Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERTEMUAN Wakil Presiden Jusuf Kalla dengan Presiden Joko Widodo di Istana Bogor, Rabu pagi pekan lalu, jauh dari ingar-bingar pemberitaan. Berkunjung selepas acara halalbihalal di kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Kalla bertemu dengan Jokowi, yang didampingi Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Juru bicara Kantor Wakil Presiden, Husain Abdullah, membenarkan adanya pertemuan Kalla dengan Jokowi. "Benar ada pertemuan itu, tapi saya tidak tahu isi pembicaraannya," kata Husain saat dihubungi Tempo, Jumat pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pasang-Surut Duo Istana
Sumber yang dekat dengan Kalla bercerita, pertemuan itu bertujuan menjelaskan aktivitas Kalla bersama Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Menurut sumber ini, dalam pertemuan itu Kalla menyatakan akan terus mendukung Jokowi dan tak akan mendukung Anies Baswedan, yang dianggap sebagai calon kuat penantang inkumben.
Seorang pejabat di Istana mengatakan kedekatan Kalla dengan Anies menimbulkan tanda tanya ihwal dukungan Wakil Presiden kepada Jokowi. Tapi Ketua Tim Ahli Wakil Presiden Sofjan Wanandi meyakini kedekatan dengan Anies itu tak mengganggu hubungan bosnya, Kalla, dengan Presiden Jokowi. "Mereka sedang mesra-mesranya," tutur Sofjan.
Meski demikian, Sofjan mengakui hubungan Kalla dengan Jokowi selama hampir empat tahun bekerja tak selalu mulus. Ibarat berpacaran, kata Sofjan, relasi itu kadang naik-turun. Hal itu dibenarkan bekas Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Sudirman Said. Dia bercerita, salah satu percikan api antara Kalla dan Jokowi muncul pada Maret 2016.
Menurut Sudirman, kala itu terjadi silang pendapat antara Jokowi dan Kalla ihwal pengembangan lapangan gas di Blok Masela, Maluku. Jokowi menginginkan pengembangan itu diwujudkan dengan pembangunan kilang di darat alias onshore. Sedangkan Kalla mendukung pendirian kilang secara offshore atau di laut lepas. Belakangan, Presiden memutuskan pembangunan tetap dilakukan di darat. "Kalla kecewa dengan keputusan tersebut," ujar Sudirman.
Padahal Kalla sudah memburu investor hingga ke luar negeri. Husain Abdullah membenarkan terjadinya perbedaan pendapat tersebut. Tapi dia mengklaim Kalla pada akhirnya tak menolak keputusan Jokowi. "Perbedaan pendapat di antara keduanya hal biasa. Tapi, ketika Presiden sudah memutuskan, Kalla mendukung penuh."
Perselisihan soal Blok Masela itu bukanlah pertentangan yang pertama. Hubungan Kalla dengan Jokowi juga sempat memanas tak sampai setahun setelah keduanya dilantik pada 20 Oktober 2014. Sejumlah sumber di Istana mengatakan sempat terjadi perbedaan pendapat sebelum perombakan kabinet pada pertengahan Agustus 2015. Saat itu, Presiden berencana mengganti Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil dengan Darmin Nasution.
Sofyan dikenal sebagai salah satu orang dekat Kalla. Dia menjadi Menteri Komunikasi dan Informatika, lalu Menteri Badan Usaha Milik Negara pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla periode 2004-2009. Sofyan-kini Menteri Agraria dan Tata Ruang-kemudian digeser menjadi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional. Menurut seorang pejabat yang mengetahui rencana reshuffle itu, Kalla tak banyak diajak berdiskusi oleh Presiden.
Begitu pula saat perombakan kabinet yang kedua, sebelas bulan kemudian. Jokowi mencopot Sudirman Said dan menggantinya dengan Arcandra Tahar. Saat pembentukan kabinet yang pertama, Sudirman diajukan Kalla. Adapun Anies Baswedan, yang menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, digantikan Muhadjir Effendy. Kabarnya, Kalla sama sekali tak dilibatkan dalam pergantian tersebut. Sebelum pergantian, Kalla kerap menyatakan belum ada pembahasan dengan Jokowi. "Belum ada," ujarnya ketika itu. Toh, perombakan tetap terjadi.
Orang dekat Jusuf Kalla mengatakan perombakan kabinet yang kedua itu berbuntut panjang. Puncaknya adalah menjelang pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Jokowi menjagokan inkumben Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yang juga wakilnya saat memimpin DKI. Sedangkan Kalla mendorong Anies Baswedan. Berpasangan dengan Djarot Saiful Hidayat, Ahok akhirnya keok di putaran kedua oleh Anies dan wakilnya, Sandiaga Uno.
Kalla membenarkan ihwal dukungannya kepada Anies-Sandiaga. Menurut dia, pasangan tersebut bisa membuat pemerintah DKI lebih baik. "Saya punya pandangan bagaimana negeri ini berjalan baik, aman, dan moderat," ucap Kalla ketika itu. Apalagi selama proses pencalonan dan masa kampanye terjadi berbagai demonstrasi oleh sejumlah kelompok Islam yang menolak Ahok dan menuntut dia dipenjara atas kasus penodaan agama. Pemerintah Jokowi pun sempat dituding melindungi Ahok.
Setelah Ahok kalah, Jokowi mulai mendekati Kalla lagi. Sejak itu, hubungan mereka jadi lebih mesra. Hampir tak terdengar perbedaan pendapat di antara keduanya. Sekretaris Kabinet Pramono Anung Wibowo justru menyatakan tak pernah ada keretakan di antara Jokowi dan Kalla. Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu mengklaim keduanya selalu kompak. "Mereka terbuka satu sama lain," katanya.
Keakraban itu juga terlihat dari dukungan Jokowi agar Kalla kembali maju bersamanya dalam pemilihan presiden 2019. Jokowi bahkan tiga kali mengajukan permintaan tersebut. Kalla, yang semula kerap menyatakan ingin beristirahat, menyatakan pencalonannya bakal terganjal konstitusi. Undang-Undang Pemilihan Umum menyatakan presiden dan wakil presiden hanya bisa menjabat dua periode.
Mencoba memuluskan jalan Kalla mendampingi Jokowi, sejumlah pihak kemudian mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Mimpi Jokowi berduet dengan Kalla untuk sementara kandas. Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak permohonan tersebut, Kamis dua pekan lalu.
Hussein Abri Dongoran, Vindry Florentin
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo