Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Para Kandidat

Dari aktivis partai politik sampai bekas demonstran. Berikut ini profil beberapa kandidat menteri kabinet baru.

20 Agustus 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rizal Ramli

Lelaki bertubuh besar ini santer disebut akan menduduki posisi Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Menko Ekuin). Dilahirkan di Padang, 10 Mei 1953, penggemar Albert Einstein ini aktif di politik sejak menjadi mahasiswa di Institut Teknologi Bandung (ITB). Pada 1978, ia dipenjarakan selama setahun karena memprotes pemilihan kembali Soeharto sebagai presiden. Setamat dari ITB, Rizal melanjutkan sekolah di Universitas Boston, Amerika Serikat, hingga memperoleh gelar doktor.

Rizal adalah pendiri Econit, lembaga riset ekonomi, industri, dan perdagangan. Lembaga ini pernah mengkritik dan membongkar kasus penjualan modal yang dilakukan Liem Sioe Liong atas sebagian besar saham PT Indofood pada 1997. Econit pula yang membeberkan kolusi di balik pengucuran kredit raksasa Kanindotex milik taipan Robby Tjahjadi. Saat ini, Rizal adalah Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog).

Rizal memiliki pergaulan luas. Ketika reformasi pecah, dia terlibat dalam pembentukan Majelis Amanat Rakyat (Mara)—organisasi cikal-bakal berdirinya Partai Amanat Nasional—tapi menolak terjun ke partai politik. Ia juga dekat dengan politisi seperti Taufik Kiemas dari PDI Perjuangan.

Pandangan Rizal terkadang kontroversial. Melalui pernyataannya, dia misalnya pernah membela perusahaan tekstil Texmaco ketika perusahaan itu menjadi sorotan akibat terlibat kasus penyalahgunaan kredit prapengapalan dari Bank BNI.

Dorodjatun Kuntjoro-Jakti

Inilah pesaing Rizal untuk posisi Menko Ekuin. Nama Dorodjatun sudah agak lama disebut-sebut akan menduduki posisi ini. Bahkan, ketika Presiden Abdurrahman menyusun daftar kabinet yang pertama tahun lalu, ia sudah pula diperhitungkan, tapi Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat ini menolak. Belakangan, ketika tawaran itu datang lagi—untuk kesekian kalinya—Dorodjatun tak menampik.

Tapi, menurut seorang karibnya di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE-UI), Dorodjatun memberikan syarat kepada Presiden. Ia, kata sumber itu, hanya mau menjadi menko asalkan dilibatkan dalam penyusunan komposisi menteri di bawahnya. Ia juga minta agar semua kebijakan ekonomi keluar dari dirinya. Tujuannya adalah agar menteri-menteri bawahannya tidak jalan sendiri-sendiri dan tak memberikan keterangan yang berbeda kepada publik.

Lahir di Rangkasbitung Jawa Barat, 25 November 1939, Dorodjatun memperoleh gelar sarjananya di FE-UI pada 1964. Selanjutnya, ia meneruskan sekolah di Universitas California, Amerika Serikat, sampai memperoleh gelar doktor pada 1980. Ekonom yang pernah ditahan karena peristiwa Malari itu pernah pula menjadi Kepala Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat FE-UI.

Susilo Bambang Yudhoyono

Ia salah satu jenderal yang dekat dengan Presiden Abdurrahman Wahid. Meski resminya adalah Menteri Pertambangan dan Energi (Mentamben), Susilo kerap diminta menjalankan tugas di luar bidang pertambangan. Ia, misalnya, pernah diminta Presiden Abdurrahman menjadi juru runding pemerintah dengan Keluarga Cendana dalam hal pengembalian harta korupsi Soeharto. Ia termasuk dalam tim penyusun pidato Presiden di DPR. Ia juga pernah diminta menjadi salah seorang ketua Partai Kebangkitan Bangsa—partai tempat Presiden berasal. Itulah sebabnya tak banyak yang kaget ketika SBY—begitu Susilo biasa dipanggil—dijagokan sebagai Menteri Koordinator Politik Keamanan dan Kesejahteraan Rakyat (Menko Polkam dan Kesra).

Susilo dilahirkan di Pacitan, Jawa Timur, 9 September 1949. Sebagai militer, karirnya lengkap. Ia pernah menjadi pengajar di Sekolah Komando Angkatan Darat, menjadi anggota pasukan PBB di Bosnia, menjadi Panglima Kodam di Sumatra Selatan, dan terakhir menjabat Kepala Staf Teritorial TNI.

Menurut pengamat militer M.T. Arifin, ketimbang menjadi Mentamben, Susilo sebenarnya lebih cocok menjadi Menko Polkam dan Kesra. Tapi batu sandungan bukan tak ada. Disebut-sebutnya Susilo dalam kasus 27 Juli, kabarnya, menjadikan nama lulusan Akademi Militer Nasional tahun 1973 itu tak harum di hidung Megawati dan PDI-P.

Sri Mulyani Indrawati

Dosen Fakultas Ekonomi UI dan Sekretaris Dewan Ekonomi Nasional (DEN) ini disebut-sebut akan menduduki posisi Menteri Keuangan. Dia bukan orang yang sama sekali asing dari lapangan keuangan. Ia juga telah akrab dengan kultur birokrasi Abdurrahman Wahid. Selain aktif di DEN, komisaris PT Unilever Indonesia itu juga anggota Tim Asistensi Teknis Menko Ekuin.

Menjabat di dua lembaga itu sebetulnya agak aneh. Sebagai anggota Tim Asistensi, Mulyani bertugas membantu pemerintah melalui Menko Ekuin untuk membuat berbagai kebijakan. Sebagai anggota DEN, ia bertugas memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam menelurkan kebijakan pemerintah. Toh, ia mulus-mulus saja menjalankan dua perannya itu.

Sri Mulyani juga dikenal dekat dengan Widjojo Nitisastro, peletak dasar ekonomi Orde Baru. Itulah sebabnya ekonom dari Nomura Securities Singapura, Adrian Pangabean, mengatakan bahwa Sri Mulyani—jika terpilih menjadi Menteri Keuangan—akan meneruskan kebijakan "Mafia Berkeley" yang berorientasi pada pertumbuhan. Adrian tidak yakin Sri Mulyani akan bisa menjawab berbagai persoalan ekonomi. "Kebijakan ekonomi harus menggunakan pendekatan akademis dan menimbang realitas pasar. Orang-orang Widjojo tidak paham soal market reality ini," kata Adrian.

Marzuki Darusman

Menteri Pertahanan adalah pos yang bakal diisi Marzuki Darusman, kini Jaksa Agung. Pria tampan kelahiran Bogor, Jawa Barat, 26 Januari 1945, itu memulai karir politiknya di Golkar. Pada 1992, ia dalam sebuah wawancara mengatakan bercita-cita menjadi presiden. Karena pernyataannya itu, dia disingkirkan dari Golkar. Ketika Soeharto jatuh, debut politik Marzuki dimulai kembali. Marzuki pulalah, bersama Akbar Tandjung, yang bertarung melawan kubu Habibie di Golkar. Hasilnya, Habibie gagal menjadi presiden untuk yang kedua kalinya dan kubu Marzuki berkibar.

Marzuki diangkat Abdurrahman menjadi Jaksa Agung karena jaminan politik Akbar Tandjung. Ketika itu, kabinet disusun berdasarkan jaminan elite-elite politik. Sayang, sebagai Jaksa Agung, kinerja Marzuki tidak maksimal. Ia dianggap lamban mengurus kasus Soeharto. Dalam sebuah wawancara dengan TEMPO, Kiki, begitu kakak penyanyi Chandra Darusman ini biasa disapa, menyatakan akan meminta sidang umum MPR memberikan keputusan politik atas kasus ini. Entah apakah ada hubungannya dengan pernyataan itu atau tidak, kejaksaan menjelang sidang umum MPR lalu menjadikan Soeharto sebagai terdakwa dan akan mengajukannya ke pengadilan tak lama lagi.

Sebagai Menteri Pertahanan, tugas Marzuki tak ringan. Selain memperjuangkan penarikan militer dari panggung politik, ia harus menyelesaikan audit sejumlah yayasan departemen itu atas penyelewengan dana yang jumlahnya tak sedikit.

Faisal Basri

Dalam bursa calon menteri, nama Faisal sempat terombang-ambing. Ia pernah disebut akan menduduki kursi Menteri Keuangan. Belakangan, namanya malah muncul sebagai kandidat Sekretaris Pengendalian Pemerintahan. Menteri Luar Negeri Alwi Shihab-lah yang pertama kali menyebut-nyebut nama Faisal sebagai calon menteri kabinet kedua Abdurrahman Wahid ini ketika dipastikan kabinet itu akan dirombak.

Faisal adalah "orang kampus". Di samping mengajar di FE-UI, dia sempat menjadi Kepala Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat universitas itu. Ketika demo mahasiswa anti-Soeharto marak pada 1998, Faisal adalah salah seorang pengajar yang bergabung dengan mahasiswa. Faisal kemudian bersama Amien Rais mendirikan Partai Amanat Nasional.

Belakangan, pria kelahiran Bandung, 6 November 1959, itu lebih dekat dengan Presiden Abdurrahman ketimbang dengan Ketua MPR Amien Rais. Presiden mengajaknya masuk menjadi anggota Tim Asistensi Ekonomi Menko Ekuin. Kini Faisal juga mengisi pos Sekretaris Pengendalian Pemerintahan yang ditinggalkan Bondan Gunawan. Berdasarkan jabatan itulah keponakan bekas wakil presiden Adam Malik itu diproyeksikan menjadi Sekretaris Pengendalian Pemerintahan dalam kabinet baru.

Marsillam Simanjuntak

Pria Batak kelahiran Yogyakarta, 23 Februari 1943, ini pernah aktif dalam Forum Demokrasi, kelompok diskusi yang diketuai Abdurrahman Wahid. Aktivitas politiknya telah dimulai pada 1970-an, terutama setelah ia ditahan selama 17 bulan karena terlibat kasus Malari. Bersama Bondan Gunawan, 5 Januari lalu Marsillam dilantik menjadi Sekretaris Kabinet. Dalam kabinet baru nanti, Marsillam disebut-sebut akan menduduki jabatan Jaksa Agung.

Sebagai Sekretaris Kabinet, Marsillam bertugas memeriksa semua materi rapat yang diajukan menteri-menteri. Dalam menjalankan tugas ini, tak jarang dokter lulusan Universitas Indonesia (1971) itu harus mencoret-coret materi rapat karena dinilainya tidak relevan.

Marsillam tegas dalam bersikap. Pendapatnya yang anti-dwifungsi TNI disampaikan kepada siapa saja, bahkan kepada kalangan tentara sendiri. Dalam acara dengar pendapat DPR dengan Marsillam dan beberapa pejabat di lingkungan Sekretariat Negara beberapa waktu lalu, ia dituding sebagai "pembisik" Presiden dalam hal kebijakan menyingkirkan tentara dari jabatan menteri. Tapi tuduhan itu ditolaknya. "Saya tidak anti-TNI. Tapi saya tegaskan hari ini bahwa saya memang anti-dwifungsi," katanya.

Arif Zulkifli, Romi Fibri, Leanika Tanjung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus