KETIKA burung berkicau memanggil penduduk untuk panen, ia pun turun dari rumah panggungnya. Ketika matahari menyelinap dari balik dataran tinggi yang membentengi dusunnya, Magdalena boru Regar turun membawa daun saloan dan sirih. Merunduk di bawah lindungan rumah kayunya, wanita Desa Muara, Kabupaten Tapanuli Utara, itu melakukan apa yang selama 20 tahun ia kerjakan. Magdalena menenun ulos. Bagi Magdalena, martonun atau bertenun, bukan sekadar mencari sesuap nasi. Jauh dari keramaian kota (kapal feri singgah sepekan sekali dari Parapat),d i sini ulos adalah kehangatan pertama yang menyambut seorang bayi dan yang terakhir menghiasi jasadnya ke alam baka. Sibahen na las na so dung olo mohop, Sialo na ngali, sitenggang ombun manorop. Ulos, kata falsafah Batak, memberi panas yang sehat dan perasaan sukaria. Tiba Sabtu, Magdalena berdendang menuju pasar di tepi danau Toba. Dibawanya ulos Sibolang-nya yang hitam oleh tumbukan daun saloan dan biru berkat campuran sirih. Tiba Sabtu, Magdalena akan berdendang riang las roha.... Ulos dan jiwa Batak Menurut Filsafat Batak karya T.M. Sihombing, kata ulos berasal dari bunyi "uuu" yang digumam bocah saat kedinginan dan "las" yang berarti panas. Ibu yang kasihan, tulis Sihombing, akan menyelimuti anaknya dengan kain. Meskipun demikian, ulos bukan hanya lambang kasih sayang. Hubungan antara yang mangulosi (melindungi) dan diulosi (dilindungi) mencerminkan struktur sosial rakyat Batak. Maka, dalam pesta adat seperti pernikahan pengantin dapat menerima 100 helai ulos. Industri ulos pun maju, antara lain di Tarutung dan Siantar. Setelah dikirim ke Jakarta, harganya bisa jutaan rupiah. Namun, di desa seperti Muara, harga tenun tradisional masih Rp 10 ribu sehelai. Foto: Donny Metri. Teks: Donny Metri dan Yudhi Soerjoatmodjo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini