Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Para wanita yang buta histeris

Diperkirakan 150 wanita pengungsi kamboja di as buta. padahal, dokter tak menemukan kelainan medis pada alat penglihatan itu. para ahli menyebutnya sebagai buta piskosomatis.

20 Juli 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejumlah wanita, pengungsi Kamboja di Amerika, buta. Padahal, secara medis, tidak ada yang salah. The New York Times Magazine, 23 Juni 1991, mengungkap barangkali itu upaya psikis un- tuk menghapus kebiadaban Khmer Merah yang tak tertahankan untuk dilihat. KELAPARAN ... 20 jam kerja paksa ... pembunuhan ... Pol Pot ... kelaparan ... kerja paksa .... Keluhan para wanita Kamboja itu menggema di klinik mata Institut Doheny, Los Angeles. Kalimat-kalimat yang merupakan letupan dari kegetiran masa lalu itu menggedor para dokter untuk mencoba mendiagnosa keseragaman penyakit mereka: buta. Penyakit yang dibawa pengungsi Kamboja di AS itu tergolong langka. Mereka mengaku tak bisa melihat apa-apa. Namun, ini yang aneh, dokter tak menemukan kelainan medis pada alat penglihatan itu. Para ahli lalu menyebutnya sebagai buta psikosomatis atau histeris. Dan yang membuat kasus ini istimewa, karena penderitanya semua wanita pengungsi Kamboja, dengan jumlah diperkirakan 150 orang. Chhean Im, salah satunya, mengisahkan awal kebutaannya. Umurnya 47 tahun ketika rezim komunis Khmer Merah di bawah Pol Pot berkuasa di negerinya, 17 April 1975. Matanya masih terang-benderang waktu pasukan Khmer Merah itu memobilisasi rakyat un- tuk pulang ke desa kelahirannya masing-masing. Chhean Im kembali ke kampungnya di pinggir Provinsi Battambang Desanya, kemudian, menjadi sebuah penjara petani. Ia ingat pemuda-pemuda Angka -- armada polisi Khmer Merah -- datang menculik orang-orang kampung untuk dibantai. Termasuk seorang abang dan kakaknya. Nyawa memang tak lebih berharga dari sandal jepit untuk cita-cita Pol Pot mengkomuniskan Kamboja. Selama empat tahun berkuasa, korban pembunuhan Khmer Merah diperkirakan mencapai satu setengah juta orang. Pedihnya, buat Chhean Im, di antara korban-korban itu terdapat saudara-saudara dan juga ayahnya. Pun ia menyaksikan, dengan mata kepalanya sendiri, bagaimana orang-orang yang disayanginya itu dihabisi anak buah Pol Pot. Tiga anaknya menyusul kakeknya ke alam baka. Mereka mati perlahan-lahan karena kelaparan. Dari desanya, Chhean Im digiring lagi ke kaki gunung, di barat laut Kamboja, dan harus mau menjalani kerja paksa di tanah pertanian yang menjadi kamp penjara Khmer Merah. Empat tahun Chhean Im melewati hidup sebagai budak di kamp itu. Upacara rutin anak buah Pol Pot di sana, seperti yang dikenang Chhean Im, adalah menanggalkan nyawa rakyat, untuk kesalahan-kesalahan yang sepele. Karena mencuri sayur atau beras, umpamanya. Para tahanan, seperti Chhean Im, dipaksa menyaksikan upacara itu. Mereka dibawa ke sebuah aula pertemuan besar dan disuruh duduk dalam lingkaran. Lalu, serdadu Pol Pot akan membawa terdakwa pencuri ke tengahnya. Semua harus melihat bagaimana orang itu dipentung, digebuk. Pendeknya, disiksa sampai ludas. Setelah korban penyok, empat orang Angka akan menggotong tubuh itu. Dua memegang bagian lengan dan dua lagi bagian kaki, lalu bruuk, korban dijeburkan ke api besar. "Setelah itu, kami kembali bekerja," kata Chhean Im getir. Soal membakar orang tadi, untuk serdadu Pol Pot, hanya pelajaran kecil agar yang lain jangan coba-coba berpanjang tangan. Tapi, untuk Chhean Im dan banyak wanita lainnya, kebiadaban-kebiadaban itu bagai racun yang terus menusuki nurani. Pem- bunuhan keji silih berganti. Chhean Im ingat peristiwa terakhir yang masih bisa dilihatnya dengan jelas. Pasukan Angka membawa sepasang wanita dan pria ke aula pertemuan. Dan, seperti pada korban-korban terdahulu, polisi-polisi Angka menyemburkan pukulan. Entah berapa puluh kali. Chhean Im tak tahan lagi. Tangisnya meletus. Ia melolong panjang. Tangisnya tak berkesudahan. "Saya merasa seperti ada sebuah jarum besar yang menyodok kepala saya," kata Chhean Im. "Beberapa hari kemudian, ketika akhirnya saya berhenti menangis, saya tak dapat melihat apa-apa lagi," katanya. Kini, Chhean Im tinggal bersama pelarian sebangsanya di Long Beach, Los Angeles, California. Diperkirakan ada 170 ribu pengungsi Kamboja yang kini menetap di Amerika Serikat. Setengahnya memasuki Los Angeles dan membentuk kantong-kantong permukiman di kawasan Long Beach itu. Lingkungan itu kemudian terkenal dengan julukan Phnom Penh Kecil. Kebanyakan masuk ke Phnom Penh Kecil pada awal 1980-an. Sekitar tahun 1984, dokter mata setempat mulai memperhatikan ada gejala gangguan penglihatan pada pengungsi wanita dari Phnom Penh Kecil itu. Mereka mencoba mencari kalau-kalau ada laki-laki yang mendapat takdir serupa. Ternyata, tidak ada. Mungkin lantaran Kamboja sudah kehilangan banyak laki-laki karena 80% korban yang mati pada kiamat Kamboja itu adalah lelaki berumur antara 20 dan 50 tahun. Chhean Im hanya salah seorang dari kurang lebih 150 wanita yang kehilangan seluruh atau sebagian besar penglihatannya. Selain Chhean Im, ada Pin Mea, kini 63 tahun. Pin Mea, yang kini hidup bertetangga dengan Chhean Im di kawasan pertambangan minyak Long Beach, juga menyimpan kenangan pahit di kamp penjara Khmer Merah. Tiga perempat waktunya dalam satu minggu, atau 125 jam, untuk kerja paksa. Buat cucur keringatnya itu, ia hanya mendapat satu mangkuk nasi setiap hari. Suami dan anaknya lebih dahulu mati kelaparan. Nasib Pin Mea sama dengan Chhean Im: kedua matanya kehilangan fungsi. Dan yang lebih parah, gelora jiwanya pun padam. Ia tak bergairah melakukan apa pun sepanjang hari. Tak mau menjawab jika ditanyai. Adapun Chhean Im, kini 63 tahun, masih bisa melakukan kontak sosial kendati belum bangun penuh dari mimpi buruknya. Tiap kali ada bunyi sepeda atau ketukan tukang pos di pintu rumahnya, Chhean Im menggigil. Tubuhnya langsung disurukkan ke balik bantal, ia menduga sedang ada pembantaian di luar. Penghuni Phnom Penh Kecil yang lain, Lor Poy, 56 tahun, juga buta. Lor Poy muda kawin dengan tentara yang setia kepada pemerintahan Lon Nol. Lima anaknya dirampas tentara Khmer Merah, pada hari ia dipaksa pergi ke tempat penampungan di Palin. Setelah itu, ia tak pernah tahu nasib anak-anaknya. Yang jelas, hanya nasib suaminya, yang digiring anak buah Khmer Merah, untuk menjalani hukuman mati sebagai pembangkang. Tahun-tahun berikutnya, ibu yang telah kehilangan bocah-bocahnya itu mendapat tugas yang makin mengiris. Menggali lubang kuburan untuk anak-anak. Seperti Chhean Im, Poy kini tak mampu melihat. Korban lain, Eang Long, nasibnya serupa. Eang Long tadinya hidup sejahtera di tanah pertanian keluarganya dekat Desa Kandal. Tapi, ketika Khmer Merah berkuasa, Eang Long mulai kehilangan satu per satu keluarganya. Yang pertama abangnya, seorang dokter. Suatu ketika, Eang Long bersama abangnya yang lain, kakak ipar, dan tiga anaknya dikepung bajingan Khmer Merah. Pembantai itu kemudian memaksa Eang Long bersaudara melihat dua keponakan mereka dihajar dengan pentungan sampai ajal. Berikutnya, abang dan istrinya dibunuh. Yang masih bernyawa tinggal Eang Long dan satu bayi, keponakannya yang terkecil. Dengan biadab, salah seorang Angka mengangkat kaki bayi itu. Lalu tubuh yang masih lembut itu dipukuli dengan batang pohon asam ... sampai tangisnya berhenti selamanya. Sejak itu, Eang Long tak mampu melihat. Tak jelas mengapa Eang Long dibiarkan hidup. Ia kini tinggal di Phnom Penh Kecil, California. Tapi baik Eang Long, Chhean Im, maupun Lor Poy kabur dengan cara yang sama, ketika tentara Vietnam berusaha membebaskan desa-desa dari tangan Khmer Merah, 1979. Ketika Vietnam masuk ke Kampung Lor Poy di Palin, umpamanya, Khmer Merah membabi buta. Mereka mulai menyembelih siapa pun di depan mata. Dalam saat yang tegang itu, Lor Poy berhasil menyelinap ke hutan dan bertahan di sana sampai enam bulan, sebelum mendapat jalan ke negeri yang berbatasan dengan Kamboja, Muangthai. Chhean Im juga berhasil lolos dari penjaranya ketika perhatian Khmer Merah tertuju pada serangan tentara Vietnam. Waktu tembak-menembak berlangsung, para tawanan yang masih kuat menegakkan badan, mengambil langkah seribu. Rombongan Chhean Im berjuang mencari kebebasan melalui medan berat. Termasuk tidur di tengah hujan pada malam hari, selama dua minggu. Sampai akhirnya mereka tiba di kamp pengungsi Muangthai. Chhean Im termasuk beruntung bisa bertahan di sana sampai tiga tahun kendati harus kelaparan dan diganggu copet, karena pemerintah Muangthai kerap mengembalikan para pelarian ke negeri asalnya. Akhirnya, pada 1982, Chhean Im meninggalkan Muangthai untuk bergabung dengan kerabatnya yang terlebih dahulu menetap di California Selatan. Keluarga Chhean Im, tinggal keponakannya semata wayang yang masih hidup. Tahun pertama, di permukiman baru itu, Chhean Im menjumpai sejumlah wanita yang mengatakan bahwa mereka kehilangan penglihatan. Tapi Chhean Im baru memutuskan bersedia menemui dokter Amerika setahun kemudian. Yang diadukan ke dokter setempat bukan matanya, melainkan kesulitan mendengar. Untuk mencari sumber penyakit, dokter menyarankan untuk pemeriksaan menyeluruh, termasuk matanya. Dokter mata Long Beach itu heran ketika Chhean Im mengatakan bahwa ia hampir tak bisa melihat apa-apa. Padahal, ahli mata itu tak menemukan gangguan medis pada mata Chhean Im. Artinya, matanya berfungsi. Tapi mengapa Chhean Im tak bisa melihat apa pun? Dokter Long Beach itu mengirim Chhean Im ke Doheny Eye Institute Los Angeles. Klinik itu terkenal sebagai pusat perkumpulan ahli mata, yang menangani kasus-kasus khusus dari semua penjuru dunia. "Sejak sekitar tahun 1984, saya mulai diserbu pasien-pasien Kamboja," kata Gretchen van Boemel, direktur klinik elektrofisiologis Doheny. Van Boemel punya pengalaman menangani beberapa kasus kebutaan psikosomatis pada waktu lampau, tapi tidak ada yang seperti derita orang-orang dari Phnom Penh Kecil ini. "Karena tak menemukan gangguan medis pada matanya, saya mulai menanyakan masa lalunya. Dan semuanya nenjawab hampir serupa, tentang kelaparan, kerja paksa, pembunuhan, dan Pol Pot. Bersama Patricia Rozee, psikolog pada Universitas Negeri California di Long Beach, ia mulai melakukan riset atas kebutaan psikosomatis. Ternyata, tak banyak literatur yang membicarakan hal tersebut. Tentu saja, pada suatu tahap tertentu, setiap orang pernah mengalami reaksi psikosomatis. Mulai dari insomnia, muka merah, kebingungan dalam menghadapi wawancara un- tuk pekerjaan, sampai ke tangan berkeringat banyak dalam kencan pertama. Tapi, yang terjadi atas wanita-wanita di Phnom Penh Kecil itu berasal dari bagian tidak dikenal otak manusia yang letaknya tak dalam. Bagian itulah yang menentukan bagaimana tubuh bereaksi terhadap hal-hal yang diterima pikiran. Tak ada jawaban pasti atas pertanyaan mengapa kebutaan itu mendera wanita-wanita Kamboja tersebut. Yang ditemukan hanyalah serentetan petunjuk samar. Setumpuk pertanyaan yang semuanya masuk akal dan mengundang. Tapi, semuanya itu tidak ada yang cukup kuat untuk mengungkapkan teka-teki. Pertanyaan pertama berhubungan dengan apa yang disebut para psikolog sebagai "disosiasi". Yaitu suatu perubahan kesadaran yang berpengaruh terhadap setiap orang dari waktu ke waktu. "Umpamakan saja Anda berkendaraan di jalan bebas halangan bagaikan mimpi di tengah hari bolong," kata Eve B. Carlton. Periset dari Beloit College ini khusus menekuni tekanan emosional orang-orang Kamboja di Greensborro, N.C., itu. "Tiba-tiba saja Anda keluar dari impian itu dan bertanya pada diri Anda sendiri, apakah benar-benar saya sudah keluar?" "Mata Anda terbuka, tapi Anda tidak benar-benar mengalaminya. Itu bukan kesadaran yang benar-benar. Disosiasi adalah tak adanya integrasi dengan apa yang sedang terjadi. Dalam keadaan trauma yang ekstrem, Anda akan merasa tidak terlibat dengan segala hal yang ada di sekeliling Anda. Anda melepaskan diri dari dunia. Realitas mengalami distorsi. Anda seakan-akan menyaksikan diri Anda sendiri di suatu film." Para periset sekarang yakin, beberapa orang yang terperangkap dalam perubahan kesadaran itu menjadi mangsa empuk penyakit psikosomatis. Untuk mengeluarkan seseorang dari trauma seperti itu perlu ada pengorbanan fisik. Pada 1910, Freud menyebut pengorbanan itu sebagai "kekacauan konversi". Ia berspekulasi, beberapa konflik yang tak ada pemecahannya ditransfer ke bagian tubuh yang "terluka". Begitu konflik selesai, kata Freud, bagian tubuh itu akan berfungsi kembali. Pada hemat Freud, konflik-konflik itu selalu mengacu ke seks, tapi dewasa ini para psikolog dan psikiater mulai menerima gejala lain di samping seksual. "Contoh paling klasik dari konversi adalah orang yang sangat ingin meninju bosnya sehingga tangannya lumpuh," kata Frank W. Putnam, seorang psikiater pada Lembaga Nasional Kesehatan Jiwa. " Konversi sangat dramatis dan sering keliru didiagnosakan," katanya lagi. Tak ada yang tahu dengan pasti mengapa satu bagian tubuh, dan bukan bagian lainnya, menjadi titik pusat suatu konflik. "Masuk akal. Anda bisa kehilangan penglihatan kalau berusaha melepaskan diri dari tekanan keadaan," kata Carlson dari Beloit. "Dalam gedung bioskop, Anda tidak akan menutup telinga ketika menyaksikan kekerasan yang menjijikkan pada layar. Anda akan menutup mata." Van Boemel dan Rozee tak berhasil mengetahui riwayat kehidupan para wanita itu. Orang-orang pedesaan Kamboja tak mempercayai pengobatan Barat dan segan datang ke dokter. Lagi pula, selain gejala-gejala disosiasi dan konversi, semua penderita di Long Beach juga menderita kelainan yang diakibatkan stres pascatraumatis. Itu mengakibatkan penderitanya mengalami mimpi sangat buruk, flashback". Di samping itu, didera keinginan kuat untuk mengelak dari petunjuk-petunjuk sensor dan ucapan yang menggerakkan kekacauan ingatan. Bisa dimengerti mengapa para wanita dari Phnom Penh Kecil itu tak ingin mendiskusikan teror Pol Pot dengan rinci. Dari rangkaian wawancara, banyak hal yang bisa dipelajari. Usia korban antara 50 dan 70 tahun. Semuanya bekas penghuni kamp kerja paksa di Kamboja, antara satu dan lima tahun. Dan 3-9 bulan di kamp pengungsi dekat perbatasan Muangthai, yang keadaannya begitu mengenaskan. Hampir 90% dari mereka kehilangan anggota keluarga, sisanya mengaku melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana keluarga mereka dieksekusi. Setengah dari jumlah mereka itu sangat takut untuk meninggalkan rumah. "Tampaknya, ada hubungan antara berapa lama mereka berada dalam keadaan yang begitu menyedihkan dan tingkat kebutaan," kata Van Boemel. Chhean Im adalah contoh yang paling ringan. Ia masih bisa membedakan E besar yang ada dalam chart" mata, dalam jarak enam meter. Tapi, dalam ilmu kedokteran mata, artinya ia buta. "Kasus paling buruk: sekitar 15% dari mereka tak bisa melihat sama sekali atau tak bisa merasakan adanya cahaya." Ada juga tuduhan bahwa wanita-wanita itu pura-pura buta. Alasannya, tak lain, lantaran asuransi kesehatan mata untuk Negara Bagian California adalah yang paling tinggi di seluruh Amerika. Tapi, Van Boemel menolak tuduhan tersebut. "Pada dasarnya, mesin ini bisa mengatakan kalau wanita-wanita itu dapat melihat," katanya sambil menunjuk pada sebuah alat pengumpul data penglihatan yang dilengkapi dengan komputer. Mesin tersebut mengukur gelombang aktivitas otak melalui alat sensor yang dilekatkan pada kepala seorang pasien. Apabila otak menerima pesan, bayangannya terlihat pada monitor. "Mesin itu tak bisa dibohongi, dan bekerja dengan sempurna seperti yang telah dirancang, " kata Van Boemel. Jadi, kalau begitu, bagian mana dari mata para wanita itu yang tak bisa melihat? "Itulah yang masih belum bisa diterangkan," kata Van Boemel. Secara organis, segala sesuatunya ber- jalan dengan baik, dan bisa didemonstrasikan bahwa penglihatan mereka berjalan dengan normal. Rahasianya ada di dalam pikiran yang selalu mengatakan, "Saya bosan melihat kematian. Saya tak ingin melihatnya." Dan karena itulah, penglihatan menutup walaupun sebenarnya bekerja dengan normal. Van Boemel dan Rozee ingin membandingkan data pasiennya dengan anggota masyarakat Kamboja di tempat lain yang mengalami trauma yang sama. Tapi, mereka tak berhasil menemukan pemband- ing. Kalaupun ada, itu kasus-kasus yang istimewa saja. Harapan kini tertumpu pada para psikolog profesional, tapi tak satu pun dari wanita itu mau berkonsultasi dengan psikolog. Toh para psikolog itu mencoba juga. Yang mereka lakukan adalah menarik para wanita itu untuk berkonsultasi dalam jangka waktu pendek. Mereka menempuh terapi untuk belajar "keahlian-keahlian hidup". Misalnya, bagaimana menelepon atau naik bus kota. Terapi itu diharapkan dapat memperbaiki penglihatan mereka sedikit demi sedikit. Banyak dari para wanita itu yang curiga. "Ketika kami berusaha mengajak mereka melibatkan diri pada studi itu, mereka segera saja menarik diri," kata Van Boemel. "Ada lagi yang menyuruh temannya berjaga di pintu. Kami memerlukan tanda tangan mereka yang memperlihatkan bahwa mereka rela turut serta dalam penelitian. Tapi, begitu kami mengatakan agar ia menandatangani surat persetujuan, mereka pikir kami datang untuk membawa mereka, dan tak akan kembali." Rupanya, kata-kata yang sama, dahulu, telah digunakan oleh Khmer Merah. Mereka mengetuk pintu di tengah malam dengan bujukan, Pemerintah memerlukanmu." Robert R. Rynearson -- periset pada Sekolah Tinggi Kedokteran A&M University Texas -- yakin ada alasan lain mengapa para wanita itu enggan berobat. Kebanyakan mereka belum siap menghilangkan kebutaan mereka. "Gejala-gejala itu barangkali masih berguna bagi mereka," kata Rynearson. "Kita harus menghormatinya. Barangkali kurang bijak apabila kita terlalu segera menghapuskan mekanisme defensif yang mereka ciptakan sendiri sampai mereka siap untuk itu". Ada 15 wanita yang mau mencoba, termasuk Chhean Im. Setelah terapi selama beberapa pekan, kebanyakan mereka bisa melihat samar-samar. Itu suatu permulaan. Mereka masih harus menempuh perjalanan yang jauh. Pengobatan secara teratur. Begitu penelitian berakhir, Van Boemel dan Rozee mendorong mereka mencari pertolongan dari pelayanan sosial. Mereka juga mengajak orang-orang dari kalangan masyarakat Kamboja sendiri untuk menolong sesama mereka. Ternyata, usaha itu berhasil. Chhean Im, yang telah mengikuti session selama berbulan-bulan, berangsur-angsur pulih. Kini, ia bisa mengerjakan tugas- tugas rumah tangga dan memasak untuk makan malam. Ia merasa sudah punya cukup kepercayaan untuk naik bus kota guna berbelanja di pasar swalayan dekat tempat tinggalnya. "Hanya segenggam nasi bercampur air yang diberikan Khmer Merah kepada kami," katanya. "Saya beberapa kali mencuri sayuran dan menyembunyikannya di kantong sekalipun kami sadar bahwa kami akan mereka bunuh apabila kepergok." Orang-orang hukuman nasibnya lebih malang. Mereka tak bisa makan apa-apa kecuali ular, cacing, atau daging rekannya sendiri yang sudah mati. Ia memang tak bisa melupakan masa lalunya. Tapi ia sudah mulai melihat ke depan. Sekali-sekali ia membuka pintu depan rumah, lalu berjalan-jalan di sekeliling RT-nya. BSU, ADN

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus