Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INDONESIA jelas belum pulih dari krisis ekonomi, tapi bukan berarti peluang mengeruk rezeki tertutup rapat. Celah yang paling besar sekarang terdapat di saku pemerintah. Sebab, seperti dituturkan Kwik Kian Gie, ''Sekitar 70 persen aset produktif nasional kini dikuasai negara." Perkiraan yang tentunya tak asal bunyi karena bekas Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri ini tahu betul nilai berbagai perusahaan yang kini dikuasai Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) ataupun yang disita oleh berbagai institusi milik pemerintah lainnya karena para pemilik asli tak sanggup membayar utang.
Itu sebabnya wajar saja kalau partai politik berkepentingan mencalonkan kandidat mereka untuk duduk di kabinet, terutama yang berhubungan langsung dengan pengelolaan aset negara. ''Semua partai politik memerlukan dana besar untuk menghadapi pemilihan umum 2004 nanti," kata seorang menteri yang tak mau disebut namanya. Partai yang mempunyai pengaruh dalam menentukan kebijakan pemerintah dalam membelanjakan anggarannya tentu berpeluang mengais rezeki. Walhasil, kalaupun tak sanggup menaruh kadernya di kabinet, para pengelola partai berkepentingan jagoan lawan politiknya juga bernasib sama.
Dalam kondisi seperti inilah peluang para teknokrat yang dianggap tak berafiliasi dengan kelompok politik jadi terbuka lebar. Tak kurang dari Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan bahwa susunan para pembantunya di kabinet mendatang akan terdiri dari 60 persen profesional dan 40 persen anggota partai.
Derasnya kritik terhadap Kabinet Persatuan yang baru berusia 10 bulan agaknya membuat Presiden Abdurrahman tertuntut untuk menyusun tim ekonomi yang lebih andal, yang mampu meniti buih gelombang pasar serta politik. Tim ekonomi itu, menurut Faisal Basri, seyogianya terdiri atas orang yang cakap, memiliki kesamaan pandangan, dan bisa bekerja sama. ''Boleh saja diambil dari partai politik," ujar ekonom dari Partai Amanat Nasional ini, ''tapi mereka harus bisa menjaga obyektivitas dan tetap profesional dalam membuat keputusan."
Adrian Panggabean, analis dari Nomura Singapura, bahkan mematok persyaratan bahwa menteri ekonomi harus memiliki pengalaman di pasar. Sebab, menurut dia, selain harus mampu mendesain kebijakan yang berhubungan dengan rakyat, mereka juga harus mampu mengambil keputusan tentang proses pemulihan ekonomi. Alhasil, ''Menteri ekonomi," ujarnya, ''tak cukup hanya memiliki latar belakang akademis."
Maka, pemilihan anggota tim ekonomi, suka atau tidak, harus mempertimbangkan tingkat penerimaan pasar. Sederhananya, kata Faisal Basri, jangan memilih orang dengan latar belakang yang sama sekali tak dikenal pasar, sehingga mengundang pertanyaan: Siapa dia? Atau memilih orang yang dikenal memiliki pandangan kontroversial, sehingga mengundang pertanyaan: Kok, dia?
Tak pelak, permintaan-permintaan itu tampaknya didasari kenyataan bahwa tim ekonomi lama di bawah Menko Ekuin Kwik Kian Gie membutuhkan waktu terlalu banyak untuk memadukan bermacam perbedaan yang kelewat lebar di antara para anggotanya. Sehingga, mereka kerap kehabisan waktu untuk menangani sejumlah persoalan ekonomi yang ada di depan mata.
Mereka juga dianggap lamban melaksanakan strategi besar pemulihan ekonomi yang menurut para ekonom dan pelaku pasar sesungguhnya telah tercantum dalam letter of intent dengan IMF, juga dalam GBHN dan Program Pembangunan Nasional (Propenas). Antara lain, membawa tingkat utang ke tingkat yang lebih sustainable, menghidupkan kembali sektor riil, dan mendorong ekspor untuk mendapatkan penghasilan.
Untuk melaksanakan strategi tersebut, menurut Direktur Riset SocGen Indonesia, Lin Che Wei, tim ekonomi baru dapat memulai dengan mendorong stabilisasi dan pengembalian kepercayaan publik. Selanjutnya, membuat kebijakan ekonomi yang terencana dengan koordinasi yang baik. Selain itu, melindungi anggaran dengan cara mendorong BPPN agar memenuhi target pemasukan. Juga merevitalisasi sektor perbankan, sektor riil, dan retribusi pembangunan, serta melakukan pengurangan utang dengan menjual aset dan meningkatkan arus investasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Nah, dari sejumlah nama kandidat tim ekonomi yang beredar, pasar diduga menjagokan Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, bekas dekan FE-UI yang kini menjadi duta besar di Amerika Serikat. Selain Djatun, nama lain yang juga mencuat untuk posisi Menko Ekuin adalah Kepala Bulog Rizal Ramli. ''Dorodjatun dan Rizal bisa diterima pasar," ujar praktisi pasar uang Farial Anwar. Senada dengan Farial, Kepala Riset Trimegah Securities, David Chang, berpendapat keduanya akan mendapat tanggapan positif dari pasar.
Namun, Djatun dianggap melebihi Rizal dalam hal pengetahuan ekonomi makro dan kemampuan melobi lembaga-lembaga keuangan dunia. Kepiawaian berdiplomasi, misalnya, pernah ditunjukkannya sewaktu menjelaskan kerusuhan di Aceh dan Maluku kepada Amerika. Juga pendekatannya kepada IMF agar review terhadap pelaksanaan letter of intent tidak terlalu ketat. Bila Menko Ekuin dituntut mengerti politik, Djatun juga unggul. ''Dia itu seorang political economist," ujar ekonom Moh. Ikhsan.
Djatun juga dianggap bisa bekerja sama dengan siapa saja. Ibarat Michael Jordan, kapten tim basket Amerika ''The Dream Team", Djatun memiliki kemampuan sangat baik dalam koordinasi. Dipasangkan dengan Sri Mulyani di pos Menteri Keuangan bisa. Diduetkan dengan Rizal pun oke. Sebaliknya, Rizal, kabarnya, cocok dengan Ani, panggilan akrab Sri Mulyani.
Selain itu, reputasi Djatun sejauh ini dianggap bersih. Kebalikannya, Rizal kerap terserempet kabar burung yang kurang sedap. Misalnya soal kedekatannya dengan Marimutu Sinivasan, bos kelompok Texmaco yang pernah dijerat Kejaksaan Agung dengan tuduhan menyalahgunakan kredit yang diterimanya tapi kemudian dinyatakan bebas. Sebagai ketua tim monitoring pemulihan ekonomi, Rizal dikabarkan beberapa kali membuat ringkasan rapat yang jauh berbeda dengan isi notulensi. Namun, Rizal membantah semua kabar miring tersebut. ''Itu cuma fitnah," ujarnya dengan nada tinggi. Ketika berkiprah sebagai pengamat ekonomi di Econit, ia mengaku memang kenal dengan Sinivasan dan banyak pengusaha lain, ''kecuali Salim, Prajogo Pangestu, dan Bob Hasan," ujarnya. Tapi hubungannya itu semata karena kerap diundang sebagai pembicara. ''Sinivasan tak pernah menjadi klien Econit," kata Rizal Ramli. Doktor ekonomi lulusan Universitas Boston ini menduga, semua isu tersebut ditiupkan orang yang ingin menjatuhkan reputasinya.
Keramahan pasar pada Djatun dan Rizal tak dinikmati kandidat tim ekonomi yang lain. Prijadi Praptosuhardjo, yang kabarnya dielus-elus Gus Dur untuk menjadi Menteri Keuangan, misalnya, dianggap sebagai orang tak dikenal yang tiba-tiba muncul hanya karena dekat dengan Presiden. ''Prijadi itu konco Gus Dur yang tidak lolos fit and proper test untuk menjadi Dirut BRI," kata praktisi pasar uang Farial Anwar.
Demikian pula Dono Iskandar, Deputi Gubernur BI yang kabarnya juga disiapkan menjadi Menteri Keuangan, ditanggapi dingin. ''Dia itu prestasinya biasa-biasa saja sejak menjabat Sekjen Depkeu hingga pindah ke BI," ujar sumber TEMPO di pemerintahan. Cacuk Sudarijanto, yang namanya sempat berkibar sebagai kandidat menteri pemulihan ekonomi nasional yang membawahkan BUMN dan BPPN, dianggap sebagai figur yang berani melakukan terobosan. Tapi ia juga dianggap sembrono. ''Cacuk tidak acceptable, tapi cukup capable," ujar David Chang.
Menteri Perindustrian dan Perdagangan Luhut Panjaitan, yang sebetulnya cukup berhasil menggenjot ekspor selama menjabat, ternyata kurang mendapat sambutan. ''Dia diplomat kelas satu, tapi pengetahuan ekonominya sangat terbatas," ujar Lin Che Wei tentang bekas Duta Besar RI di Singapura itu. Bahkan Adrian Panggabean berpendapat, Luhut kurang memiliki integritas. ''Ia terlalu pro kepada investor," ujarnya. Terhadap berbagai kritik itu, sang letnan jenderal yang berasal dari korps baret merah ini tenang-tenang saja. Kabarnya, ia sudah mendapat garansi akan dipilih kembali menjadi Menperindag.
Kekecualian dari mereka adalah Faisal Basri, yang integritasnya dipercaya banyak orang. Ekonom yang juga Ketua Partai Amanat Nasional (PAN) itu kabarnya bakal dirangkul Gus Dur untuk menempati posisi Sekretaris Pengendalian Pemerintahan (Sekdalprim) atau Menteri Investasi dan Pendayagunaan BUMN. Tapi Faisal mengaku belum diminta atau ditawari untuk menduduki pos tersebut. Bahkan, ia mengaku kalau ditawari jabatan Sekdalprim justru akan minta agar pos itu dilikuidasi saja. Alasannya, ''Itu fungsi perdana menteri," ujarnya, ''tapi kewenangannya bukan perdana menteri."
Namun, bila diminta memegang pos investasi dan pendayagunaan BUMN, Faisal mengaku akan menerima. Hanya, ia mengusulkan agar BPPN juga dimasukkan ke sana. Hebatnya, ia mengaku hanya akan menempati pos itu selama dua tahun. ''Tugas saya memang melikuidasi departemen itu," ujarnya kalem. Dalam konsepnya, BUMN dan BPPN akan diprivatkan secara profesional.
Memang sudah menjadi pendapat umum bahwa BUMN dikelola oleh birokrat dan politisi yang tidak pernah memaksimalkan keuntungan. ''Mereka cuma berebut menempatkan orang untuk menjadi komisaris dan direksi di sana," ujar H.S. Dillon, mantan staf ahli Menteri Pertanian yang kini dikabarkan menjadi kandidat Menteri Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan. Adapun Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) akan diubah menjadi dewan promosi investasi yang menjadi ujung tombak promosi investasi. ''Sekaligus fasilitator dan mediator daerah untuk promosi ke luar negeri," ujar Faisal.
Akankah Djatun, Rizal, dan Faisal Basri menjadi anggota tim ekonomi susunan Abdurrahman? Gus Dur belum mau menjawabnya. Ketika Fikri Jufri dari TEMPO menanyakan hal ini, Sabtu pekan lalu, kiai yang suka humor ini cuma berkomentar, "Baru struktur yang dibahas, nama belum dibicarakan."
Agaknya, hanya setelah daftar nama itu resmi diumumkan akan dapat dinilai: apakah Gus Dur lebih mementingkan pemulihan ekonomi atau kemenangan partai pendukungnya di pemilu mendatang.
Nugroho Dewanto, Gita W. Laksmini, Purwani Diyah Prabandari, Levi Silalahi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo