Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Seberondong tembakan dihutan traves

Teka-teki tentang kematian joachim peiper, 61, seorang tokoh ss (korp elite pasukan tempur nazi jerman). perwira yang memiliki banyak tanda jasa dari waffer ss. (sel)

2 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SERANGKAIAN letusan membangunkan penduduk Traves, Prancis, lewat tengah malam itu. Bunyi itu datang dari arah hutan. Dan di sana hanya terdapat sebuah rumah. Tapi setelah tercenung sejenak, mereka kembali ke bawah selimut masing-masing. Tentulah ada orang yang membakar petasan, pikir mereka. Kekerasan kriminal tak mungkin terjadi di Traves, dusun dengan 350 penghuni yang sebagian besar petani. Petasan, ya. Bukankah hari ini 14 Juli, Hari Bastille? Di seluruh Prancis orang sedang bersorak-sorai dan membakar mercon. Apa salahnya bila di Traves pun ada warga dusun yang memperlihatkan sedikit kegembiraan? Tapi, di atas hutan tempat letusan itu terdengar, langit merah oleh cahaya api. Rumah terpencil itu sedang terbakar--milik Joachim Peiper, 61 tahun. Penduduk Traves segera menyibakkan selimutnya kembali, berlarian tergapahgupuh, mencoba ikut menyelamatkan apa yang mungkim Wajah mereka yang cemas memerah di bawah bayangan api. Pagi pun datang. Para gendarme, dan anggota pemadam kebakaran, melacak seluruh sisa dan di antara puing-puing mereka menemukan senjata api --dan selongsong peluru yang sudah ditembakkan. Kemudian sesosok mayat--yang lebih mirip dengan sekerat arang. Para wartawan mulai datang menyerbu Traves. Hari itu juga koran-koran Prancis muncul dengan kepala berita yang mengejutkan. Fronce-Soir, misalnya, menulis secara menyolok di halaman depannya: "Eksekusi Untuk Seorang Tokoh SS." Dan, luka-luka Perang Dunia II pun kembali dibuka dan diungkap. Kisahnya dimulai dari 11 Juli 1945. Hari itu Mahkamah Militer Amerika Serikat, yang bersidang di Dachau, menjatuhkan hukuman seumur hidup kepada Joachim Peiper, perwira yang memiliki banyak tanda jasa dari Waffen SS, korp elite pasukan tempur Nazi Jerman. Ia dipersalahkan turut bertanggung jawab atas pembantaian 71 tahanan Amerika di Hutan Ardennes, dekat Malmedy. Tapi setelah melalui masa hukuman 12 tahun, Peiper dilepaskan dengan jaminan. Pada 1972 ia beroleh kediaman sah di Traves, sekitar 80 mil dari perbatasan Jerman. Ia hidup dengan senyap di dusun terpencil itu, hingga 22 Juni tahun tersebut. Pada hari itu, L'Humanite, koran Partai Komunis Prancis, memberitahu penduduk Traves-dan dunia--tentang siapa sebenarnya Peiper itu. "Setelah itu tak ada lagi kedamaian untuk Traves dan Peiper," kata Rober Daley dalam tulisannya di The New York Times awal November 1976. Peiper mendapat peringatan gelap bertubi-tubi. Ia diancam: kalau tak meninggalkan Prancis sebelum Hari Bastille, rumahnya akan dibakar dan dia sendiri akan dibunuh. "L 'Affaire Peiper", alias pembunuhan Peiper 14 Juli itu, seperti dilaporkan koran-koran Prancis dan Jerman, memang membangunkan kembali emosi yang sudah terpendam 30 tahun. Keresahan bangkit di kedua negeri. Kelompok-kelompok ekstrim segera mencanangkan kekerasan-kekerasan baru. Sebuah bom meledak di sana, kemudian sebuah rencana jahat terbongkar di sini. Sedang Traves tak punya polisi. Bila malam tiba, keamanan dusun kecil itu dipikulkan ke pundak sepasukan gendarme. Malah hingga beberapa bulan kemudian ketertiban masih belum pulih sepenuhnya. Apalagi isu berkembang semakin luas: tak ada orang yang yakin bahwa sosok yang hangus itu adalah jenazah Peiper. Syahdan, Joachim Peiper tiba pertama kali di Traves 1962. Ia berkemah di hutan, di tepi Bengawan Saone. Lebar sungai itu kira-kira dua kali kemampuan orang melemparkan sebillh tongkat. Kedua tepinya berpagarkan rindang pohonan. Setelah kunjungan pertama itu, musim panasdemi musim panas Peiper datang dan berkemah di tempat yang sama. Tanahnya sendiri tak seberapa bermutu. Berhutan lebat, curam melandai langsung ke tepi sungai. Peiper membeli tanah di situ seluas sekitar dua acre, dan mulai mendirikan rumah dengan tangannya sendiri. Pekerjaan itu memakan waktu bertahun-tahun. Ketika akhirnya rumah itu berdiri, Peiper mulai berusaha mendapat izin tinggal di Prancis. Dan sesuai dengan perjanjian Pasaran Bersama Eropa, izin seperti itu turun dengan sendirinya. Permohonan Peiper ditandatangani oleh Mayor Ernest Rigoulot. Di situ disebutkan, ia memiliki tanah dan rumah di Traves, dan ingin menghabiskan masa pensiunnya di sana. Masa lampau dan masa kininya sama sekali tak disinggung. Izin diberikan hampir tanpa kesulitan. Tahun 1972, Peiper yang berusia 57 tahun resmi mendapat tempat pengungsian di negeri yang pernah tiga kali dijarah Jerman selama masa 70 tahun--sedang penjarahan terakhir bahkan terjadi dengan bantuan Peiper sendiri. Traves terletak sekitar 10 mil dari Vesoul, kota kecil dengan penduduk 18 ribu. Dusun itu cukup jauh dari jalan besar. Di sana panorama menyajikan padang rumput dan hutan silih berganti. Kawanan lembu berjalan dengan malasnya sepanjang kampung, menuju lumbung-lumbung tua yangdibangun dari batu. Untuk para penghuni yang meninggal, tersedia tanah pekuburan di sekitar gereja. Lonceng yang tergantung di menara gereja itu juga tak pernah alpa berdentang dari jam ke jam, dengan irama yang sama seperti beberapa abad sebelumnya. Tak ada hotel. Rumah minum hanya sebuah, milik Mayor Rigoulot, sekaligus berfungsi sebagai toko makanan dan minuman kecil-kecilan. Jarang orang melihat Peiper di cafe Rigoulot. Ia memang tak punya uang banyak. Ia menerjemahkan buku-buku sejarah militer untuk sebuah penerbit di Stuttgart, tapi pekerjaan itu tak menghasilkan kemakmuran. Istrinya, Sigurd, datang mengunjunginya padawaktu-waktu tertentu dari Munich. Sedang anak dan cucunya menjenguknya pada setiap musim panas. "Kami mengenal keluarga itu," kata Mayor Rigou lot. Peiper berbahasa Prancis cukup baik, dengan aksen asing yang kentara. la memiliki sebuah sampan dan suka berdayung sepanjang sungai. Mempunyai sejumlah buku, dan gemar mendengarkan musik dari pesawat hifi-nya. Rambutnya putih, dan penampilannya mengesankan seorang yang sedang dimangsa usia tua. Ya, dia sungguh seorang Jerman. "Tapi bagian perangnya sudah termasuk masa lampau," kata Robert Daley (yang juga dikenal dengan novelnya To Kill a Cop) dalam edisi TNYT yang telah disebut. Pada monumen Perang Dunia I yang terdapat di Traves, memang tak bakal ditemukan nama-nama tokoh Perang Dunia II. Pada 1975, Peiper pergi ke kota kecil Vesoul mencari kawat yang cocok untuk kandang kedua anjingnya. Untuk keperluan pengiriman barang pesanan itu, ia meninggalkan nama dan alamatnya pada kerani toko, Paul Cacheau, seorang lelaki jangkung bertampang keras, dengan rambut kelabu dan kaGamata bergagang tanduk. Nah, inilah agaknya pangkal bencana. Cacheau seorang yang bangga. Sebab: ia memiliki sebuah kopi apa yangdinamakan Buku Cokelat-semacam daftar orang-orang yang dituduh sebagai bajingan perang Nazi. Buku ini diterbitkan oleh Partai Komunis Jerman Timur. Nah. Untuk Cacheau, "bau Jerman" Peiper segera saja tercium dari aksen dan pembawaan. Maka begitu orang itu berlalu, Cacheau segera menyimak Buku Cokelatnya. Dan ini: di halaman 103, ia menemukan nama Peiper--berikut kejahatan yang didakwakan atas namanya. Maka ia pun melompat--dan segera menghubungi partai komunis setempat, menyampaikan penemuan itu. Penyelidikan segera dilakukan oleh Pierre Durand, reporter L'Humanite. Dan hasilnya bisa dilihat 22 Juni 1975 Hampir seluruh halaman depan koran tersebut dimakan kepala berita: "Siapa Melindungi Penjahat Perang di Prancis?" Maka dusun kecil Traves pun maklum akan masa lampau orang tua di hutan itu . Lahir di Berlin, 30 Januari 1915, Joachim Peiper adalah putra seorang opsir tentara Prusia. Ia menggabungkan diri dengan kelompok Pemuda Hitler tahun 1933, masuk Junkerschule, dan menjadi letnan pada usia 21 tahun. Tahun 1938 ia diberi kepercayaan menjadi aide-de-camp Heinrich Himmler, komandan Gestapo yang kesohor. Ia bangga menjadi anggota SS, Schutz Staffel, yang bisa diartikan "brigade perlindungan". Mulanya, satuan ini memang dibentuk untuk melindungi Hitler dan tokoh politik penting Nazi lainnya. NAMUN setelah pecah perang, SS dibagi ke dalam dua bagian. Yang satu memakai seragam serba hitam, dan ditugaskan menjaga kamp konsentrasi. Satunya lagi dikenal sebagai Waffen (militer) SS. Sebagai perwira Waffen Peiper bertempur di Polandia, Rusia dan Prancis. Jumlah tanda jaja dan luka yang disandangnya dari berbagai perang itu hampir sama banyak. September 1943 ia berada di pegunungan timur laut Italia--dan membungkamkan desa demi desa dengan bombardemen. Tanggal 19 bulan itu pula dua di antara anak buahnya memasuki Boves, desa dengan 4.700 penduduk. Kendaraan yang mereka tumpangi menubruk sebuah rumah, dan kedua serdadu itu ditawan para partisan setempat. Mendengar itu, Peiper memerintahkan dua orang tua Desa Boves menghadapi dia. Bila kedua anak buahnya tidak kembali, demikian ia mengancam, ia akan menghancurkan desa itu. Hanya dalam tempo 40 menit kedua serdadu yang menabrak rumah itu dilepaskan. Namun Peiper, menurut laporan L'Humanite, tak mengenal iba. "Desa itu dibakarnya rumah demi rumah." Konon 34 orang penduduk sipil tewas dalam tindakan bumi hangus itu. L'Humanite mengaku--meski tidak mempublikasikan--mempunyai potret Peiper, dengan kacamata di tangan, mengawasi Desa Boves yang sedang dilahap api. Pada 'Hari-H', tokoh itu seorang kolonel dengan usia 29 tahun. Ia pimpinan 'Satuan Tempur Peiper', yang juga dikenang sebagai Resimen Panser Pertama dari Divisi Panser Keenam SS. Ketika tentara Jerman dipukul mundur ke Belgia, Peiper selama enam bulan bertempur dengan gigih melawan pasukan Amerika. Dekat menjelang Hari Natal 1944, terjadilah Pertempuran Bulge, yaitu serangan balik Jerman yang terakhir. Dan Satuan Tempur Peiper berada di mata tombak serbuan ini. Ia berhasil menawan lebih 500 tentara Amerika dan sekitar 90 penduduk sipil Belgia. Dan di Hutan Ardennes, dekat Malmedy, bagai para pengungsi Palestina di tangan golongan Kanan Libanon, semua tahanan itu diberondong dengan senapan mesin. Sebagian dengan tangan terikat ke belakang. Peiper ditangkap di Austria tahun 1945. Dituduh bertanggung jawab atas pembantaian di Malmedy tersebut, ia diadili di Dachau tanggal 14 Mei 1946. Para hakim terdiri dari tujuh anggota Mahkamah Militer Amerika Serikat. Bersama Peiper, dihadapkan pula 73 perwira dan anggota, tiga di antaranya Jenderal Waffen SS. Sebagian besar tuduhan langsung ditujukan terhadap Peiper. Tapi orang ini membela diri, dengan menyatakan ia "berada di bawah perintah para atasannya dan Fuhrer." Atau bahwa "perang harus dilancarkan dengan bengis." Atau "para tawanan asing harus dibunuh bila situasi memaksa." Dengan jumlah tertuduh yang demikian banyak, hingga mereka diharuskan memasang nomor di leher masing-masing, pengadilan berjalan singkat-tak sampai dua bulan. Tanggal 11 Juli dibebaskan seorang serdadu berusia 19 tahun. Peiper dan 42 orang lagi dijatuhi hukuman gantung untuk kesalahannya membantai 71 tentara Amerika. Hanya 71 orang itu yang bisa ditemukan identitasnya. Ketika putusan dibacakan, sebuah lampu kilat kamera menyambar wajah Peiper. Dia tertawa pahit. Ia minta ditembak sebagai prajurit, bukan digantung dan permintaan itu dikabu Ikan. Tapi usaha berbagai gerakan rupanya berhasil menyebabkan Peiper tetap hidup sampai 1951. Bahkan justru pada tahun itu hukumannya iubah menjadi penjara seumur hidup. Kemudian, menjelang Natal 1956, sebagai hasil upaya sebuah "dewan pengampunan" yang bekerja diam-diam (terdiri dari tiga orang Jerman Barat, seorang Amerika, seorang Inggris dan seorang Prancis), Peiper malah dibebaskan dengan jaminan. Dialah tertuduh terakhir yang dibebaskan dalam kasus Malmedy, setelah hanya menjalani 11 « tahun dalam penjara. Sebagian besar penjahat perang mengganti namanya segera setelah bebas. Tapi Peiper, anehnya, tidak. Ia bekerja pada perusahaan Porsche di Stuttgart. Tetap keras dan berpembawaan perwira. Ia sempat memegang Jabatan kepala promosi, tapi akibat protes Dewan Karyawan, akhirnya ia dipecat. Pindah ke pabrik VW. Di situ ia melatih tenaga penjualan. Tapi sekitar awal 1960-an, emigran Italia membanjiri pabrik-pabrik Jerman, sementara orang Jerman sendiri mencari posisi dan pekerjaan yang lebih baik. Di kalangan buruh Italia itu segera beredar cerita bahwa Peiper terlibat kejahatan perang di Italia. Sekali lagi Dewan Karyawan--yang kebetulan dikuasai bunuh Italia--menyarankan Peiper dipecat. Dan saran itu terpaksa dilaksanakan. Masa lampau terus membuntuti Peiper yang tak mau menyamar itu. Tahun 1964, dua orang komunis Italia melacaki jejaknya sampai ke Stuttgart. Kemudlan menyusun pengaduan resmi atas keterlibatannya dalam pembunuhan di Boves yang telah disebut. Pemeriksaan prapengadilan kemudian memakan waktu bertahun-tahun. Lebih seratus saksi dipanggil untuk didengar. Namun Peiper tak beranjak. "Boves bukan pembantaian, melainkan pertempuran," katanya. Dan "perang adalah perang." Akhirnya sidang mempercayai Peiper. Perkara dibatalkan. Kurang bukti. Setelah itu Peiper ke Traves. Kepada teman-temannya ia mengatakan, masyarakat Jerman sedang bangkrut. Dan tahun-tahunnya di tepi sungai di hutan Prancis itu tampaknya merupakan bagian paling tenang dari seluruh masa dewasanya. Ia pernah berkata kepada seorang reporter: "Saya mengalami empat tahun yang berbahagia sini. Empat tahun dalam kehidupan tak bisa dibilang singkat." Tatkala artikel L'Humanite yang mengejutkan itu muncul, para pemuda komunis Vesoul segera berarak di jalan masuk menuju Traves. Mereka melambaikan selembar spanduk: Wahai Warga Traves Seorang Penjahat Perang SS Peiper Joachim Berada di antara Kalian. DI tengah jalan mereka menuliskan "Peiper SS", dengan huruf sepanjang tiga kaki. Ancaman maut diri orang-orang tak dikenal mulai sampai ke tangan Mayor Rigollot dan para pejabat setempat lainnya. Partai Komunis dan kelompok-kelonlpok veteran mengirimkan protes resmi, menuntut pengusiran Peiper secepat mungkin. "Gerakan yang ditujukan terhaadap saya," tulis Peiper kepada seorang rekannya di Jerman Barat, "datang sebagai kejutan yang lengkap. Tampaknya semua terkoordinasi." Ia sendiri pergi melapor ke polisi. "Mereka tak membantah bahwa kehadiran saya merupakan problem, dan mereka memberi kemungkinan buat saya beberapa kali untuk balik ke Jerman." Polisi-polisi itu juga menduga, menurut Peiper, bahwa orang sedang merencanakan membakar rumahnya. Para wartawan mulai berdatangan ke Traves, mencari bahan untuk pelbagai cerita sensasi. Tapi, enehnya, mereka tak berhasil menemukan penduduk yang terang-terangan berbicara memusuhi Peiper. Kecuali seorang perempuan tua, yang dombanya pernah ditakut-takuti anjing orang Jerman itu. Salah seorang warga desa bahkan beri kata: "Dia melaksanakan kewajiban terhadap masyarakat. Dia tak terlibat kejahatan di Prancis." Mayor Rigoulot sendiri berujar "Jika kami ingin dia pergi dari sini, kami mampu mengatakan hal itu kepadanya." Karena itu para reporter mulai langsung mengincar Peiper. Villanya yang kecil di tengah hutan hampir tak tampak. Lagi pula sulit dicapai. Dari jalan, rumah itu dipisahkan oleh dua lorong kecil milik para petani. Kedua lorong itu dipagari kawat berduri. Peiper sendiri membeli bagian jalan yang menuju rumahnya. DALAM pada itu ia tetap menampilkan wajah seorang opsir Jerman yang tegar. "Kalau saya berada di sini," katanya kepada sejumlah wartawan yang berhasil menemuinya, "itu disebabkan Prancis tidak mempunyai keberanian tahun 1940." Pernyataan seperti ini tentu saja tidak mengenakkan sang tuan rumah. Apalagi Peiper kemudian mengatakan, "Banyak ancaman untuk membakar rumah saya. Tadinya saya pikir rancis negeri demokratis yang menghol-mati hak asasi." Di tengah rombongan wartawan itu, tampak lebih tinggi dan lebih tegak. Tingginya 6,1 kaki. Tetap langsing dan fit, dengan wajah terbakar sinar matahari dan rambut terpangkas pendek. Ia membantah terlibat pembantaian di Italia, dan menceritakan berbagai variasi tentang peristiwa Malmedy. Salah satunya: ia tak punya pasukan untuk mengawal tentara Amerika yang ditawan itu. Ia meninggalkan mereka begitu saja. Pasukan infantri-lah yang kemudian membunuh mereka. Pada kesempatan lain, kepada seorang wartawan Est Repuhlicin, ia mengatakan beberapa serdadu Amerika yang tertawan itu mencoba melarikan diri. Dalam keadaan kisruh sebuah tank Jerman membuka tembakan, dan semua tawanan terbunuh. Entah mana yang benar. Hanya ada dua saksi, dan keduanya anak buah Peiper, pada peristiwa berdarah Desember 1944 itu. Tapi selalu ia berkata: "Saya adalah komandan. Tanggung jawab terakhir ada di tangan saya. Dan saya sudah membayar tindakan saya. Saya membayarnya dengan patut." Ketika para wartawan bertanya kapan ia akan meninggalkan Prancis, Peiper mengatakan tak punyatempat untuk pergi. Traves adaah segala-galanya yang dimilikinya. Tapi cerita mengenai Peiper berkembang dari hari ke hari. Hampir seluruh Eropa membacanya. Kepala berlta mengenai 'Jagal dari Malmedy' dan 'Jagal dari Boves' muncul silih berganti. Kedua anjing berburu Peiper berubah menjadi anjing penakut yang tetap patuh pada suara tuannya. Pada malam pembakaran rumah itu, kedua anjing tadi melolong seraya menjauh--dan hilang entah ke mana. Sementara itu Peiper mengirimkan serangkaian surat ke Jerman, dan beberapa petikannya belakangan dimuat majalah Stern. Salah satu bunyi surat itu: "Saya sekarang dikunjungi wartawan terus-menerus. Temanya: Anda adalah pembunuh Malmedy. Anda harus membayar utang itu, tapi Anda juga bertanggung jawab atas pembunuhan di Italia. Situasinya sekarang, mereka sedang memojokkan saya di kandang saya, setelah perburuan sekian lama." Dalam surat lain: "Jauh dari persahabatan dan perdamaian, saya sedang dikepung. Posisi ini akan saya jalani sampai pada akhir yang pahit." "Seorang wartawan foto beberapa hari, yang lalu mengambil posisi di seberang sungai, dan dengan telelens mengamati gerak-gerik saya. Bagai orang Indian, dia mengintai dari sudut ke sudut." "Untuk kesekian kalinya saya menerima ultimatum Brigade Merah. Mereka mengancam akan membakar rumah saya." Meski teleponnya tak didaftarkan, pesawat itu berdering terus-menerus. Di seberang sana terdengar ancaman: bila ia tidak berangkat sebelum Hari Bastille, ia akan dijatuhi hukuman mati. Beberapa pengancam itu mengaku mewakili satuan komando TheAvengers. Kelompok ini, terdiri dari delapan orang dan mengenakan tutup muka putih, sempat pula mengadakan konperensi pers di Grand Hotel, Paris, beberapa bulan sebelumnya. Mereka mengaku berkewajiban membunuh tokoh-tokoh Nazi yang belum kebagian hukuman. MAYOR Rigoulot dalam masa rusuh itu masih menyempatkan diri mengunjungi Peiper. Ia meminta Peiper meninggalkan Traves, sampai semua keributan usai. Tapi jawaban Peiper, menurut Rigoulo: "Saya tak dapat pergi. Mereka akan membakar rumah saya." Rigoulot mencoba meyakinkan: "Saya percaya mereka akan melakukannya. Dan mereka akan melakukannya, tidak peduli anda di sini atau tilak. Selamatkanlah nyawamu, Bung." Tapi rupanya Peiper terlalu optimistis--atau sombong. "Mereka tak akan berbuat sesuatu selama saya di rumah ini," katanya kepada Rigoulot. "Tak ada orang yang bisa membenci demikian kuatnya setelah 30 tahun." Menurut Rigoulot kemudian, dalam tiga minggu terakhir itu Peiper tampak 10 tahun lebih tua. Pada pukul 7 petang Hari Bastille, Peiper menelepon seorang temanny di Breisgau. Dia telah menyingkirkan istri dan keluarganya ke tempat aman. Dan dia baru saja menerima telepon terakhir dari seorang tak dikenal. Mereka mengatakan akan datang malamitu. "Bagus, datanglah," jawab Peiper di telepon. "Saya siap menyambut kalian." Teman di Breisgau itu melukiskan suara Peiper "terdengar gembira, penuh semangat hidup." Dan segera setelah malam tiba, Peiper melepas kedua anjingnya. Dia mengisi senapan dan pistolnya. Dan menunggu. MUNGKIN saat itu ia dirasuk bayang masa lampau yang gemerlapan. Joachim--Peiper, salah seorang pahlawan perang Jerman terbesar, termasyhur sejak berusia 25 tahun. Mereka dulu menjuluki dia Schneidiger, Si Nekat. Di Rusia suatu ketika, ia menembus garis musuh dengan sebuah tank rampasan, masuk ke markas besar divisi, dan menculik sekawanan jenderal Rusia. Ia komandan yang tak mengenal rasa takut, penuh tipu daya di medan perang sehingga didongengkan "berpikir bagai Indian." Ia telah menyandang Salib Kesatria, penghargaan militer tertinggi Jerman. Tatkala berita sampai ke Jerman tentang kematiannya, dengan pistol kosong di samping tubuhnya dan ti,d rangkai peluru senapan kosong di beranda, banyak temannya tak lagi meragukan. "Itu pasti dia," kata salah seorang, "Menembak sampai saat terakhir ." Selain senapan, selongsong, dan molotov coctail yang tak sempat meledak, sangat sedikit yang ditemukan polisi di tempat kejadian. Tak ada saksi yang bisa memastikan, apakah Peiper diserang satu atau 20 pembunuh. Tak ada yang tersisa dari rumah itu kecuali empat lembar dinding yang sudah berubah menjadi arang. Mayat yang terbakar demikian rusaknya, hingga panjangnya tinggal 30 inci. Sama sekali tak bisa diindentifikasikan. Kedua kaki dan sebelah lengan hilang seutuhnya. Anehnya, dari pihak komunis datang suara penyesalan. "Kami menggunakan L'Aftaire Peiper sebenarnya hanya untuk mengingatkan masyarakat pada bahaya kebijaksanaan Giscard yang pro-Jerman," kata seorang jurubicara kelompok kiri. Duduk perkara semakin kisruh. Yang jelas, kasus Peiper sempat mengganggu kelancaran hubungan Prancis-Jerman. Tuduh-menuduh tak urung sempat memperburuk keadaan. France Soir, koran petang yang paling banyak terjual di Prahcis, sempat membuat semacam daftar berisi nama-nama perwira Nazi yang kemudian hidup aman di Jerman Barat. Koran dan media lain tak kalah serunya memuat berita bernada sama. Sementara itu sejumlah pertanyaan tetap tak terjawab. Siapakah yang bertanggung jawab atas kematian orang Jerman itu? Kemudian - dan ini yang paling seru--benarkah Peiper yang sudah tewas itu? Hukum Prancis memang tak memungkinkan pembuktian lebih jauh. Maka isu baru berkembang lebih mengkhawatirkan. Ada yang mengatakan, mayat yang hangus itu punya lobang bekas peluru di tenggorokan. Ada pula yang mengatakan bahkan tak ada luka sama sekali. Kematian hanya disebabkan oleh api dan asap. Macam-macamlah. Mayat itu tak mungkin Peiper, kata sebuah koran lokal pula. Apa pasal? "Peiper punya gigi emas, sedang mayat itu tidak." Tapi di antara semuanya, ada cerita yang lebih mendebarkan. Menurut versi itu, Peiper sampai saat terakhir tidak kehilangan kemampuannya sebagai perwira tempur yang tangkas. Ia membunuh salah seorang algojonya yang datang malam itu, sehingga yang lain menjadi gentar. Kemudian menyeret mayatnya ke dalam rumah, dan menyalakan api. Dan kini, ia tentu berada di suatu tempat, memulai hidup baru, jauh dari keramaian. MASIH ada cerita yang tak kalah musykilnya, terutama di kalangan kelompok kanan. Menurut kesimpulan mereka, Peiper adalah agen komunis Nah! Dekat dua bulan sebelum pembakaran rumah itu, rrance Soir menghabiskan hampir satu halamannya memuat kisah ini. Setelah lepas dari penjara, demikian koran tadi, KGB berhasil mengkomuniskan Peiper dan menempatkannya di Traves. Bukankah rumah Peiper hanya 20 mil dari bandar udara yang penting dan 80 mil dari perbatasan Swiss? Rahasia Peiper konon justru diungkapkan seorang agen CIA yang bekerja di Kedutaan Besar AS di Bern. Kisah lain adalah tentang kaki dan lengan mayat yang hilang. Konon Peiper sengaja memotong bagian tubuh itu, karena di situ tidak terdapat bekas-bekas luka perang yang justru merupakan ciri Peiper. Ia menyembunyikannya entah di mana. Spekulasi terus berkecamuk dari minggu ke minggu. Hingga saat terakhir, kematian Peiper tetap gelp. Beberapa kelompok Neo-Nazi memang membuat peringatan menghormati ke pahlawanannya. Tapi, tanpa bukti yang menyakinkan, mayat hangus di hutan Traves itu tetap teka-teki yang tak terjawab. Dan sirna.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus