Hutan yang merupakan paru-paru bumi telah jadi barang komoditi. Koresponden TEMPO di Kalimantan Barat Djunaini K.S. memberikan laporan panjang. Bagimana para pemegang konsensi kayu, dengan rakus, mengganyang hutan hujan tropis di Kalimantan. Kalaupun secara "basa-basi" ada yang melakukan peng hutanan kembali, masalahnya belum terpecahkan. Hutan monokultur tak dapat menggantikan hutan alam. Beratur jenis tumbuhan hilang. Struktur tanah berubah. Keseimbangan air terganggu. Habitat beribu macam kehidupan hancur. Bencana dahsyat pelan, tapi pasti, menanti kita. JAUH dari belantara Kalimantan, Menteri Kehutanan Hasjrul Harahap di ruang kerjanya yang sejuk di Jakarta, "berpe! rang". Komandan urusan hutan Indonesia itu sedang menghadapi dilema. Apakah hutan harus menghasilkan uang? Atau dibiarkan apa adanya sebagai paru-paru bumi? Ketika produk perkayuan Indonesia, terutama kayu lapis, mengalir tenang ke luar negeri dan mempertebal devisa, saat itulah kapak perang diayunkan. Kalangan gerakan lingkungan di negara maju mulai menghujat. Mereka berkampanye, "stop impor kayu (atau produk perkayuan) tropis." Sebab, menurut mereka, pembabatan hutan tropis sudah pada tingkat mengancam kelangsungan hidup manusia. Rusak hutan, rusak pulalah tatanan ekologi dunia. Lebih-lebih bila yang hancur adalah hutan hujan tropis. Kawasan cukup luas yang terutama dimiliki Indonesia dan Brasil. Ancaman itu menakutkan, dan bukan tanpa alasan. Memang terbetik dugaan, ada kepentingan khusus di balik sikap anti-kayu tropis. Menurut rekaan, pengusaha perkayuan negara maju -- yang terpukul oleh membanjirnya kayu dari negara seperti Indonesia -- sengaja membiayai gerakan itu. Tapi, sampai sekarang, anggapan tadi tak terbukti. Sementara itu, dibiayai atau tidak dibiayai, murni atau tidak murni, seruan itu cukup mengancam nasib industri perkayuan Indonesia. Menteri Hasjrul boleh saja yakin bahwa pemanfaatan hutan, seperti yang diatur departemennya, cukup aman bagi masa depan hutan itu sendiri. Kenapa tidak. Bukankah sejumlah ketentuan yang diberlakukan cukup untuk mencegah keserakahan para pemegang konsesi. Saat ini Indonesia masih punya 64 juta ha hutan yang boleh diusahakan. Pemanfaatannya baru rata-rata setengah m3 per ha. "Jadi, masih belum apa-apa," ujarnya. Namun, toh ia tidak bisa diam menunggu tantangan perang kelompok gerakan lingkungan. Kepergiannya ke Eropa bulan lalu, setidaknya, masih berkaitan dengan perang melawan sikap "anti-kayu tropis." Pertempuran tidak hanya sebatas meja dan ruang kerja. Departemen Kehutanan sudah menghadapi serangan nyata dari kawan sendiri -- para pengusaha HPH (hak pengusahaan hutan). Mereka menohok dari belakang departemen dengan cara melanggar sejumlah ketentuan yang telah disepakati. Ulah mereka memberi angin gerakan lingkungan -- yang sedang dicoba dinetralkan oleh Menteri Hasjrul -- bahwa: hutan memang terancam. Kalimantan Barat setidaknya dapat dijadikan contoh. Walaupun hal serupa mungkin juga terjadi di sekujur Indonesia. Di provinsi itu, ingar-bingar telah bergetar sejak 20 tahun lalu. Kapak, gergaji mesin, traktor, logging, dumptruck tanpa ampun merambah dan menggilas jengkal demi jengkal hutan. Tak sejenak pun kayu-kayu itu diberi kesempatan bernapas menegakkan tunas. Para pemegang konsesi -- yang sebenarnya harus bersyukur karena kejatuhan rezeki -- telah menebar dosa. Sebuah perusahaan pemegang HPH sebenarnya tak diperkenankan asal menebang pohon di areal yang menjadi konsesinya. Mereka hanya boleh menebang kayu sesuai dengan rencana kerja tahunan (RKT), yang telah ditentukan. Di luar areal RKT, meskipun masih di konsesinya sendiri, "berarti penebangan liar". Itu yang dikatakan Sugeng Widodo, Kepala Dinas Kehutanan Kalimantan Barat. Tapi prakteknya, masya Allah, edan-edanan. Banyak perusahaan jelas-jelas menghajar hutan di luar wilayah RKT. Kelompok PT Bumi Raya Utama (BRU), misalnya, akhir Juli lalu terungkap melakukan kerja haram itu. Tim Departemen Kehutanan pusat dan daerah, secara kebetulan, memergoki praktek grup pengelola hutan terbesar di provinsi itu. Mereka menguasai areal HPH seluas 140.000 ha. Sejak tahun 1968, mereka sudah menggarap hutan di Kabupaten Kapuas Hulu. Tahun lalu BRU kebagian jatah RKT 170.000 m3, sedangkan tahun 1989/90 ini bisa mengambil kayu lZ0.900 m3. Tapi lihatlah di Kecamatan Embaloh. Masyarakat setempat hingga koran-koran Jakarta geger, BRU telah menggasak kayu melebihi jatah. Dari lokasi Embaloh-I dan Embaloh-II -- yang ber-base camp di Srigading -- semestinya mereka hanya boleh mengambil 14.000 m3. Tapi, banyak pihak memperkirakan sekitar 130.000 m3 kayu bulat telah disikat. Lalu dihanyutkan lewat Sungai Embaloh. Jangan kaget bila sungai pun penuh balok kayu. Dalam satu perjalanan awal Agustus lalu, empat formasi rakit balok kayu menghadang. Bila setiap formasi terdiri atas 18-20 rakit, keseluruhannya mencapai 80-an rakit. Sementara itu, di Srigading, balok-balok terus digulingkan ke sungai dijalin menjadi rakit. "Sepanjang hari dalam empat bulan belakangan," kata Usman, penduduk Sungai Pulan, "karyawan tebang, lori, perakit banffng tulang tak kenal hari Minggu." Upaya curang terlihat ketika tim Dinas Kehutanan turun ke lapangan yang pertama. Rel untuk pengangkutan kayu ke arah Desa Mungguk, 18 km, sengaja diputus. Sepanjang 200 meter rel dilepas, ditutupi kayu tebangan, sehingga mengesankan rel memang berujung sampai di situ. Lebih jauh dari lokasi itu seolah tak pernah ada kegiatan apa-apa. Alimuddin, seorang buruh tebang yang polos, nyeletuk. "Heran be, Pak! Karyawan mau bekerje tapi rel suruh dibongkar." "Kan ade pemeriksaan dari Pontianak," sahut kawannya. Di Ulak Lesung, Teluk Jelutung, Palin, pelanggaran serupa terjadi. Jatah 8.000 m3 dari petak tebangan Ulak Lesung dilalap hingga 60.000 m3. Kontraktor Apeng menebang 10.000 m3 kayu dari hutan Teluk Jelutung. Padahal, areal itu tak masuk dalam RKT. Sedang di Palin malah 150.000 m3. Padahal, pegangannya adalah RKT lama -- tahun 1987/1988. Itu pun hanya 9.000 m3. Kejahatan lain adalah dalam apa yang disebut "tebang matahari". Ketentuannya, penebangan itu hanya boleh sepuluh meter ke kiri dan kanan jalur. Tapi BRU membikin jalur selebar satu kilometer untuk 19 kilometer rel -- 14 jalur utama, dengan tiga cabang. Walhasil, sekitar 1.800 ha hutan ditebang bersih. Bila hasil tebangan per ha 50 m3 berarti sudah 90.000 m 3 ditebang. Padahal, penebangan itu hanya untuk membikinkan jalan bagi kayu jatah resmi setempat -- 14.000 m3. Sayangnya, ketika dikonfirmasi TEMPO, Sugeng Widodo curna memperhitungkan kepadatan hutan Kapuas Hulu 20 m3 saja, per ha. Bila angka ini yang dipakai, dosa BRU akan narnpak lebih kecil. Padahal, menurut Kate McCannon, hutan hujan tropis terpadat setelah hutan Amazon ini punya kayu 70-130 m3 kayu per ha. Sedang para penyurvai profesional yang biasa dikontrak pengusaha hutan, untuk menyurvai kayu -- guna pengajuan RKT, memastikan angka 40-60 m. Mana pun angka yang dipakai, pelanggaran itu jelas mengancam masa depan hutan -- yang berarti juga masa depan umat manusia. "Kasus ini harus diusut tuntas," kata Sugeng Widodo tegas. Pertama, karena BRU menebang melebihi target. Kedua, karena menebang di luar areal atau sebelum RKT diterbitkan. Sugeng menghitung: kalau setiap karyawan mampu menebang 150 m3 pohon setahun, delapan ratus karyawan -- yang disebut BRU tentu bisa merobohkan 120.000 m3. Padahal, karyawan sebanyak itu hanya berada di satu areal. Belum yang di tempat lain. Maka, akan berapa kali lipat target RKT dilampaui. Bagi yang mengenal hutan, bukan pelanggaran itu yang mencemaskan. Tapi akibat yang harus ditanggung dari setiap pelanggaran. Penetapan RKT oleh Departemen Kehutanan bukan tanpa maksud. Berpagarkan ketentuan itu, hutan tak bisa sembarang dibabat. Melainkan ditebang sebagian demi sebagian -- secara bergilir. Dengan ancar-ancar 1/35 bagian -- dari seluruh konsesi -- yang boleh ditebang dalam setahun diperkirakan masa depan hutan akan aman. Sebab, areal penebangan akan menghutan kembali. Dalam 35 tahun, mudah-mudahan kayu bisa dipanen lagi. Begitu seterusnya, sehingga kayu dapat terus diproduksi. Namun, pelaksanaannya tak segampang itu. Hampir mustahil hutan yang telah dibabat akan pulih. 3iarpun dalam waktu 35 tahun. Ketentuan Departemen Kehutanan sudah sangat longgar. Namun, pengusaha masih menginjak-injaknya. Mereka lebih peduli pada uang kontan yang dapat diraup hari ini, ketimbang memikirkan risiko musnahnya hutan. Maka, mereka dengan kejam dan rakus membabat kayu sebanyak mungkin, meskipun jauh melampaui batas aman bagi hutan itu sendiri (RKT). Seperti yang dilakukan BRU. Ternyata, bukan cuma itu. Tim pemeriksa juga menemukan kayu-kayu yang bergaris tengah di bawah 30 cm. Ini terlarang. Ada batasan dari sistem TPI -- Tebang Pilih Indonesia. Di daerah hutan dataran ffnggi, hanya pohon bergaris tengah lebih dari 55 cm yang boleh ditebang. Batas terendah di hutan rawa 35 cm. Melanggar ketentuan itu akan didenda empat kali nilai IHH (iuran hasil hutan) yang harus mereka bayar setiap tahun. Manajer eksekufff BRU, Thomas -- 38 tahun, membantah bahwa pihaknya juga menghajar pohon-pohon kecil. "Yang kecil itu hanya ujung pohon," katanya. Namun, pihaknya tak dapat berkilah tentang kesalahan lain. Terutama tentang pembabatan liar yang mereka lakukan. "Sulit," katanya. "Kalau saya memberikan argumentasi malah tambah buruk suasananya. Saya pikir lebih baik menunggu saja apa yang dilakukan Pemerintah." Banyak pihak memperkirakan, dalam tiga tahun terakhir BRU telah mengemplang kayu sebanyak 400.000 m3. Benar? "Saya kira tidak sebanyak itu," kata Thomas, yang lebih dikenal dengan nama Agap. Sekadar untuk berkilah pun Agap tetap menolak menyebut jumlah. Bukan cuma BRU yang kotor tangan. Banyak perusahaan lain melakukan hal serupa. Akhir Juni lalu, PT Daya Besar juga kepergok membabat hutan tanpa RKT. Kejadiannya di Batu Ampar, Kabupaten Pontianak. Tak kurang 40.000 m3 kayu siap diangkut perusahaan yang tak punya industri ini. "Saya sendiri sudah masuk ke lokasinya, dan menemukan stok kayu besar-besaran," kata Sugeng. "Gubernur marah besar." Tindakan yang dapat dilakukan terhadap maling di wilayah konsesinya sendiri hanyalah menetapkan denda sebesar dua kali IHH. Namun, para pengamat pesimistis: mampukah tangan Departemen Kehutanan mencengkeramkan denda milyaran rupiah pada kedua perusahaan kuat itu? Sementara itu, perkara pencurian kayu yang masuk ruang pengadilan karena mengambil kayu di konsesi orang lain masih bisa dihitung dengan jari sebelah tangan. Contohnya pencurian oleh A Sin dan Lim Sung Ho. Mereka ketahuan mencuri (hanya) sekitar 3.000 m3 kayu di areal PT Kayu Papa Enterprise -- kelompok BRU juga, di Sungai Terandak, Pontianak. Kedua orang itu dipenjarakan akibat pengaduan BRU. "Kalau kami yang kecil dibilang maling, dan mereka yang raksasa juga melakukannya, apa namanya bukan maling teriak maling?" sindir A Sin dan Lim. Yang lain yang masuk pengadilan adalah PT Kubu Kapuas. Perusahaan itu ketahuan membabat kawasan hutan cagar alam Kendawangan. Tahun lalu berkas perkaranya masuk dan disidangkan Pengadilan Negeri Ketapang. Dua kali kasusnya masuk meja hijau, jumlah kayunya pun besar-besaran, tapi vonisnya tak jelas. Tinggallah cagar alam itu -- ingat cagar alam, bukan hutan produksi -- tercabik-cabik. Banyak lagi cara perkosaan hutan. Hutan suaka Gunung Palung di Kabupaten Ketapang, cagar alam Gunung piut di daerah segi tiga perbatasan Kabupaten Sambas, Sanggau, dan Pontianak pun jadi korban. Biangnya pengusaha pemegang HPH tanpa industri, juga perusahaan industri tanpa HPH. Mereka mengerahkan rakyat setempat, dengan meminjamkan gergaji mesin, lalu menampung hasilnya. Rakyat memang mudah dimanfaatkan dan dikambinghitamkan. Para kontraktor yang bekerja untuk Grup BRU pun dengan lihai memanfaatkan masyarakat untuk mengelak dari dosa. Selama ini, rakyat setempat kadang memang mencuri kayu. "Kami di sini hanya menebang waktu banjir sekadar cari makan," kata Lipai, penduduk Embaloh. Kayu itu dijual murah kepada BRU, si empunya konsesi. Atau disita sama sekali oleh petugas setempat sudah melakukan tebang banjir. Tebang banjir, begitu istilah setempat, sebenarnya hanya dilakukan pada musim paceklik banjir. Saat itu ladang terendam, karet tak bisa disadap, ikan pun sulit dijaring. Maka, "kami menebang lima sampai sepuluh batang saja. Tak lebih,?" kata Manai, warga desa Ulak Pauk. Di sinilah para kontraktor macam Ameng alias Su Min beraksi. Ameng menuduh bahwa rakyatlah yang menghabiskan hutan daerah itu. Ia juga memaksa kepala desa setempat Pius Rantap untuk membuat "surat keterangan". Isinya: sebelum BRU menggarap lokasi di Srigading, masyarakat nurut Pius, surat itulah yang dipakai BRU buat senjata menghadapi pemeriksaan. Cara yang lebih licin dan "legal" untuk menggasak hutan terjadi di Kendawangan. Sebuah perusahaan meminta izin untuk membuka tambang kaolin di sekitar aliran Sungai Blunyang. Kepada mereka diberikan konsesi 1.000 ha. Kayu hutan di atas wilayah konsesi itu lalu ditebang. Sedang penambangan kaolinnya tak terdengar kabar beritanya lagi. Pendek kata, perang terus berkepanjangan. Tak mudah untuk menaklukkan musuh. Sebab banyak celah yang dapat ditembus. Yang klise, tapi sungguh menjadi hambatan, adalah pernyataan "bagaimana harus mengawasi ribuan hektare hutan, tanpa sarana memadai." Selain itu, batas wilayah hutan yang boleh dimanfaatkan pun masih kabur. Kekaburan ini membuka peluang bagi manipulasi batas areal konsesi. "Memang penentuan tapal batas hutan seluruh Indonesia baru mencapai 12 persen," kata Nainggolan, Kepala Bidang Pengusahaan Hutan, Kanwil Departemen Kehutanan Kalimantan Barat. Di mana batas hutan suaka, hutan produksi, atau hutan konversi hanya samar-samar. Tergantung siapa yang mengukur dan mengajukan RKT. Karenanya, jangan heran bila luas areal cagar alam Gunung Nyiut, misalnya, telah tiga kali berubah. Sedangkan yang jelas-jelas cagar alam pun -- lewat jalur resmi -- dapat diubah menjadi hutan produksi, seperti kasus Bintuni, Irian Jaya (TEMPO, 7 Oktober). Suatu saat, mungkin hutan hanya tinggal cerita. Atau hanya berupa gerumbulan semak yang tak berarti sama sekali. FAO menaksir bahwa hutan akan punah pada tahun 2030 nanti -- hanya empat puluh tahun dari sekarang. Sementara itu, senjata lama masih terus dijadikan panutan, bahwa: "pengusaha kayu harus bisa main kayu." Sikap tercela itulah yang akan mempercepat kepunahan hutan. Acap, para peladang berpindah -- cara bertani tradisional -- yang disalahkan. Tapi, betapa tak berarti sebenarnya tingkat kerusakan karena tangan mereka selama ribuan tahun, dibanding dengan pembabatan legal selama 20 tahun terakhir. Tak percaya? Terbanglah di atas Kalimantan Barat, kehijauan yang legam itu kini sudah tercabik-cabik menjadi bumi yang cokelat. Hampir pasti, hutan Kalimantan bakal punah. Kian cokelat dan surutnya air Sungai Kapuas adalah pertanda yang sulit dibantah. Entah bagaimana bumi akan menghidupi diri, jika hutan hujan tropis yang menjadi "paru-paru dunia" terus-menerus diperkosa. "Mengapa? Mengapa hutanku hilang, dan tak pernah tumbuh lagi," jerit kelompk pemusik Rollies lewat lagu Kemarau. Hasilnya: penghargaan Kalpataru. Namun, nun jauh di sana, hutan yang diratapi itu semakin sakit. zuc
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini