SEBATANG meranti tumbang lagi jauh di tengah belantara Kalimantan. Sepertiga batangnya terhunjam ke tanah. Ahmadi, Sudin, Salehan, dan dua temannya segera menebas ranting dan dahan pohon sekitar. Kapak tajam terayun meratakan pepohonan kecil sekeliling -- untuk memudahkan kerja. Lalu, giliran gergaji mesin meraung. Dalam sekejap, pohon sepemeluk itu terpotong-potong sepanjang enam meter. "Bila sebatang pohon di hutan Kalimantan ditebang untuk diambil kayunya, maka tidak kurang dari 17 pohon ikut tumbang dan mati, sepuluh batang pohon terpangkas rusak tapi terus hidup, 147 belta atau anakan pohon mati/rusak, 262 jenis epifit dengan ratusan individu ikut rebah dan tak mungkin hidup terus, serta ribuan semai mati." Begitu yang tertulis di buku Keanekaragaman Hayati Untuk Kelangsungan Hidup Bangsa terbitan Pusat Peneliffan dan Pengembangan Bioteknologi-LlPI. Tak banyak orang membaca buku itu. Seperti juga sedikit orang tahu bahwa hutan dipterocarpaceae Kalimantan adalah hutan kedua paling kaya jenis pohonnya di sekujur muka bumi. Hanya hutan Amazon, Brasil, yang mengunggulinya. Sedangkan di Indonesia, hutan Kalimantanlah yang menjadi tulang punggung seluruh kawasan hutan negeri ini -- yang tercatat seluas 143,97 juta hektare. Kawasan hijau di daerah tropis di Indonesia dan Brasil -- yang dinamai Hutan Hujan Tropis sudah beribu tahun menjalankan fungsinya. Yakni sebagai penyangga kelanggengan iklim bumi, yang tak tergantikan hutan di belahan bumi lain. Tapi, akankah fungsi ini bertahan hingga akhir abad ini? Ataukah bencana yang bakal datang meluluhlantakkan bumi? Memang, bencana sangat mungkin menyergap. Hutan bukan lagi daerah liar yang dilingkupi berjuta misteri dan tak terjamah manusia. Kini, hutan adalah barang komoditi. Hutan adalah duit. Sebelumnya, manusia bisa hidup baik-baik berdampingan dengan hutan. Kini, ada sikap baru. Manusia lebih menuntut agar perekonomian tumbuh ketimbang agar hutan terselamatkan. Negara membutuhkan apa yang disebut devisa untuk memakmurkan rakyatnya. Dan Indonesia punya hutan, sesuatu yang bisa dijual untuk mendapatkan devisa. Di pihak lain, sejumlah negara -- macam Hong Kong, Taiwan, Jepang, bahkan Amerika, dan negara-negara Eropa -- punya uang. Dengan uang itu, mereka membeli kayu tropis, seperff dari Indonesia. Memang, ada yang tak punya hutan untuk mencukupi kebutuhan kayu dalam negerinya. Sebenarnya, ada juga yang mempunyai kawasan hutan yang cukup luas. Dan, mereka lebih suka membeli kayu ketimbang membabat hutannya sendiri. Toh ada yang siap menjualnya. Maka, sejak sekitar 20 tahun silam, hutan Kalimantan pun dibuka. Seperti yang dilakukan lima orang itu. Mereka menggulingkan balok kayu bulat tadi ke galangan kayu kemuning. Dengan bantuan kayu belian, dua orang menghela kayu itu bak lembu menarik pedati. Beberapa orang lainnya mendorong, lalu menyusun balok-balok itu berjajar menunggu datangnya juru ukur yang akan menghitung kubikasi. Tak terhitung lagi berapa banyak peluh para pekerja yang menetes di hutan itu. Seperti juga tak terhitung berapa banyak pohon yang telah mereka tumbangkan dalam dua dasawarsa ini. Dalam sehari, satu rombongan buruh tebang sering disebut karyawan PT (potong-tarik) yang terdiri dari lima hingga sepuluh orang, mampu menebang sampai sepuluh pohon. Tentu saja, sampai hari ini ratusan ribu karyawan PT itu telah menumbangkan milyaran batang pohon meranti, ramin, agathis, sampai dengan kayu-kayu bakau. Mereka mulai menebang dari pinggir sungai dan rawa hingga di pedalaman. Dari dataran rendah hingga dataran tinggi. Mulai dari yang memakai cara paling konvensional hingga yang berperalatan mesin. Lewat tangan-tangan mereka, hutan pun menjadi devisa. Catatan di Kalimantan Barat memperlihatkan betapa hutan menghidupi sebuah provinsi. Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, hutan setempat menyumbang 70 persen ekspor nonmigas. Ekspor terbesar dari daerah itu menggeser kedudukan karet alam ke tempat kedua. Bayangkan, dari tahun 1970 hingga 1974 tercatat lebih dari 7,1 juta meter kubik kayu bulat digelindingkan ke luar negeri. Nilainya hampir mencapai 124 juta dolar AS. Sepuluh tahun berikutnya, 1975-1984, sekitar 7,5 juta meter kubik lagi yang diberangkatkan ke negeri lain. Nilainya 437 juta dolar AS. Suatu jumlah yang tidak kecil bagi Kalimantan Barat, waktu itu. Walaupun demikian, Pemerintah tahu persis bahwa nilai itu masih terlalu murah. Setidaknya, bila dibandingkan dengan risiko yang harus ditanggung. Sementara itu, banyak negara lain mengantungi nilai tambah pemanfaatan kayu. Misalnya nilai tambah dalam membuat plywood. Juga dalam industri perkayuan lain. Padahal, mereka tak ikut menanggung risiko kerusakan hutan. Maka, pada 1985 pemerintah menyetop ekspor kayu gelondongan. Kini, ekspor yang dibolehkan hanya berupa produk perkayuan. Misalnya kayu lapis, chipwood, atau -- bila memungkinkan -- malah mebel. Memang, ekspor kayu bulat terhenti sama sekali. Kecuali apa yang oleh kalangan gerakan lingkungan dituduhkan sebagai ulah sebuah perusahaan yang masih mengekspor kayu secara diam-diam. Namun, stop memasok kayu tak berarti bahwa penebangan hutan menurun. Hutan masih harus menanggung beban ekspor papan dan kayu lapis. Kenyataannya, pelarangan ekspor kayu gelondongan telah memacu pertumbuhan industri kayu lapis. Hingga saat ini diperkirakan bahwa industri plywood telah melahap kayu sebanyak separuh dari kayu gelondongan yang telanjur diekspor ke luar negeri. Belum lagi industri plywood yang sudah mengekspor produknya sejak tahun 1978. Kebutuhan kayu antarpulau pun tak kurang rakusnya menggerogoti hutan. Akibatnya memang terasa. Daya dukung hutan terhadap industri perkayuan semakin merosot. Di Kalimantan Barat, kini, produksi kayu bahkan lebih rendah dari kebutuhan industri. Bila industri perkayuan di sana membutuhkan suplai 2,5 juta meter kubik kayu bulat per tahun, hutan hanya mampu memenuhi 2 juta meter kubik. Menurut Ir. Nainggolan, Kepala Bidang Pengusahaan Hutan Kanwil Departemen Kehutanan Kalimantan Barat, angka produksi tahunan itu dipertahankan hingga lima tahun mendatang. "Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjaga kelestarian hutan," kata Nainggolan. "Karena, kalau diturutin, permintaan kayu bisa lebih dari tiga juta meter kubik per tahun." Ketentuan tadi bisa saja dipancangkan. Dengan pertimbangan pelestarian pula. Namun, siapa dapat menjamin bahwa kayu yang ditebang di Kalimantan Barat saja tak lebih dari dua juta meter kubik per tahun? Kenyataannya, banyak pemegang konsesi yang nakal. 'Pencurian' masih sering mereka lakukan. Misalnya dengan cara menebang pohon areal rencana kerja tahunan (RKT). Juga dengan tidak mengindahkan pelaksanaan tebang pilih yang memaksa pengusaha memotong hanya pohon yang besar saja. Nainggolan pun mengakui bahwa persoalannya memang tak gampang. "Pengawasan belum memadai," katanya. Mungkin klise, bila keterbatasan aparat, sarana, dan dana dikemukakan sebagai alasan. Namun, kenyataan itu tak dapat dimungkiri. Walaupun mungkin ada faktor lain yang juga sangat menentukan. Seorang anggota Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHl) berkata jujur, "Kalau semua peraturan dilaksanakan tanpa pandang bulu, dan pandang macammacam, bisa tutup perusahaan." Apakah benar demikian, belum terbukti. Namun, pernyataan itu sudah menunjukkan bahwa penyimpangan memang terjadi. Bagi pengusaha, uang kontan selalu lebih menarik ketimbang tegaknya ketentuan. Bahkan ketimbang kepastian bahwa alam, bagi anak cucu, tak bakal rusak jika ketentuan dijalankan. Dalam hal penghutanan kembali, misalnya Kalimantan Barat, belum tampak usaha yang berarti. Baru satu perusahaan di sana -- PT Alas Kusuma -- yang jelasjelas menunaikan permudaan dan perkayaan di bekas areal tebangannya. Itu pun terbatas pada areal kecil, dan dengan hanya satu jenis tanaman. Yakni meranti alias Shorea sp. Banyak pemegang konsesi lain, walaupun tak terus terang, enggan melakukannya. Alasannya, tak ada jaminan bahwa kelak mereka pulalah yang berhak 'memanen' hutan itu -- jika sekarang mereka menanamnya. Sikap ini yang dikecam Nainggolan. "Kekhawaffran tidak meanen atau kehilangan konsesi tidak beralasan," ujarnya. "Pengusaha sudah meraih keuntungan jadi, harus mengembalikan." Menurut Nainggolan, jiwa Undang-Undang Pokok Kehutanan dan sistem Tebang Pilih Indonesia adalah: setiap nilai yang diambil dari hutan harus dikembalikan. Tapi, kalaupun penghutanan dipenuhi, bukan berarti bahwa seluruh masalah terpecahkan. Bagaimanapun, hutan berjenis tumbuhan tunggal (monokultur) tak dapat menggantikan hutan alam. Beratus jenis tumbuhan hilang. Struktur tanah berubah. Keseimbangan air terganggu. Habitat beribu macam kehidupan pun hancur. Sebuah ancaman yang pelan, tapi pasti, mencengkeram manusia. Bagaimana masa depan hutan, yang berarti juga masa depan umat manusia? Tak ada jawaban. Sebenarnya, sikap Departemen Kehutanan yang paling menentukan. Selebihnya sangat bergantung pada itikad baik para pemegang konsesi. zuc
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini