IBARAT tubuh, pemerintahan Abdurrahman Wahid bisa dibilang terlalu berlemak. Tambun dan lamban. Itu penilaian dari sebagian anggota MPR yang baru merampungkan sidang tahunan, Jumat pekan lalu. Penilaian ini tak meleset.
Terlalu banyak dewan di sekitar kabinet. Selain memiliki Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri, dengan jajarannya di Departemen Keuangan, Perindustrian dan Perdagangan, dalam waktu sepuluh bulan ini Presiden membentuk pula sederet badan ekstrakabinet.
Ada Dewan Ekonomi Nasional (DEN) yang dipimpin Emil Salim, ada Dewan Pengembangan Usaha Nasional (DPUN) yang dikomandani Sofjan Wanandi. Lalu dibentuk Tim Asistensi Ekonomi dengan masinisnya Widjojo Nitisastro. Ada lagi Tim Monitoring Ekonomi, yang beranggotakan ekonom Rizal Ramli dan mantan orang dekat B.J. Habibie, Dipo Alam.
Akibatnya? Kekacauan koordinasi dan tumpang tindih tugas. Tim monitoring, yang seharusnya bertugas memantau kebijakan, akhirnya malah turut mengawasi kerja Menko Ekuin.
Lucu rasanya ada staf ahli Menko Ekuin, Dipo Alam, yang mengawasi kerja atasannya, Kwik Kian Gie. Padahal, Dipo mestinya membantu Kwik untuk melaksanakan butir-butir letter of intent yang telah disepakati pemerintah Indonesia dengan IMF. Gosip pun berkembang, Dipo sengaja dipasang untuk mempreteli kekuasaan Kwik.
Kesan bahwa Kwik ''dimasukkan dalam sangkar emas" bertambah dengan munculnya DEN dan DPUN. Centang-perenang hubungan antarlembaga ini diperburuk oleh kabar burung perseteruan antara Kwik dan Sofjan. Kwik dikenal sebagai analis ekonomi yang merupakan ''musuh" konglomerat, sedangkan Sofjan adalah juru bicara kelompok konglomerat Prasetiya Mulya—dengan Sudono Salim sebagai ''maskot"-nya.
Ekonom Nomura Securities, Adrian Panggabean, mencatat lemahnya koordinasi di antara anggota dewan penasihat ekonomi ketika memberikan pendapat kepada publik. ''Penasihat mestinya tidak bisa bicara (sembarangan), kecuali kepada Presiden," sambungnya.
Berbicara tentang nasihat, sebenarnya Presiden tak perlu repot-repot. Kwik menyarankan agar Abdurrahman memberdayakan saja DPA, yang tugas utamanya memang memberikan nasihat kepada kepala negara. Begitu pula untuk tugas DPUN, yang di mata petinggi PDI Perjuangan ini lebih cocok diemban oleh Kadin.
Sofjan Wanandi, yang mengaku ''capek diserang kanan-kiri selama berada di DPUN, kali ini setuju dengan Kwik. Bos kelompok usaha Gemala ini malah mendukung upaya perampingan struktur pemerintahan Abdurrahman Wahid. ''Kami dulu dibentuk untuk memberikan second opinion karena waktu itu masih banyak pejabat yang baru belajar menjadi menteri," Sofyan menambahkan. Ketika proses belajar usai, seharusnya kabinet memang lebih langsing.
Jadi, tunggu apa lagi, Gus?
Widjajanto, Iwan Setiawan, Leanika Tanjung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini