"DEPRESI? Saya tak melihat mereka depresi, mereka kelihatan bahagia," kata seorang petugas Jewish Agency tentang 400 imigran Yahudi asal Etiopia yang kini tinggal di tempat penampungan Kiryat Gat. Benar begitu? Sejumlah lelaki muda yang tengah kongko di pagar beton depan kantor lembaga itu hanya menjawab dengan tertawa. "Kami tak punya kerja. Kami cuma duduk-duduk di sini tanpa melakukan apa pun," kata salah seorang di antara mereka. Semuanya datang ke Kantor Tenaga Kerja, sekali atau dua kali seminggu. Tapi yang mereka dapatkan paling banter hanya pekerjaan tukang sapu. Mereka juga jarang bepergian ke wilayah Israel yang lain. "Bagaimana kami bisa pergi ke kota. Uang saja nggak punya. Maka, kami ya bengong di sini saja." Sekitar selusin penghuni Kiryat Gat bernasib serupa. Hanya sedikit lelaki yang punya pekerjaan. Itu pun kebanyakan orang tua. Yang lain cuma duduk-duduk, saling berkunjung, menggunjingkan nasib saudara-saudaranya yang masih tertinggal di Etiopia. Mereka menanti kunjungan anak-anaknya di Hari Sabbath, serta membiarkan saja waktu berlalu. Di sebuah ruang penampungan, seorang lelaki buta, berusia 74 tahun, tampak tergolek di tempat tidur. Di dipan sebelahnya, sang istri -- yang juga mengenakan piyama putih -- ikut lelap. Mertua wanita di dipan berikutnya, setali tiga uang. Padahal, waktu baru pukul 12.30. "Aku tak punya sesuatu untuk dikerjakan," kata orang itu begitu bangun, "aku selalu ingat anak-anakku yang masih di Etiopia." Padahal, anaknya yang sudah ada di Israel selalu menjenguknya. Jejaw, seorang pekerja pada Asosiasi Imigran Etiopia, bilang bahwa keadaan serupa terdapat di semua tempat penampungan yang lain. Seperti halnya di Ashkelon, Afula, Hadera, Netanya, dan Beersheba. Sekitar empat bulan lalu, para imigran Etiopia di Beersheba malah melakukan pemogokan. Mereka menuntut agar tempat penampungan itu dicat dan diperbaiki. Sekarang, tempat penampungan tampak begitu sesak. Para orang tua terpaksa tinggal di sana karena tak mungkin berkumpul dengan anak-anaknya di rumah yang terlalu sempit. Banyak usaha yang telah dilakukan untuk mempertemukan mereka. Namun, semuanya gagal. Selain itu, muncul sejumlah masalah yang menghadang mereka untuk dapat merasa sebagai orang Israel sepenuhnya. Mereka tak dapat berbahasa Ibrani. Belum lagi makanan setempat yang masih terasa asing di lidah. Pihak pemerintah mengaku sudah memberikan segalanya bagi para pendatang Etiopia. Namun, suara dari Kiryat Gat, misalnya, terdengar sumbang. Yosef Shmuel, 23 tahun, misalnya. Ia datang ke barak itu sewaktu temannya -- yang memiliki tempat tidur di sana -- tengah pergi. "Aku tak punya kediaman," ujarnya. Ia pernah tinggal di situ. Namun, kemudian, diusir setelah komandan militernya berkunjung ke sana dan mendapati ruangan Shmuel begitu kotor. Setelah itu, hidup Shmuel menggelinding dari satu tempat ke tempat lain. Dari satu tempat tidur ke tempat tidur lain. Ia mengaku dijanjikan apartemen sejak setahun lalu. Namun, kenyataannya janji itu belum juga terpenuhi. Ketidakmampuan berbahasa Ibrani sering dijadikan alasan untuk merendahkan para Yahudi asal Etiopia. Namun, ternyata seorang Etiopia yang menguasai bahasa Ibrani -- sekaligus berbagai macam bahasa lain -- tak dengan sendirinya mendapat tempat baik di Israel. Lelaki itu pernah kuliah di universitas di Addis Ababa. Setelah itu, menjadi kepala cabang firma bisnis hasil pertanian untuk wilayah Gondar. Sekarang? "Saya belajar." Belajar apa? Ia tersenyum. "Tak jelas. Aku tak melakukan apa pun." Biarpun demikian, nasib pendatang hitam ini tetap jauh lebih baik ketimbang orang-orang Palestina yang digilas dan ditindas di tanah air mereka sendiri. Zuc
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini