Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JARI yang mulai keriput itu kembali menjangkau bungkus rokok. Masih ada tersisa beberapa batang di dalamnya. Dia menarik sebatang dan menyulutkan ke bara rokoknya yang masih menyala. Bagai kunang-kunang membagi cahaya, nyala merah menjelma di rokoknya yang baru.
Bara di batang rokok yang lama dia padamkan. Asap putih melewati tenggorokannya, masuk ke paru-paru. ”Aku tak banyak mengisap rokok. Kalau lagi ingin saja aku merokok,” katanya. Namun rokok itu adalah yang ketiga ia sulut selama kami berbincang, Selasa dua pekan silam.
Malam itu, di salah satu kedai di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat, Sutardji Calzoum Bachri sudah nongkrong beberapa jam. Entah sudah berapa batang rokok yang ia hisap. ”Bisa saja sebenarnya kalau dipaksakan untuk berhenti. Tapi macam mana, tak ada yang memaksa,” katanya sambil terkekeh. Asap rokok kembali mengepul di udara malam.
Kendati tak baik bagi jantungnya yang bermasalah, Sutardji seperti tak pernah bosan menghabiskan malam seperti itu. Dari rumahnya di kawasan Jatibening, Bekasi, ia menumpang taksi untuk bertemu teman-temannya di TIM. Di sana mereka bertukar pikiran tentang apa saja. Topik malam itu tentang Tuhan, sang mahapencipta. ”Kami ngomong-nya pelan-pelan saja, tak enak didengar orang lain,” ujar pria kelahiran Rengat, Riau, 24 Juni 1941 itu.
Kongkow bersama teman boleh jadi upaya Sutardji untuk melepas penat. Menjelang perhelatan ulang tahunnya ke-66, seabrek acara menunggunya. Kali ini perayaan memang terkesan istimewa. Yayasan Panggung Melayu menggagas acara Pekan Presiden Penyair, 14-19 Juli mendatang, untuk menghormatinya.
Salah satu acara berupa seminar internasional yang berisi telaah akademis tentang karya-karyanya. Pembicaranya, antara lain, Prof Koh Young-Hun (Korea), Henri Chambert-Loir (Prancis), dan Maria Emelia Irmler (Portugal). Dari dalam negeri ada Dr Abdul Hadi, W.M., Taufik Ikram Jamil, dan Prof Dr Suminto A. Sayuti. Ada pula pembacaan sajak-sajaknya oleh berbagai kalangan, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Dengan suara yang parau, Sutardji mengatakan bahwa ia tidak pernah membuat acara seperti itu. Namun selalu saja ada teman yang merayakan ulang tahunnya. ”Jenar (Mahesa Ayu), juga Hudan (Hidayat), pernah membuat acara serupa. Saya selalu ingat ulang tahun saya, tapi sejak kecil tidak pernah ada budaya merayakannya.”
Salah satu kesibukan yang paling menyerap staminanya adalah memberikan pengantar untuk bukunya, Memo. ”Tapi aku belum mendapat mood,” katanya. Pekan lalu, di kampung halamannya, Riau, ia juga merayakan ulang tahun dengan menjadi pembicara sebuah seminar. ”Repotnya, aku disuruh membaca sambutan. Padahal aku paling tak bisa menulis teks sambutan,” ujarnya.
KENDATI lahir di Rengat, Riau, Sutardji memiliki darah Jawa dari ayahnya. Dalam usia belia sang ayah merantau ke Riau dan bekerja sebagai polisi. ”Nama Sutardji memang nama Jawa. Calzoum adalah nama ibu saya,” katanya.
Pada 1970-an, Sutardji mengejutkan jagat sastra Indonesia dengan menyodorkan puisi yang sama sekali berbeda dari puisi pada saat itu. Sementara penyair lain mengagungkan kata-kata, ia justru membebaskan kata dari makna. Puisi-puisinya seperti mantra. ”Ya, seperti mantra saja, dibaca ulang-ulang seperti meracau. Tapi pada akhirnya menghasilkan kekuatan yang dahsyat,” katanya. Kumpulan puisinya O Amuk Kapak pun menjadi buah bibir.
Pada musim panas 1974, ia menghadiri International Poetry Reading di Rotterdam, Belanda. Selanjutnya, pada akhir 1974 sampai pertengahan 1975, ia mengikuti International Writing Program di Iowa, Amerika.
Sejumlah sajaknya telah diterjemahkan Harry Aveling ke bahasa Inggris dan diterbitkan antara lain dalam antologi Arjuna in Meditation dan Writing from the World. Pada 1979 ia memperoleh South East Asia Writer Awards di Bangkok, Thailand.
Sebelum menulis puisi, Sutardji awalnya membuat cerita pendek. Menurut pengakuannya, cerpennya cukup banyak. Kumpulan cerpennya dibukukan oleh Indonesia Tera dan terbit dengan judul Hujan Menulis Ayam.
Ia baru mengirim puisi ke media massa ketika berusia 25 tahun. Langkah itu, menurut dia, dilakukan karena harus mempersiapkan segalanya dengan baik. ”Macam mana bisa berperang kalau tidak punya senjata yang bagus?”
Keputusan mengirim naskah sajaknya itu, katanya, didorong anggapan bahwa sajak yang dibuatnya tidak pernah ada sebelumnya. ”Saya sengaja mengirimkan ke beberapa majalah sastra. Saya ingin tahu sejauh mana mereka mengerti dan mengapresiasi puisi-puisi saya,” katanya.
Namun tak banyak media yang menaruh perhatian pada puisinya. Sebuah majalah di Yogyakarta, menurut dia, tidak mengerti puisinya. ”Tidak pernah dimuat. Tapi Horizon memuatnya,” katanya. Sejak itu, lambat-laun namanya menjulang. Di panggung, dia pun tampil total. Dengan kapak di tangan, dia membacakan puisinya O Amuk Kapak di berbagai acara.
Semua itu dilakukannya sebagai upaya tampil dengan karakter yang khas. ”Sidik jari setiap orang tidak pernah serupa. Jangan sidik jari dipakai berhubungan dengan polisi tapi dengan kreativitas. Bukan asal beda saja, tapi berkarakter.”
Kadang kala dia tampil di panggung membaca sajak sambil diiringi musik blues atau denting piano. ”Blues adalah musik yang paling saya suka, harmonika alat musik yang saya mainkan sejak kelas tiga sekolah dasar,” katanya. Dia juga tersohor kerap membaca puisi dengan berbagai atraksi: sambil tiduran atau tengkurap.
Ada pula saatnya ketika bir menjadi teman setia di panggung. ”Tanpa menenggak bir, saya menjadi grogi,” katanya suatu ketika. Dengan bir, penampilannya bertambah liar. ”Dulu, sewaktu manggung di TIM, aku lihat H.B. Jassin di kursi penonton. Aku teriaki dia, ’Hei, ikan paus sastra Indonesia’,” ujarnya sambil terkekeh. Ketika itu sedang mabuk? ”Ya..., ha-ha-ha….” Tawanya menyembur.
Minum bir, menurut Sutardji, sesungguhnya cuma upaya agar makin articulated. Sajak Kapak itu tidaklah mudah untuk membacanya. Sajak itu baru bisa dibaca dengan baik tatkala berada dalam keadaan trance. ”Hanya bir yang saya tenggak. Tapi cukup banyaklah,” katanya.
Lambat-laun dia merasa bisa menguasai diri dalam membaca puisi tanpa bir. Jantungnya pun sebetulnya bermasalah: salah satu pembuluh darahnya menyempit. Kini sudah lebih dari sepuluh tahun dia tak pernah lagi menenggak bir sebelum membaca puisi. ”Karena saya memang hanya minum pada saat berada di panggung. Ketika berhenti, alhamdulillah, tidak sulit,” katanya.
SEPEKAN setelah pertemuan pertama, kami berjumpa lagi. Kali ini Sutardji mengundang ke rumahnya di kawasan Jatibening. Tapi, lagi-lagi, ternyata dia belum selesai menulis pengantar untuk bukunya. ”Kau datanglah malam ini. Tengah malam pun tak apa. Biar besok aku bisa menyelesaikan tugasku,” ujarnya.
Rumah yang telah dihuni sejak 1982 itu sama sekali tak menyiratkan aroma kepenyairannya. Hanya ada beberapa hiasan di dinding dan seperangkat meja-kursi sederhana. ”Rumahku tak ada apa-apanya. Seperti kebanyakan orang saja.” Sebelumnya Sutardji berpindah-pindah rumah kontrakan.
Menjadi penyair, kata dia, merupakan panggilan batin. Dia sama sekali tidak menyesali apa yang telah dilakoninya, termasuk kuliahnya di Jurusan Ilmu Administrasi Universitas Padjadjaran, Bandung, yang kandas di tengah jalan.
Berbeda dengan pengarang yang bisa mendapatkan royalti dari penjualan bukunya, menjadi seorang penyair menurut Sutardji tidak menjanjikan materi. ”Kalau mau kaya, jangan jadi penyair,” katanya.
Ia cuma mendapat pemasukan dari membaca puisi hasil karyanya. ”Penyair tidak hidup dari karyanya tapi dari kegiatan reading seperti itu.” Sayangnya, tak setiap bulan ada undangan membaca puisi. Berapa honornya? Maaf, soal itu hanya ia, pengundang, dan Tuhan yang tahu. Honor, menurut dia, menentukan martabat pengundang. ”Kalau memberikan honor rendah, sebenarnya dia sudah merusak martabatnya sendiri, ha-ha-ha….”
Bila berada di rumah, dulu dia kerap menghabiskan waktu bekerja di lantai atas. Namun beberapa tahun belakangan dia sudah jarang naik ke bagian atas rumahnya. ”Aku sudah tak sanggup lagi naik,” katanya.
Di rumah itu, malam-malam Sutardji terasa panjang. Dia terbiasa tidur pada pukul 2 pagi, bangun pukul 4 untuk salat subuh, setelah itu tidur kembali dan bangun siang hari. ”Makanya, kalau kau telepon aku pagi-pagi, biasanya hp-ku masih mati,” ujarnya.
Kini dia mengaku tidak lagi menulis puisi—dunia yang membesarkan namanya. ”Aku sudah berada di puncak.” Dengan rambut yang masih tergerai panjang dan tubuh yang lebih langsing dibanding beberapa tahun lalu, ia terlihat sehat.
Kondisi tubuhnya memang harus selalu terjaga. Ia mengidap tekanan darah rendah, tapi di sisi lain kolesterolnya gampang melesat tinggi. ”Serba salah. Kalau tak makan daging, badanku lemas. Tapi, kalau makan daging, langsung saja kolesterolku melonjak.” Maka di panggung ia tak bisa berteriak-teriak lagi. ”Bisa-bisa meninggal seperti Hamid Jabbar,” katanya.
Di hari tua, Sutardji berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan. Bapak satu anak ini sering melewatkan malam mengobrol dengan teman-temannya di pojok-pojok TIM, bermain gitar, atau membaca buku agama. ”Aku ingin menjadi Tuhan,” ia berkata lirih tanpa bermaksud mengejutkan lawan bicaranya.
Tuhan yang dia maksud adalah berusaha mendekati kesempurnaan seperti layaknya Sang Khalik. ”Saya ingin seluruh hidupku menjadi lebih baik. Bagaimana menghilangkan sifat-sifat buruk menjadi sifat yang bagus. Emosi masih labil. Itu yang sangat sulit,” katanya.
Sutardji sebenarnya ingin melewatkan hari tua di kampung halamannya di Riau. Namun banyak hal yang membuat rencana itu belum terlaksana. ”Tidak apalah tinggal di sini,” katanya. Setidaknya ia tetap akan pulang kampung bila kelak meninggal dunia. ”Aku ingin dikuburkan di sana.”
Irfan Budiman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo