Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBULAN menjelang dibukanya pendaftaran peserta pemilihan presiden 2019, nama Wakil Presiden Jusuf Kalla tetap masuk bursa calon pendamping Presiden Joko Widodo. Bahkan, menurut Kalla, meski tidak secara eksplisit, Jokowi pernah menyampaikan keinginan berpasangan kembali dengannya pada pemilihan tahun depan. "Istilahnya sama dengan don't change the winning team, jangan mengubah tim yang sudah kuat," kata Kalla, 76 tahun, dalam wawancara khusus dengan Tempo di kantornya, Senin pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun pencalonan kembali Kalla sebagai kandidat wakil presiden masih terganjal peraturan. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menyebutkan seseorang hanya dapat menjabat wakil presiden maksimal dua periode. Pihak yang menginginkan Kalla tetap mendampingi Jokowi pada 2019 pun mengajukan gugatan uji materi tentang batas masa jabatan itu ke Mahkamah Konstitusi, tapi ditolak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kalla mengatakan kemungkinan menjadi calon wakil presiden baginya belum sepenuhnya tertutup karena Mahkamah menolak gugatan itu dengan alasan pemohon tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing. "Yang dipermasalahkan bukan substansinya," ujar Kalla.
Selain diperhitungkan sebagai calon wakil presiden, Kalla didorong maju menjadi kandidat presiden. Bermula dari pertemuannya dengan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono, Senin dua pekan lalu, wacana menduetkan Kalla dengan Agus Harimurti Yudhoyono santer beredar. Tapi, menurut Kalla, tidak ada pembahasan soal koalisi dalam pertemuan di kediaman Yudhoyono di Mega Kuningan, Jakarta Selatan, itu. Kalla menyatakan enggan maju sebagai calon presiden karena harus berhadapan dengan Jokowi. "Itu yang saya dan Pak Jokowi hindari," katanya.
Kepada wartawan Tempo Arif Zulkifli, Stefanus Pramono, Wayan Agus Purnomo, Raymundus Rikang, Angelina Anjar, dan Ahmad Faiz, Kalla juga menjelaskan kedekatannya dengan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan beberapa pekan terakhir. Selasa dan Rabu pekan lalu, Kalla dan Anies hadir dalam acara halalbihalal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dan Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Jumat dua pekan lalu, Kalla bahkan mengantar Anies ke Balai Kota setelah keduanya meninjau lokasi pertandingan Asian Games di Pulomas dan Senayan, Jakarta.
Anda satu mobil dengan Anies saat mengantarnya ke Balai Kota. Hal itu menimbulkan wacana Anda mendukung Anies maju dalam pemilihan presiden 2019.
Itulah politik. Apa saja bisa menjadi penafsiran. Padahal masalah teknis saja. Setelah meninjau venue Asian Games, kami rapat, kemudian salat Jumat bersama. Karena kantornya dengan kantor saya satu arah, berdekatan, dan dia tidak tahu mobilnya di mana, ya sudah, ikut.
Apa yang Anda sampaikan kepada Anies dalam perjalanan?
Saya banyak bertanya soal DKI, "Bagaimana perkiraan you, selesai-enggak semua proyek untuk Asian Games?"
Menurut Anda Anies kurang cepat?
Karena di luar kewenangannya. Seperti MRT (mass rapid transit), itu proyek nasional, bukan hanya kewenangannya.
Apakah Anies menjanjikan maju dalam pemilihan presiden 2019?
Tergantung kondisi dan harapan masyarakat. Saat ini terjadi perubahan sikap dalam masyarakat karena sistem informasi, termasuk media, makin mudah diakses. Tumbuh juga soliditas dari kelompok Islam. Walaupun Anies bukan dari partai agama, setidaknya dia dekat.
Kansnya ada?
Semua orang punya kans. Tapi tergantung kondisi saat itu, apa yang dibutuhkan. Soliditas itu makin menarik dipelajari. Sekarang orang suka lagu gambus. Ada perubahan minat orang. Pengajian ada di mana-mana. Di universitas, mayoritas anak-anak muda (perempuan) pakai jilbab.
Ini kabar baik atau buruk?
Tergantung melihatnya dari sisi mana. Kalau saya, kabar baik. Setidaknya moral keagamaan masuk. Kabar buruknya, tentu ada di antara mereka yang radikal. Bahaya juga. Tapi saya kira jauh lebih besar yang tidak radikal.
Penguatan politik identitas berbahaya tidak?
Di mana-mana begitu. Apa kurangnya demokrasi di Amerika? Tapi Trump berbicara tentang entitas yang sangat jelas, melawan orang Islam datang ke Amerika. Indonesia mana pernah ngomong begitu? Tidak ada calon presiden ngomong yang agamanya lain dilarang masuk ke sini. Siapa yang lebih berpolitik identitas, kita atau Amerika? Amerika lebih keras. Karena itu, dikritik oleh orang Amerika sendiri.
Ada kabar bahwa Anda menyodorkan Anies ke beberapa partai.…
Tidak. Justru saya bilang ke Anies, "Anda akan berhasil kalau DKI bagus. Jadi fokus saja ke DKI dulu. Kalau Anda berhasil, itu akan menjadi modal yang luar biasa."
Jadi Anies perlu menunggu hingga pemilihan presiden 2024?
Masih perlu pengalaman. Karena itu, dalam survei, (elektabilitasnya) sebagai capres masih kecil. Kalau cawapres, naik.
Artinya Anies lebih baik maju sebagai calon wakil presiden?
Iya. Saya bilang ke yang muda-muda, "Masa Anda adalah 2024."
Joko Widodo ingin menggandeng Anda sebagai calon wakil presiden, tapi kemungkinan itu tertutup setelah Mahkamah Konstitusi menolak gugatan uji materi Undang-Undang Pemilu tentang masa jabatan presiden dan wakil presiden.…
Sebenarnya tidak tertutup, karena yang dipermasalahkan MK adalah legal standing penggugat, bukan substansi.
MK masih mungkin mengabulkan gugatan tersebut?
Kalau legal standing penggugat sesuai dengan ketetapan MK, masih mungkin.
Dari sisi Anda, masih ada kesempatan?
Saya tidak tahu. Sekarang saya pasif saja. Dulu saya juga selalu pasif, tidak pernah menyodorkan diri. Saat pilpres 2004, Pak SBY yang mengirim orang. Awalnya Bu Mega (Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan). Isunya, beliau meminta saya. Kemudian saya makan berdua dengan Bu Mega. Tapi tidak ngomong apa-apa. Malamnya, datang utusan Pak SBY. Saya pun bicara via telepon dengan Pak SBY. Saya bilang, "Boleh saja, asalkan kita bicara dulu apa yang mau kita kerjakan." Saat pilpres 2014 juga begitu, Bu Mega yang menetapkan. Saya pun tidak pernah membawa partai. Jadi posisi saya diminta secara personal. Apa alasannya? Demi bangsa dan negara.
Apakah benar, di Istana Bogor, Jokowi meminta Anda bersama-sama melanjutkan pemerintahan pada 2019?
Ha-ha-ha.... Saya dua kali menjadi wakil presiden orang Jawa. Mereka berbeda dengan orang Bugis, orang Batak, ataupun orang luar Jawa lain yang to the point. Pak Jokowi itu bicaranya halus dan kita paham. Yang saya pahami kurang-lebih begitu.
Persisnya bagaimana?
Istilahnya sama dengan don't change the winning team, jangan mengubah tim yang sudah kuat. Mungkin mereka menilai saya yang paling mendekati di antara syarat-syarat yang ada, yang dibutuhkan saat ini. Tapi ada masalah konstitusi. Saya bukan hanya tidak mau, tapi juga tidak bisa secara konstitusi.
Anda sampaikan itu kepada Jokowi?
Iya.
Anda tidak mau karena ingin beristirahat?
Waktu itu saya berbicara kepada Pak Jokowi, "Sudahlah, Pak. Saya mau istirahat." Beliau mengatakan, "Tapi ini untuk bangsa. Negara butuh." Wah, kalau begitu, saya mengalah. Sebenarnya saya tidak punya ambisi apa-apa. Tapi, kalau untuk kepentingan negara, saya merasa terhormat. Kalau saya bisa memberikan sumbangan, ya sudah. Tapi saya tidak pernah meminta.
Jika ada yang meminta?
Akan saya pikirkan apa manfaatnya dan apakah bisa. Walaupun jelas, saya ingin istirahat. Tapi, di atas istirahat, masih ada kepentingan bangsa dan negara. Kalau memang untuk kepentingan bangsa dan negara, saya siap.
Apakah betul Iriana Jokowi juga berbicara dengan istri Anda soal permintaan tadi?
Saya tidak tahu. Istri saya jarang mencampuri urusan politik.
Banyak yang mengatakan PDIP ingin sekali Anda kembali mendampingi Jokowi. Karena itu, ada gugatan uji materi ke MK….
Memang banyak yang meminta. Apalagi setelah Mahathir (Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad) menang. Jadi, sekarang, umur sudah tidak lagi jadi masalah. Tapi masalah saya lebih berat, masalah konstitusi. Jadi sulit sekali.
Bagaimana dengan peluang Anda menjadi calon presiden, yang masih terbuka lebar?
Saya tidak pernah bicara begitu. Tapi Demokrat mengajukan wacana itu. Ya, saya berterima kasih atas keinginan itu walaupun kami belum membicarakannya.
Dalam pertemuan Anda dengan SBY pada Senin dua pekan lalu, apa yang dibicarakan?
Setiap tahun, saya bersilaturahmi hanya ke beberapa orang. Pertama, keluarga yang lebih tua dari saya. Karena itu, saya selalu ke Makassar untuk mengunjungi tante dan kakak tertua saya. Di Jakarta, yang saya datangi adalah yang lebih tinggi dari saya, yaitu presiden. Karena itu, saya mengunjungi tiga mantan presiden, Bu Mega, Pak Habibie (Presiden RI ketiga), dan Pak SBY. Dulu Pak Harto (Presiden RI kedua) juga saya datangi. Jadi saya rutin datang ke Pak SBY. Kebetulan momennya pilpres. Bagaimana lagi? Masak, karena ada momen pilpres saya tidak datang ke Pak SBY?
Apakah SBY berbicara soal kemungkinan berkoalisi?
Tidak. Beliau itu orangnya halus. Kami berbicara seperti biasa saja walaupun juga membahas pilkada dan sedikit pilpres. "Bagaimana ini pilpres?" Saya katakan, "Bapak, lah, yang punya partai, saya tidak punya partai." He-he-he.
Apakah Anda punya peluang maju bersama Demokrat?
Tidak mudah, karena butuh 20 persen (presidential threshold). Demokrat sendiri belum cukup. Sedangkan partai lain kelihatannya sudah punya calon masing-masing.
Bagaimana dengan Golkar?
Golkar kan telanjur bikin Go-Jo (Golkar-Jokowi). Ha-ha-ha....
Tapi Demokrat sudah getol memasangkan Anda dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY)....
Karena AHY memang masih dalam tahap cawapres kalau mau ikut pilpres. Dia belum cukup senior untuk menjadi capres. Ya, saya hargai dan saya berterima kasih, tapi kami belum mengambil keputusan.
(Rabu pekan lalu, Ketua Tim Ahli Wakil Presiden Sofjan Wanandi mengatakan Kalla sudah menolak wacana Demokrat mengusung dan memasangkannya dengan AHY. Sofjan menyebutkan Kalla sudah memutuskan pensiun dan hanya akan membantu Jokowi dalam pemilihan presiden 2019.)
Atau jangan-jangan Anda berpasangan dengan Anies Baswedan?
Tidak. Capres dengan cawapres harus berbeda. Saya terlalu banyak kesamaan dengan dia. Walaupun lahir di Jawa, dia tidak terlalu dikenal sebagai orang Jawa.
Anda dengan AHY sangat berbeda….
Ya, perbedaannya banyak. Malah hampir semuanya berbeda.
Artinya Anda lebih cocok dengan AHY?
Kalau dari sisi teori di mana capres dan cawapres harus saling menambah elektabilitas, iya. Tapi kami belum membicarakannya. Apalagi butuh 20 persen atau setidaknya tiga partai.
Kalau Anda sudah bersedia, Demokrat akan lebih mudah merangkul dua partai lain.…
Ha-ha-ha.... Belum tentu. Mereka kan sudah ada kandidat masing-masing. Misalnya Prabowo, sudah lama dia mengikat kebersamaan dengan PKS. Yang masih mencari-cari posisi, ya, PAN dan PKB. Yang lain boleh dibilang sudah pasti.
Bagaimana kalau partai lain bergabung dan meminta Anda maju?
Belum kami bicarakan, karena hal seperti itu tidak bisa dibicarakan sendiri.
Partai mana saja yang sudah datang untuk meminta Anda menjadi calon presiden?
Saya ketemu-ketemu saja. Yang ada di media, ya, Demokrat.
Pekan lalu, Anda bertemu dengan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Sohibul Iman?
Kami hanya berbicara soal keumatan. Kami berdiskusi, keumatan jangan sampai berlebihan karena kita semua adalah umat. Jangan menganggap hanya kelompok terbatas yang menjadi umat.
Kabarnya PKS juga ingin mendorong Anda sebagai calon presiden….
Tapi dia sudah mempersiapkan sepuluh capres, termasuk Sohibul Iman dan Aher (Ahmad Heryawan).
Tapi ada tawaran dari PKS?
Tidak.
Bagaimana dengan Partai Amanat Nasional?
Tidak juga. Saya ketemu dengan Pak Zul (Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan) tidak bicara politik.
Jika maju sebagai calon presiden, Anda akan berhadapan dengan Jokowi….
Itu yang kami hindari. Pak Jokowi menghindari, saya pun menghindari. Jika harus berlawanan dengan Presiden, tentu saya dalam posisi yang tidak enak. Dan juga sulit. Tidak mungkin saya mencela Pak Jokowi, karena itu sama saja dengan mencela diri saya sendiri. Kemudian, bagaimana mengatakan saya lebih baik daripada Pak Jokowi padahal saat ini kami bersama?
Kalau demi kepentingan negara?
Itu makin sulit rumusnya. Ha-ha-ha.... Dulu saya mengatakan "lebih cepat lebih baik" saja Pak SBY bingung. Saya merasa tidak pernah mengkritik Pak SBY saat kampanye, karena mengkritik dia berarti mengkritik diri saya sendiri. Berat berkampanye tanpa mengkritik.
Ada juga pihak yang menilai Anda lebih cocok sebagai kingmaker pada 2019.…
Tergantung apa yang dimaksud dengan kingmaker. Kalau dalam arti riil, punya partai, tidak bisa karena saya bukan pemimpin partai. Tapi, kalau mendukung, saya pasti akan mendukung yang terbaik. Menurut saya, dilihat dari calon-calon yang ada, Pak Jokowi sudah berpengalaman. Lagi pula, bagi saya, beliau tidak punya niat selain memajukan negara ini.
Menurut Anda, saat ini Jokowi masih yang terbaik?
Ya, dibanding suara-suara yang muncul. Karena itu, dalam pilpres kali ini, yang dipertentangkan bukan capres, melainkan cawapres. Boleh dibilang Pak Jokowi sudah mempunyai suara paling tinggi, walaupun belum mencapai 50 persen. Tinggal siapa cawapresnya yang bisa menambah suara.
Menjelang pembukaan pendaftaran calon presiden dan wakil presiden pada awal Agustus nanti, Jokowi tampak masih galau memilih calon wakil presiden.…
Seperti yang saya katakan tadi, ada perubahan sikap dalam masyarakat dan tumbuh soliditas dari kelompok Islam. Karena itu, pilpres 2019 menarik karena yang menentukan bukanlah capres, melainkan cawapres. Katakanlah Pak Jokowi sudah punya suara 40 persen, kemenangannya nanti ditentukan oleh cawapresnya yang sesuai dengan kebutuhan dan pandangan masyarakat saat ini.
Bagi pemilih Islam, elektabilitas Jokowi masih kurang.…
Karena itu, teman-teman di sana berharap saya menjadi jembatan atau menambah elektabilitas di situ, walaupun Pak Jokowi juga sudah berusaha dengan sangat keras.
Tanpa Anda, Jokowi akan kesulitan merangkul pemilih Islam?
Salah satu syarat memang cawapresnya harus dekat dengan kelompok Islam. Saya selalu mengatakan, syarat cawapres itu harus bisa menambah suara pasangan. Lalu, kemampuannya harus setara dengan capres karena, jika terjadi apa-apa, dia yang akan menjadi presiden. Yang terakhir, dia punya kemampuan di bidang ekonomi, karena itu yang menjadi masalah dewasa ini. Kalau ekonomi kita tumbuh 6,5 persen seperti zaman Pak SBY dulu, akan gampang terpilih. Sampai-sampai banyak pihak yang dengan bangga mengatakan, "Sandal jepit yang mendampingi Pak SBY pun (pasti menang)."
Hal itu bisa terjadi pada 2019?
Tidak, karena ekonomi kita hanya tumbuh 5 persen.
Apakah faktor dari partai atau nonpartai masih relevan?
Saat ini tidak ada partai yang menjadi mayoritas. Selain itu, terjadi persaingan di antara partai pendukung. Kan, Pak Jokowi dari PDIP, enggak mungkin (calon wakil presiden juga dari PDIP). Lagi pula rakyat ingin yang berbeda. Selalu harus yang berbeda dan saling melengkapi.
Andalah yang sangat diterima oleh PDIP….
Iya. Saya dekat dengan semua partai, bisa bicara dengan semua partai. Tapi itu soal pilihan-pilihan yang sesuai saja.
Yang sering menyebut nama Anda adalah Puan Maharani, karena dalam pemilihan presiden 2024 Anda tidak mungkin maju sebagai calon presiden sehingga anak-anak muda PDIP akan aman mencalonkan diri….
Pilpres 2024 memang menarik karena akan menjadi pertarungan anak-anak muda sekarang.
Selain Anda, nama yang disebut-sebut akan menjadi calon wakil Jokowi adalah Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil. Kabarnya Anda pun mendukung Sofyan. Komentar Anda?
Bagi saya, Pak Sofyan itu ibarat kunci inggris, apa saja bisa. Dia sudah pernah memegang lima kementerian: Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Badan Usaha Milik Negara, Kementerian Koordinator Perekonomian, Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional, serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Itu rekor di Indonesia. Tidak pernah ada orang Indonesia yang pernah menjadi menteri di lima kementerian. Dan di semua kementerian itu, dia oke.
Bagaimana kemampuannya menggaet pemilih Islam?
Dari sisi agama, dia merupakan salah satu yang terbaik di kabinet karena dia bisa berkhotbah. Saat datang dari Aceh ke Jakarta, dia tinggal di masjid, menjadi marbut. Cukup lama, katanya dua tahun. Saat bekerja, baru dia berhenti menjadi marbut. Artinya, memenuhi syarat. Hanya, dia agak kurang bergaul dengan organisasi Islam walaupun dia wakil saya di Dewan Masjid Indonesia.
Anda mendukung Sofyan sebagai calon wakil Jokowi?
Ya. Mendukung dalam arti dia memenuhi kriteria yang dibutuhkan.
Sofyan pernah berbicara dengan Anda soal itu?
Belum. Ini baru pertama kalinya saya mendengar. Ha-ha-ha....
Muhammad Jusuf Kalla | Tempat dan tanggal lahir: Watampone, Sulawesi Selatan, 15 Mei 1942 | Pendidikan: Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin, Makassar (1967) | Karier: Wakil Presiden RI (2004-2009 dan 2014-sekarang), Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (2001-2004), Menteri Perindustrian dan Perdagangan (1999-2000), anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (1982-1999) | Organisasi: Ketua Dewan Pengarah Inasgoc (2017-2018), Ketua Dewan Masjid Indonesia (2012-sekarang), Ketua Umum Palang Merah Indonesia (2009-sekarang), Ketua Umum Partai Golkar (2004-2009) | Bidang usaha: Komisaris Utama PT Bukaka Singtel International (1995-2001), Direktur Utama PT Kalla Inti Karsa (1988-2001), Direktur Utama PT Bumi Sarana Utama (1988-2001), Komisaris Utama PT Bukaka Teknik Utama (1988-2001), Direktur Utama PT Bumi Karsa (1969-2001), Direktur Utama NV Hadji Kalla (1969-2001)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo