TAK ada penerbangan reguler Moskow-Tel Aviv. Namun, Januari lalu, pesawat maskapai Israel El Al meluncur dari Moskow -- membawa 125 orang Yahudi Uni Soviet yang hendak berimigrasi ke Israel. Bagi Israel, penerbangan itu diharap menjadi perintis bagi pesawat-pesawat berikutnya yang akan mengangkut para imigran itu. Sepintas kejadian itu hanya merupakan imigrasi biasa. Serupa dengan kaburnya para warga Hong Kong menjelang koloni Inggris tersebut diserahkan pada Beijing. Namun, banyak gejala yang mengisyaratkan, itu lebih dari sekadar imigrasi biasa. Israel begitu menggebu Amerika Serikat pun ikut campur bahkan mereka -- Israel dan AS -- membicarakannya secara khusus dengan Uni Soviet. Hal itu memaksa banyak pihak mencurigai Israel punya maksud tertentu yang bukan semata "solidaritas Yahudi". Setidaknya-tidaknya dalam pandangan Arab. Bisa jadi prasangka itu benar. Pernyataan Perdana Menteri Yitzhak Shamir -- yang sewaktu muda menjadi komandan front Yahudi militan -- menyulut kekhawatiran itu. Dalam sebuah kesempatan, Shamir mengemukakan gagasannya untuk membangun "Israel Besar" yang solid dan tangguh. Caranya, antara lain dengan menampung para imigran Yahudi Uni Soviet di Israel. Gagasan Shamir ini ternyata menimbulkan akibat yang sangat luas. Bukan cuma soal teknis pengangkutan imigran atau menyangkut masalah sosial mereka, setibanya di Israel, melainkan juga menyangkut masa depan perdamaian di belahan bumi tadi. Terutama bagi orang-orang Palestina yang hingga kini masih tertindas, dan diperam di wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza. Maka, protes pun berdatangan dari dunia Arab. Mereka yakin, Israel sengaja mendatangkan imigran itu untuk ditempatkan di "daerah pendudukan" -- Tepi Barat dan Jalur Gaza -- yang menjadi pusat permukiman orang-orang Arab. Dengan cara begitu, Israel akan mempersulit Palestina menuntut wilayah tersebut. Dan terwujudlah sebuah "Israel Besar" yang terus melindas bangsa Palestina. Shamir bukan tanpa argumen. Apa yang terjadi di Uni Soviet dipakainya alasan untuk mendorong eksodus kaum Yahudi di sana. Nasionalisme bangsa-bangsa di Uni Soviet sedikit banyak memang memojokkan kaum Yahudi. Di Moskow dan Leningrad, menurut The Jerusalem Post, sentimen "anti-Semit" ditiup oleh gerakan nasionalis Rusia, Pamyat. Kabarnya, mereka mengancam hendak pogroms para penduduk Yahudi di dua kota itu jika mereka tak kabur sebelum tanggal 5 Maret lalu -- peringatan 37 tahun kematian Stalin. Rumah-rumah orang Yahudi dan pusat bisnisnya di Dushanbe -- ibu kota Republik Tajikistan di Asia Tengah yang mayoritas berpenduduk muslim -- dilaporkan diserang. Diperkirakan ada 25.000 orang Yahudi di kota itu. Demi keselamatan, mereka pun menutup rapat-rapat pintu rumahnya kendati harus merasa deg-degan dengan persediaan makanan yang ada. Di Baku, ibu kota Azerbaijan, sejumlah orang Yahudi sudah mengungsi ke sinagog. Pihak Israel juga mengutip laporan harian Trud Moskow. Dikabarkan bahwa kerusuhan anti-Semit (anti-Yahudi) pun pecah di Kharkov, salah satu kota di Ukraina. Dua puluh orang Yahudi dipukuli. Dalam sebuah pertemuan umum di kota itu, wali kota dan kepala keamanan setempat mengimbau agar "kegiatan organisasi anti-Semit seperti Pamyat" dihentikan. Benarkah nasib orang-orang Yahudi di Uni Soviet sedemikian gawat sampai memerlukan campur tangan Israel? Soal ini masih panas diperdebatkan -- Menteri Yitzhak Peres dengan menggebu mencoba menggambarkan nasib mereka. Kata Peres, orang-orang Yahudi Soviet "tengah duduk pada kepundan gunung berapi." Karenanya, ia mengatakan pada Knesset -- parlemen Israel -- bahwa seharusnya Israel tak hanya berpikir untuk mengangkut mereka ke Israel saja. Tetapi juga harus melakukan segala sesuatu yang memungkinkan mereka kabur secepat mungkin. "Baik ke Amerika maupun Uganda." Soviet menilai sikap Israel itu berlebihan. Dalam sebuah wawancara dengan Radio Moskow, Wakil Menteri Luar Negeri Yuli Voronstov mengatakan bahwa isu "pogroms" itu sengaja disebar oleh mereka yang menginginkan agar kaum Yahudi segera terbang meninggalkan Uni Soviet. Pihak KGB pun menyatakan "tak ada ancaman nyata." Kenyataannya, selewat tanggal 5 Maret lalu, juga tak terjadi "pogrom" seperti yang diisukan. Mungkin isu itu sengaja disebar oleh Israel sendiri. Kenyataannya, Israel memang nampak begitu ngebet untuk menjalankan aliya -- penempatan imigran Yahudi di Israel. Shamir dengan garang menyatakan: "siapa yang memusuhi aliya tak akan dapat berdamai dengan Israel .... kita perlu masyarakat yang besar dan kuat di tanah yang besar dan kuat." Segala daya pun dikerahkan untuk mengangkut imigran itu secepat mungkin. Penerbangan menjadi salah satu masalah yang memberati pikiran mereka. Israel tak punya penerbangan langsung dengan Moskow. Selama ini, hubungan udara mereka harus melalui pihak ketiga. Misalnya lewat Hungaria. Januari lalu, 5.000 orang imigran tiba di bandar udara Ben Gurion, Tel Aviv, setelah singgah di Beograd. Israel nampak tak sabar menunggu kedatangan "saudaranya" lewat penerbangan reguler. Apalagi ketika Malev, perusahaan penerbangan Hungaria, menangguhkan semua penerbangannya Moskow-Tel Aviv lewat Beograd, pertengahan Maret lalu. Selama ini, sebagian besar Yahudi Uni Soviet meninggalkan Moskow dengan memakai pesawat Malev. Tapi ada juga yang menggunakan Aeroflot. Israel kelabakan. Duta besarnya di Hungaria -- Shlomo Marom -- segera ditugasi menemui Menteri Luar Negeri Gyula Horn minta penjelasan. Direktur El Al di Warsawa lalu mengontak perusahaan penerbangan Polandia LOT, agar meningkatkan jumlah penerbangannya ke Soviet. Hubungan Warsawa-Tel Aviv pun ditingkatkan dan dua menjadi empat kali seminggu. Selain itu, pejabat Israel dan Soviet berkunjung ke Yunani dan Siprus. Mereka mendiskusikan kemungkinan mengangkut Yahudi Soviet ke Israel lewat laut. Menurut Al-Hayat, harian berbahasa Arab yang terbit di London, keduanya menjajaki kemungkinan pelayaran lewat Laut Mati menggunakan pelabuhan Odessa dan Haifa. Tentang sikap Malev, pejabat tinggi Kedutaan Hungaria di Tel Aviv, Ganos Vvari, punya penjelasannya. Konon, pihak Malev mendapat ancaman dari Islamic Jihad for the Liberation of Palestine -- sebuah kelompok bawah tanah yang berpangkalan di Libanon. Mereka hendak meledakkan Malev jika tak menghentikan penerbangannya ke Tel Aviv. Ancaman itu mereka terima tanggal 16 Maret. Para Yahudi di seluruh dunia nampak bersatu mendukung program aliya tadi. Pengumpulan dana dilakukan di mana-mana. Terutama di AS. Kampanye yang dinamai "operasi Eksodus" digelar di berbagai tempat untuk mendapatkan dana sekitar 600 juta dolar selama tiga tahun. Badan Yahudi Dunia bahkan diminta mengumpulkan uang satu milyar dolar, selama lima hingga enam tahun. Dana sebesar itu dimaksudkan untuk membiayai pemukiman sekitar 750 ribu imigran Yahudi Uni Soviet di Israel. Tahun ini diperkirakan 230 ribu imigran bakal tiba di Israel. Dua kali dari yang diperkirakan semula. Ribuan di antara mereka sudah mengantungi visa, dan tinggal menunggu pemberangkatan. Sementara itu, Israel terus mencari dukungan politik untuk membenarkan semua langkahnya. Tentu saja langkah pertama adalah merangkul AS. Menteri Luar Negeri AS, James Baker, telah berbincang khusus dengan Shamir selama 45 menit. Kementerian itu, menurut seorang sumber, nyata "mendukung penuh imigrasi Yahudi Uni Soviet itu ke Israel." AS bahkan menjanjikan bantuan 400 juta dolar bagi Israel bagi imigrasi itu. Baker belum lama ini sempat membahas masalah itu dengan Menteri Luar Negeri Eduard Shevardnadze. Ia mendesakkan betapa "pentingnya penerbangan langsung" untuk mempercepat hijrahnya mereka yang sudah tak sabar lagi untuk pindah. Menurut juru bicara kementerian itu, Margaret Tutwiler, AS akan menjalankan segala yang mungkin "untuk mendorong keluarnya para Yahudi Soviet yang hendak berimigrasi ke Israel." Upaya mencegah imigrasi itu atau langkah memobilisasi opini dunia untuk menentangnya, "adalah salah." Baker nampaknya mengabaikan legalitas permukiman Tepi Barat. Pada berbagai kesempatan, AS memang menyatakan ketidaksetujuannya bila Israel menempatkan para imigran itu di wilayah pendudukan -- langkah yang jelas-jelas menggusur masyarakat Arab setempat. Israel sendiri berkali-kali menyebut imigran itu hanya akan ditempatkan di Jalur Hijau. Bukan di daerah pendudukan. Tapi kenyataannya tak dapat ditutupi. Sekitar 200 imigran kini telah bermukim di Ariel -- kota di lembah Samaria, sekitar 40 kilometer di utara Yerusalem. Mereka yang datang bermukim di wilayah pendudukan mungkin tak mempersoalkan status politik itu. Seperti dikatakan Gregorian Katzman -- seorang tukang cat asal Byelorusia -- ia punya alasan sendiri mengapa memilih tinggal di Ariel. Teman-temannya "memberi tahu kami apartemen di sini lebih murah, iklimnya bagus, masyarakatnya pun hangat." Sebelumnya ia mengaku tak tahu apa-apa tentang Ariel, kecuali bahwa letaknya di luar Israel. "Namun, itu tak menjadi masalah bagiku. Hal terpenting adalah bahwa aku tak punya banyak uang untuk mendapatkan apartemen. Politik tak menarik perhatianku." Alasan Katzman masuk akal. Tapi bahwa Israel membiarkan -- kalau tidak malah mendorong -- Katzman-Katzman itu tinggal di sana tak dapat dibenarkan. Walaupun mereka mengaku, cuma kurang dari satu persen imigran itu yang tinggal di wilayah pendudukan. Uni Soviet pun mengingatkan itu. Wakil Menteri Luar Negeri Yuli Vorontsov mengatakan "kami menentang segala upaya menggunakan penduduk yang meninggalkan Uni Soviet, untuk mengusir orang-orang Palestina dari tanah milik mereka sendiri." Namun, Israel punya kilah. Dari kementerian luar negerinya muncul suara: pandangan Soviet dan sejumlah negara lain itu tak akurat lantaran kurang dialog. Israel, kata sumber itu, tak bermaksud mengeksploitasi imigran. Israel "tak membuat ketentuan" soal di mana para imigran itu bakal tinggal. "Setiap imigran bebas untuk memutuskan tempat tinggalnya sendiri." "Tak membuat ketentuan", itulah langkah politik Israel. Sebab, kalaupun para imigran itu tinggal di daerah pendudukan, pemerintah Tel Aviv tak dapat disalahkan. Padahal, pasti bakal banyak imigran tinggal di sana. Maka, Raja Hussein pun menyatakan bahwa eksodus itu mengancam Yordania. Dari Tunis dikabarkan bahwa utusan Soviet, Gennady Tarasov, berbincang dengan Presiden Palestina Yasser Arafat. Arafat minta agar Soviet mencegah imigrasi itu. Setidaknya agar Soviet tak membuat perjanjian untuk mengadakan penerbangan langsung Moskow-Tel Aviv. Kalau penerbangan itu singgah di Eropa, tentu akan memberi kesempatan bagi para imigran itu untuk mendapatkan visa di negara lain. Bukan cuma Israel. Aktivis Palestina, Faisal Huseini, bahkan berkunjung ke Uni Soviet selama dua hari. Ia beserta delegasi Palestina yang lain, menentang imigrasi itu. Dalam sebuah jumpa pers di Moskow, ia berkata, "Kami ingin agar semua Yahudi yang hendak meninggalkan Uni Soviet memikirkan kembali langkahnya .... situasi di daerah pendudukan sangat berbahaya. Jika Yahudi Soviet pergi ke sana, tanpa ada yang mengingatkan akan menjadi bagian dari konflik." Huseini pun mengingatkan bahwa setiap Yahudi yang menjadi warga Israel akan "mendapat sebuah senjata .... walaupun ia tak ingin bertempur. Ia sudah menjadi bagian dari mesin militer yang hendak menghancurkan Palestina." Bagi Israel -- yang berani mengabaikan ketentuan apa pun di dunia -- seruan Huseini bukan hambatan. Namun, mereka pun tak dapat membungkam Palestina untuk tidak bergolak. Organisasi paling berpengaruh di wilayah pendudukan, Hamas, menyeru pemogokan memprotes kedatangan imigran itu. Gerakan intifadah pun menghangat kembali, yang pada akhirnya menambah jumlah martir bagi pembebasan Palestina. Di dekat Yerusalem, polisi perbatasan menembak mati dua orang Palestina yang ikut berdemonstrasi. Pada hari Sabtu itu, mereka turun bertopeng ke jalan-jalan di Abu Dis, membawa batu, ketapel, dan pisau. Di Jenin terjadi bentrok antara petugas dan anak-anak. Seorang bocah tiga tahun tewas setelah batok kepalanya terhajar peluru karet. Di Nablus, seratus remaja -- dipimpin dua gadis dengan muka tertutup kafiyeh -- berbaris memperingati kematian seorang pemuda 24 tahun yang dihajar peluru petugas patroli. Apakah bangsa Palestina cuma berhak menjadi golongan yang tergusur, tertindas, dan terinjak-injak saja? Zuc
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini