Presiden Abdurrahman akhirnya sukses juga membuat ger Senayan. "Hati-hati dengan politik orang Jawa dan Sunda. Satu dilepas, empat dipegang," katanya ketika menyampaikan pengantar pidato kenegaraan, 16 Agustus lalu. Ketegangan di sidang tahunan MPR pun melumer.
Tapi, "mati ketawa cara Gus Dur" itu tak membuat Meilono Soewondo dari PDI Perjuangan ikut nyengir. Bukan lantaran ia lagi sakit gigi. "Itu persis betul dengan politik Gus Dur," katanya. "Mega dipersilakan memimpin, tapi kabinet tetap dia pegang." Singkat kata, dia curiga Presiden Abdurrahman setengah hati berbagi wewenang.
Di matanya, kesediaan Presiden Abdurrahman melimpahkan urusan teknis pemerintahan sehari-hari kepada Mega tak lebih dari upaya menangkis gelombang tekanan anggota majelis. Apalagi, kini upaya membangun "pagar" untuk Presiden melalui sebuah ketetapan MPR khusus akhirnya rontok di tengah jalan. Majelis pada akhirnya cuma menugasi Presiden untuk menuangkannya dalam sebuah keputusan presiden (keppres) dengan mengacu pada UUD 1945 dan Tap MPR No. III/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau Antar-Lembaga-Lembaga Tinggi Negara.
Draf itulah yang sejak pekan kemarin serius dirancang Menteri Hukum dan Perundang-undangan Yusril Ihza Mahendra, Menteri Negara Urusan Otonomi Daerah Ryaas Rasyid, dan Sekretaris Kabinet Marsillam Simanjuntak.
Ada garis besar yang telah disepakati. Presiden Abdurrahman tetap akan memegang fungsi kepala negara dan kepala pemerintahan. Selain itu, ia cuma akan menangani hubungan internasional dan pertahanan. Selebihnya, dilimpahkan ke Mega.
Namun, kekhawatiran Meilono tak berlebihan. Meski sudah final disusun, keppres itu masih terganjal sejumlah persoalan. Menurut seorang petinggi negara, draf itu masih alot dengan tarik ulur Abdurrahman Wahid dan Mega di tiga soal strategis: kewenangan mengangkat/memberhentikan menteri, menunjuk dan menerima duta besar, serta ratifikasi perjanjian internasional. Mega mendesak agar kewenangan itu termasuk yang dilimpahkan kepadanya. Tapi Presiden Abdurrahman bersikukuh mempertahankannya. "Jika menyerahkannya, Gus Dur sama saja menyerahkan kekuasaannya," kata sang petinggi.
Selain itu, kata seorang pejabat lain, Mega mendesak agar porsi kewenangannya dijabarkan dulu secara detail. Misalnya, apakah Presiden Abdurrahman masih akan memegang kata akhir dalam sidang kabinet yang dipimpin Mega. Juga masih alot dibicarakan siapa yang berhak meneken pengangkatan pejabat eselon satu dan direktur utama BUMN, yang selama ini menjadi kewenangan presiden.
Tarik ulur itulah yang tampaknya membuat pengumuman susunan kabinet baru tertunda.
Menurut Yusril, pengaturan rincian tugas Mega diadopsi dari ketentuan tentang wewenang wakil presiden dalam kondisi presiden berhalangan sementara. Jadi, itu meliputi urusan memimpin sidang kabinet, mengarahkan pelaksanaan kebijakan para menteri, berkoordinasi dengan lembaga tinggi dan tertinggi negara, menerima tamu negara, melantik dan menerima duta besar, termasuk membuka acara kenegaraan. "Hanya hal teknis yang diserahkan ke wapres. Segala kebijakan umum pemerintahan tetap di tangan presiden," kata Yusril kepada TEMPO.
Keppres tadi, menurut Yusril, mengacu pada Pasal 8 Ayat 2 Tap MPR No. III/1978, yang menyatakan bahwa hubungan kerja antara presiden dan wapres diatur dan ditentukan oleh presiden, dibantu oleh wapres. "Jadi, yang menetapkan adalah presiden. Tapi, dalam mengatur hubungan kerja di antara keduanya, presiden mengonsultasikannya dengan wapres," katanya lagi.
Hal senada dijelaskan Ryaas. Meski akan ada pendelegasian wewenang yang lebih signifikan daripada sebelumnya, bukan berarti wapres lantas bisa jalan sendiri. "Bagaimanapun kekuasaan tetap berada di tangan Gus Dur karena segala keputusan harus keluar dari Presiden," kata Ryaas.
Pembagian tugas seperti ini bukan hal baru. Yusril mencontohkan Keppres No. 8/2000, yang menyatakan apabila presiden berada di luar negeri, wapreslah yang diamanatkan melaksanakan tugas sehari-hari.
Pada 1948, Presiden Sukarno juga pernah berbagi tugas dengan wakilnya, Mohammad Hatta, yang dipasrahi urusan pemerintahan sehari-hari. Sesudah kabinet Amir Sjarifuddin ambruk, Bung Karno juga pernah menunjuk Hatta untuk membentuk kabinet baru.
Jadi, mestinya tak ada yang perlu merasa menang atau merasa kalah. Nasib perut orang banyaklah yang seharusnya jadi ukuran.
Karaniya Dharmasaputra, Purwani D. Prabandari, A. Karina Anom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini