. Ia menggabungkan diri dengan
kelompok Pemuda Hitler tahun 1933, masuk Junkerschule, dan
menjadi letnan pada usia 21 tahun. Tahun 1938 ia diberi
kepercayaan menjadi aide-de-camp Heinrich Himmler, komandan
Gestapo yang kesohor.
Ia bangga menjadi anggota SS, Schutz Staffel, yang bisa
diartikan "brigade perlindungan". Mulanya, satuan ini memang
dibentuk untuk melindungi Hitler dan tokoh politik penting Nazi
lainnya.
NAMUN setelah pecah perang, SS dibagi ke dalam dua bagian. Yang
satu memakai seragam serba hitam, dan ditugaskan menjaga kamp
konsentrasi. Satunya lagi dikenal sebagai Waffen (militer) SS.
Sebagai perwira Waffen Peiper bertempur di Polandia, Rusia dan
Prancis. Jumlah tanda jaja dan luka yang disandangnya dari
berbagai perang itu hampir sama banyak.
September 1943 ia berada di pegunungan timur laut Italia--dan
membungkamkan desa demi desa dengan bombardemen. Tanggal 19
bulan itu pula dua di antara anak buahnya memasuki Boves, desa
dengan 4.700 penduduk. Kendaraan yang mereka tumpangi menubruk
sebuah rumah, dan kedua serdadu itu ditawan para partisan
setempat.
Mendengar itu, Peiper memerintahkan dua orang tua Desa Boves
menghadapi dia. Bila kedua anak buahnya tidak kembali, demikian
ia mengancam, ia akan menghancurkan desa itu.
Hanya dalam tempo 40 menit kedua serdadu yang menabrak rumah
itu dilepaskan. Namun Peiper, menurut laporan L'Humanite, tak
mengenal iba. "Desa itu dibakarnya rumah demi rumah."
Konon 34 orang penduduk sipil tewas dalam tindakan bumi hangus
itu. L'Humanite mengaku--meski tidak mempublikasikan--mempunyai
potret Peiper, dengan kacamata di tangan, mengawasi Desa Boves
yang sedang dilahap api.
Pada 'Hari-H', tokoh itu seorang kolonel dengan usia 29 tahun.
Ia pimpinan 'Satuan Tempur Peiper', yang juga dikenang sebagai
Resimen Panser Pertama dari Divisi Panser Keenam SS. Ketika
tentara Jerman dipukul mundur ke Belgia, Peiper selama enam
bulan bertempur dengan gigih melawan pasukan Amerika.
Dekat menjelang Hari Natal 1944, terjadilah Pertempuran Bulge,
yaitu serangan balik Jerman yang terakhir. Dan Satuan Tempur
Peiper berada di mata tombak serbuan ini. Ia berhasil menawan
lebih 500 tentara Amerika dan sekitar 90 penduduk sipil Belgia.
Dan di Hutan Ardennes, dekat Malmedy, bagai para pengungsi
Palestina di tangan golongan Kanan Libanon, semua tahanan itu
diberondong dengan senapan mesin. Sebagian dengan tangan terikat
ke belakang.
Peiper ditangkap di Austria tahun 1945. Dituduh bertanggung
jawab atas pembantaian di Malmedy tersebut, ia diadili di Dachau
tanggal 14 Mei 1946. Para hakim terdiri dari tujuh anggota
Mahkamah Militer Amerika Serikat. Bersama Peiper, dihadapkan
pula 73 perwira dan anggota, tiga di antaranya Jenderal Waffen
SS.
Sebagian besar tuduhan langsung ditujukan terhadap Peiper. Tapi
orang ini membela diri, dengan menyatakan ia "berada di bawah
perintah para atasannya dan Fuhrer." Atau bahwa "perang harus
dilancarkan dengan bengis." Atau "para tawanan asing harus
dibunuh bila situasi memaksa."
Dengan jumlah tertuduh yang demikian banyak, hingga mereka
diharuskan memasang nomor di leher masing-masing, pengadilan
berjalan singkat-tak sampai dua bulan. Tanggal 11 Juli
dibebaskan seorang serdadu berusia 19 tahun. Peiper dan 42 orang
lagi dijatuhi hukuman gantung untuk kesalahannya membantai 71
tentara Amerika. Hanya 71 orang itu yang bisa ditemukan
identitasnya.
Ketika putusan dibacakan, sebuah lampu kilat kamera menyambar
wajah Peiper. Dia tertawa pahit. Ia minta ditembak sebagai
prajurit, bukan digantung dan permintaan itu dikabu Ikan.
Tapi usaha berbagai gerakan rupanya berhasil menyebabkan Peiper
tetap hidup sampai 1951. Bahkan justru pada tahun itu hukumannya
iubah menjadi penjara seumur hidup. Kemudian, menjelang Natal
1956, sebagai hasil upaya sebuah "dewan pengampunan" yang
bekerja diam-diam (terdiri dari tiga orang Jerman Barat, seorang
Amerika, seorang Inggris dan seorang Prancis), Peiper malah
dibebaskan dengan jaminan. Dialah tertuduh terakhir yang
dibebaskan dalam kasus Malmedy, setelah hanya menjalani 11 «
tahun dalam penjara.
Sebagian besar penjahat perang mengganti namanya segera setelah
bebas. Tapi Peiper, anehnya, tidak. Ia bekerja pada perusahaan
Porsche di Stuttgart. Tetap keras dan berpembawaan perwira. Ia
sempat memegang Jabatan kepala promosi, tapi akibat protes Dewan
Karyawan, akhirnya ia dipecat.
Pindah ke pabrik VW. Di situ ia melatih tenaga penjualan. Tapi
sekitar awal 1960-an, emigran Italia membanjiri pabrik-pabrik
Jerman, sementara orang Jerman sendiri mencari posisi dan
pekerjaan yang lebih baik. Di kalangan buruh Italia itu segera
beredar cerita bahwa Peiper terlibat kejahatan perang di Italia.
Sekali lagi Dewan Karyawan--yang kebetulan dikuasai bunuh
Italia--menyarankan Peiper dipecat. Dan saran itu terpaksa
dilaksanakan. Masa lampau terus membuntuti Peiper yang tak mau
menyamar itu.
Tahun 1964, dua orang komunis Italia melacaki jejaknya sampai ke
Stuttgart. Kemudlan menyusun pengaduan resmi atas
keterlibatannya dalam pembunuhan di Boves yang telah disebut.
Pemeriksaan prapengadilan kemudian memakan waktu bertahun-tahun.
Lebih seratus saksi dipanggil untuk didengar. Namun Peiper tak
beranjak. "Boves bukan pembantaian, melainkan pertempuran,"
katanya. Dan "perang adalah perang." Akhirnya sidang mempercayai
Peiper. Perkara dibatalkan. Kurang bukti.
Setelah itu Peiper ke Traves. Kepada teman-temannya ia
mengatakan, masyarakat Jerman sedang bangkrut. Dan
tahun-tahunnya di tepi sungai di hutan Prancis itu tampaknya
merupakan bagian paling tenang dari seluruh masa dewasanya. Ia
pernah berkata kepada seorang reporter: "Saya mengalami empat
tahun yang berbahagia sini. Empat tahun dalam kehidupan tak bisa
dibilang singkat."
Tatkala artikel L'Humanite yang mengejutkan itu muncul, para
pemuda komunis Vesoul segera berarak di jalan masuk menuju
Traves. Mereka melambaikan selembar spanduk:
Wahai Warga Traves
Seorang Penjahat Perang
SS Peiper Joachim
Berada di antara Kalian.
DI tengah jalan mereka menuliskan "Peiper SS", dengan huruf
sepanjang tiga kaki. Ancaman maut diri orang-orang tak dikenal
mulai sampai ke tangan Mayor Rigollot dan para pejabat setempat
lainnya. Partai Komunis dan kelompok-kelonlpok veteran
mengirimkan protes resmi, menuntut pengusiran Peiper secepat
mungkin.
"Gerakan yang ditujukan terhaadap saya," tulis Peiper kepada
seorang rekannya di Jerman Barat, "datang sebagai kejutan yang
lengkap. Tampaknya semua terkoordinasi." Ia sendiri pergi
melapor ke polisi. "Mereka tak membantah bahwa kehadiran saya
merupakan problem, dan mereka memberi kemungkinan buat saya
beberapa kali untuk balik ke Jerman." Polisi-polisi itu juga
menduga, menurut Peiper, bahwa orang sedang merencanakan
membakar rumahnya.
Para wartawan mulai berdatangan ke Traves, mencari bahan untuk
pelbagai cerita sensasi. Tapi, enehnya, mereka tak berhasil
menemukan penduduk yang terang-terangan berbicara memusuhi
Peiper. Kecuali seorang perempuan tua, yang dombanya pernah
ditakut-takuti anjing orang Jerman itu. Salah seorang warga
desa bahkan beri kata: "Dia melaksanakan kewajiban terhadap
masyarakat. Dia tak terlibat kejahatan di Prancis." Mayor
Rigoulot sendiri berujar "Jika kami ingin dia pergi dari sini,
kami mampu mengatakan hal itu kepadanya."
Karena itu para reporter mulai langsung mengincar Peiper.
Villanya yang kecil di tengah hutan hampir tak tampak. Lagi pula
sulit dicapai. Dari jalan, rumah itu dipisahkan oleh dua lorong
kecil milik para petani. Kedua lorong itu dipagari kawat
berduri. Peiper sendiri membeli bagian jalan yang menuju
rumahnya.
DALAM pada itu ia tetap menampilkan wajah seorang opsir Jerman
yang tegar. "Kalau saya berada di sini," katanya kepada
sejumlah wartawan yang berhasil menemuinya, "itu disebabkan
Prancis tidak mempunyai keberanian tahun 1940." Pernyataan
seperti ini tentu saja tidak mengenakkan sang tuan rumah.
Apalagi Peiper kemudian mengatakan, "Banyak ancaman untuk
membakar rumah saya. Tadinya saya pikir rancis negeri
demokratis yang menghol-mati hak asasi."
Di tengah rombongan wartawan itu, tampak lebih tinggi dan lebih
tegak. Tingginya 6,1 kaki. Tetap langsing dan fit, dengan wajah
terbakar sinar matahari dan rambut terpangkas pendek. Ia
membantah terlibat pembantaian di Italia, dan menceritakan
berbagai variasi tentang peristiwa Malmedy.
Salah satunya: ia tak punya pasukan untuk mengawal tentara
Amerika yang ditawan itu. Ia meninggalkan mereka begitu saja.
Pasukan infantri-lah yang kemudian membunuh mereka.
Pada kesempatan lain, kepada seorang wartawan Est Repuhlicin,
ia mengatakan beberapa serdadu Amerika yang tertawan itu mencoba
melarikan diri. Dalam keadaan kisruh sebuah tank Jerman membuka
tembakan, dan semua tawanan terbunuh. Entah mana yang benar.
Hanya ada dua saksi, dan keduanya anak buah Peiper, pada
peristiwa berdarah Desember 1944 itu.
Tapi selalu ia berkata: "Saya adalah komandan. Tanggung jawab
terakhir ada di tangan saya. Dan saya sudah membayar tindakan
saya. Saya membayarnya dengan patut." Ketika para wartawan
bertanya kapan ia akan meninggalkan Prancis, Peiper mengatakan
tak punyatempat untuk pergi. Traves adaah segala-galanya yang
dimilikinya.
Tapi cerita mengenai Peiper berkembang dari hari ke hari. Hampir
seluruh Eropa membacanya. Kepala berlta mengenai 'Jagal dari
Malmedy' dan 'Jagal dari Boves' muncul silih berganti. Kedua
anjing berburu Peiper berubah menjadi anjing penakut yang tetap
patuh pada suara tuannya. Pada malam pembakaran rumah itu, kedua
anjing tadi melolong seraya menjauh--dan hilang entah ke mana.
Sementara itu Peiper mengirimkan serangkaian surat ke Jerman,
dan beberapa petikannya belakangan dimuat majalah Stern. Salah
satu bunyi surat itu: "Saya sekarang dikunjungi wartawan
terus-menerus. Temanya: Anda adalah pembunuh Malmedy. Anda harus
membayar utang itu, tapi Anda juga bertanggung jawab atas
pembunuhan di Italia. Situasinya sekarang, mereka sedang
memojokkan saya di kandang saya, setelah perburuan sekian lama."
Dalam surat lain: "Jauh dari persahabatan dan perdamaian, saya
sedang dikepung. Posisi ini akan saya jalani sampai pada akhir
yang pahit."
"Seorang wartawan foto beberapa hari, yang lalu mengambil
posisi di seberang sungai, dan dengan telelens mengamati
gerak-gerik saya. Bagai orang Indian, dia mengintai dari sudut
ke sudut."
"Untuk kesekian kalinya saya menerima ultimatum Brigade Merah.
Mereka mengancam akan membakar rumah saya."
Meski teleponnya tak didaftarkan, pesawat itu berdering
terus-menerus. Di seberang sana terdengar ancaman: bila ia tidak
berangkat sebelum Hari Bastille, ia akan dijatuhi hukuman mati.
Beberapa pengancam itu mengaku mewakili satuan komando
TheAvengers. Kelompok ini, terdiri dari delapan orang dan
mengenakan tutup muka putih, sempat pula mengadakan konperensi
pers di Grand Hotel, Paris, beberapa bulan sebelumnya. Mereka
mengaku berkewajiban membunuh tokoh-tokoh Nazi yang belum
kebagian hukuman.
MAYOR Rigoulot dalam masa rusuh itu masih menyempatkan diri
mengunjungi Peiper. Ia meminta Peiper meninggalkan Traves,
sampai semua keributan usai. Tapi jawaban Peiper, menurut
Rigoulo: "Saya tak dapat pergi. Mereka akan membakar rumah
saya."
Rigoulot mencoba meyakinkan: "Saya percaya mereka akan
melakukannya. Dan mereka akan melakukannya, tidak peduli anda di
sini atau tilak. Selamatkanlah nyawamu, Bung."
Tapi rupanya Peiper terlalu optimistis--atau sombong. "Mereka
tak akan berbuat sesuatu selama saya di rumah ini," katanya
kepada Rigoulot. "Tak ada orang yang bisa membenci demikian
kuatnya setelah 30 tahun." Menurut Rigoulot kemudian, dalam tiga
minggu terakhir itu Peiper tampak 10 tahun lebih tua.
Pada pukul 7 petang Hari Bastille, Peiper menelepon seorang
temanny di Breisgau. Dia telah menyingkirkan istri dan
keluarganya ke tempat aman. Dan dia baru saja menerima telepon
terakhir dari seorang tak dikenal. Mereka mengatakan akan datang
malamitu. "Bagus, datanglah," jawab Peiper di telepon. "Saya
siap menyambut kalian." Teman di Breisgau itu melukiskan suara
Peiper "terdengar gembira, penuh semangat hidup."
Dan segera setelah malam tiba, Peiper melepas kedua anjingnya.
Dia mengisi senapan dan pistolnya. Dan menunggu.
MUNGKIN saat itu ia dirasuk bayang masa lampau yang gemerlapan.
Joachim--Peiper, salah seorang pahlawan perang Jerman terbesar,
termasyhur sejak berusia 25 tahun. Mereka dulu menjuluki dia
Schneidiger, Si Nekat.
Di Rusia suatu ketika, ia menembus garis musuh dengan sebuah
tank rampasan, masuk ke markas besar divisi, dan menculik
sekawanan jenderal Rusia. Ia komandan yang tak mengenal rasa
takut, penuh tipu daya di medan perang sehingga didongengkan
"berpikir bagai Indian." Ia telah menyandang Salib Kesatria,
penghargaan militer tertinggi Jerman.
Tatkala berita sampai ke Jerman tentang kematiannya, dengan
pistol kosong di samping tubuhnya dan ti,d rangkai peluru
senapan kosong di beranda, banyak temannya tak lagi meragukan.
"Itu pasti dia," kata salah seorang, "Menembak sampai saat
terakhir ."
Selain senapan, selongsong, dan molotov coctail yang tak sempat
meledak, sangat sedikit yang ditemukan polisi di tempat
kejadian. Tak ada saksi yang bisa memastikan, apakah Peiper
diserang satu atau 20 pembunuh. Tak ada yang tersisa dari rumah
itu kecuali empat lembar dinding yang sudah berubah menjadi
arang.
Mayat yang terbakar demikian rusaknya, hingga panjangnya tinggal
30 inci. Sama sekali tak bisa diindentifikasikan. Kedua kaki dan
sebelah lengan hilang seutuhnya.
Anehnya, dari pihak komunis datang suara penyesalan. "Kami
menggunakan L'Aftaire Peiper sebenarnya hanya untuk mengingatkan
masyarakat pada bahaya kebijaksanaan Giscard yang pro-Jerman,"
kata seorang jurubicara kelompok kiri. Duduk perkara semakin
kisruh.
Yang jelas, kasus Peiper sempat mengganggu kelancaran hubungan
Prancis-Jerman. Tuduh-menuduh tak urung sempat memperburuk
keadaan. France Soir, koran petang yang paling banyak terjual di
Prahcis, sempat membuat semacam daftar berisi nama-nama perwira
Nazi yang kemudian hidup aman di Jerman Barat. Koran dan media
lain tak kalah serunya memuat berita bernada sama.
Sementara itu sejumlah pertanyaan tetap tak terjawab. Siapakah
yang bertanggung jawab atas kematian orang Jerman itu? Kemudian
- dan ini yang paling seru--benarkah Peiper yang sudah tewas
itu?
Hukum Prancis memang tak memungkinkan pembuktian lebih jauh.
Maka isu baru berkembang lebih mengkhawatirkan. Ada yang
mengatakan, mayat yang hangus itu punya lobang bekas peluru di
tenggorokan. Ada pula yang mengatakan bahkan tak ada luka sama
sekali. Kematian hanya disebabkan oleh api dan asap.
Macam-macamlah.
Mayat itu tak mungkin Peiper, kata sebuah koran lokal pula. Apa
pasal?
"Peiper punya gigi emas, sedang mayat itu tidak." Tapi di antara
semuanya, ada cerita yang lebih mendebarkan.
Menurut versi itu, Peiper sampai saat terakhir tidak kehilangan
kemampuannya sebagai perwira tempur yang tangkas. Ia membunuh
salah seorang algojonya yang datang malam itu, sehingga yang
lain menjadi gentar. Kemudian menyeret mayatnya ke dalam rumah,
dan menyalakan api. Dan kini, ia tentu berada di suatu tempat,
memulai hidup baru, jauh dari keramaian.
MASIH ada cerita yang tak kalah musykilnya, terutama di
kalangan kelompok kanan. Menurut kesimpulan mereka, Peiper
adalah agen komunis Nah! Dekat dua bulan sebelum pembakaran
rumah itu, rrance Soir menghabiskan hampir satu halamannya
memuat kisah ini. Setelah lepas dari penjara, demikian koran
tadi, KGB berhasil mengkomuniskan Peiper dan menempatkannya di
Traves. Bukankah rumah Peiper hanya 20 mil dari bandar udara
yang penting dan 80 mil dari perbatasan Swiss? Rahasia Peiper
konon justru diungkapkan seorang agen CIA yang bekerja di
Kedutaan Besar AS di Bern.
Kisah lain adalah tentang kaki dan lengan mayat yang hilang.
Konon Peiper sengaja memotong bagian tubuh itu, karena di situ
tidak terdapat bekas-bekas luka perang yang justru merupakan
ciri Peiper. Ia menyembunyikannya entah di mana.
Spekulasi terus berkecamuk dari minggu ke minggu. Hingga saat
terakhir, kematian Peiper tetap gelp. Beberapa kelompok
Neo-Nazi memang membuat peringatan menghormati ke pahlawanannya.
Tapi, tanpa bukti yang menyakinkan, mayat hangus di hutan Traves
itu tetap teka-teki yang tak terjawab. Dan sirna.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini