Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI sebelah Gedung Bursa, Amsterdam, seorang pedagang sibuk menata kembali aneka pakaian yang tengah dijajakannya. Senin pengujung April lalu, Filip Kordunov, sang pedagang, menawarkan baju, kaus, dan celana di sebuah rak pakaian. Imigran asal Hungaria yang sudah empat tahun menetap di Belanda ini selalu mengikuti Koninginnedag atau perayaan Hari Ulang Tahun Ratu dengan membuka lapak aneka pakaian murah.
Kordunov, yang sehari-hari berdagang di Pasar Diemen, Amsterdam, menjual aneka pakaian itu dengan harga sekitar 5 euro (setara dengan Rp 60 ribu) setiap helai, jauh lebih murah dibanding harga toko yang bisa lebih dari 10 euro (Rp 120 ribu). Kordunov memperoleh barang-barang murah itu dari temannya, seorang Belanda yang menjadi grosir. Dia tidak tahu pasti dari mana temannya mendapatkan barang-barang itu. Yang terang, dengan harga miring itu, Kordunov memperoleh keuntungan lumayan.
Meski begitu, dalam perayaan Hari Ulang Tahun Ratu Belanda atau Hari Ratu kali ini, dia tak terlalu berharap mengantongi laba melimpah. ”Ya, seratus-dua ratus euro sudah lumayan. Asalkan cukup untuk beli bensin, saya sudah senang,” kata Kordunov, yang tinggal di daerah Stadion Ajax lama, Amsterdam Timur.
Pedagang lain yang mencoba menangguk untung pada perayaan Hari Ratu adalah Mario Kuijpers. Seperti Kordunov, pria muda asal Paramaribo, Suriname, itu juga berdagang pakaian murah dan memperoleh barang dagangannya dari seorang temannya yang mempunyai toko grosir. Dia membelinya secara kiloan, sehingga bisa mendapat harga lebih murah. Di lapaknya, Kuijpers memajang harga antara 3 dan 5 euro per helai. ”Tapi, kalau orang masih mau menawar, bisa dijual dengan 1,5 euro,” ujar pria yang sehari-hari berdagang di Dapper Markt, Amsterdam, itu.
Dalam perayaan Koninginnedag, pedagang seperti Filip Kordunov dan Mario Kuijpers memang sangat banyak. Mereka berderet sepanjang Jalan Dam, dari depan Stasiun Sentral Amsterdam hingga Surinaamseplein, dekat Museum Heineken di Stadhouderkade. Sebagian besar menjajakan barang dagangannya dalam kram, lapak berbentuk tenda, di depan toko yang libur hari itu. Para pedagang itu telah menyiapkan lapak mereka sejak semalam. Mereka menandai petak tempat berjualannya dengan kapur putih.
Barang-barang yang mereka jajakan beragam. Selain pakaian, banyak dijual barang kelontong dan benda kerajinan tangan. Misalnya pasangan suami-istri asal Cile, Pedro Sanchez dan Maria Sanchez-Gonzales, yang menjual huruf kecil-kecil dari kayu. Pasangan yang sehari-hari berdagang di pasar di Amsterdam Barat itu mendapatkan barang-barang dagangannya dari importir asal Cile. Yang cukup menarik dagangan yang dijajakan Karel Oosterwijk asal Amsterdam Utara. Dia menjual minuman kaleng dengan label daun ganja. ”Ya, ini hanya merek dagang, bukan sepenuhnya ganja,” dia menjelaskan.
Boleh dibilang, pasar murah dalam perayaan Hari Ratu mulai marak pada 1986, sekitar enam tahun setelah Ratu Beatrix naik takhta menggantikan ibunya, Ratu Juliana. Di masa Ratu Juliana, perayaan Hari Ratu, yang jatuh pada 30 April, selalu diselenggarakan di Istana Soestdijk, dengan defile oleh orang dewasa dan aubade oleh murid sekolah yang sengaja datang ke kantor wali kota. Desa-desa menggelar pelbagai acara, seperti pentas tari, menyanyi, dan musik jazz.
Ketika Ratu Beatrix bertakhta, perayaan itu mengikutsertakan keluarga kerajaan dan rakyat dari seluruh Belanda. Dalam pidatonya pada perayaan Hari Ratu 1986, Ratu Beatrix, yang juga seorang sosiolog, menyatakan rakyat diperbolehkan berjualan apa saja tanpa harus meminta izin. Mereka yang berjualan dalam perayaan itu dibebaskan dari pajak pertambahan nilai dan pajak tempat usaha.
Pidato itulah yang kemudian mendorong rakyat Belanda, termasuk para imigran, mendirikan lapak barang murah. Sementara para pedagang seperti Kordunov menawarkan barang baru secara murah, masyarakat di hampir semua kota di Negeri Kincir Angin menjual barang bekas. Mereka menjajakannya di kram atau digelar di jalanan di depan toko. Marak dan meriah.
Boleh dibilang Koninginnedag kemudian identik dengan hari berburu dan berbelanja. Aneka barang, sebagian besar bekas, yang digelar di lapak-lapak itu antara lain sepeda, alat masak, barang elektronik, pakaian, buku, piringan hitam, kaset, CD, dan DVD. Harga yang tertera pada label 3-5 euro, bahkan ada yang cuma 1 euro (sekitar Rp 12 ribu). Tak jarang harga pada label itu masih bisa ditawar lagi.
Seorang ibu dan anaknya yang menjual CD dan DVD mengatakan harga tiap CD atau DVD hanya 3 euro per keping. Tapi dia bisa menjual dengan harga 1,5 euro kalau orang masih menawar. Makin sore, harga makin turun dan bisa mencapai 0,5 euro (Rp 6.000). Dengan harga semurah itu, seorang kolektor musik dapat menemukan CD atau DVD penyanyi atau orkes simfoni kesayangannya memainkan karya Bach, Mozart, dan Beethoven. Bila beruntung, mereka bisa mendapatkannya dalam jumlah banyak dengan kondisi masih bagus.
Yang menarik, dalam perkembangannya, pasar barang murah meriah itu kemudian menjadi ajang pendidikan wirausaha bagi anak-anak dan remaja. Makanya, dalam perayaan Hari Ratu, banyak dijumpai anak Belanda serta anak imigran dari Jepang, Cina, Turki, dan Maroko ikut berjualan barang murah. Bahkan anak-anak dan remaja itu sudah ikut mempersiapkan tempat berjualan.
Keterlibatan anak-anak dan remaja dalam pasar murah itu tak lepas dari peran orang tuanya. Para ibu di sana telah menanamkan pola pikir wirausaha kepada anak-anaknya: daripada meminta uang kepada orang tua (dari kinder-bijslag atau santunan anak), sesekali mereka mempunyai penghasilan sendiri.
Sebenarnya, kerja sama orang tua-anak dalam menjalankan bisnis bukan hal asing di negeri itu. Jika orang tua menjadi penyalur koran, misalnya, anaknyalah yang biasa mengantar koran kepada para pelanggan.
Sikap ini didukung oleh tiap orang tua yang memberikan pengalaman hidup dalam keseharian masyarakat Belanda. Contohnya, selain ikut dilibatkan berjualan pada hari istimewa itu, anak-anak terbiasa mengantar koran kepada pelanggan-pelanggan, karena orang tua mereka juga menjadi penyalur, untuk mendapat penghasilan tambahan. Bila orang tua mengemudikan mobil guna mengangkut barang dagangannya, anak-anak membantunya dengan membagikan bundel-bundel iklan bermacam perusahaan. Dengan kerja sama pengantar koran dan pengedar iklan seperti ini, beberapa orang mendapatkan penghasilan sampai 300 euro (Rp 3,6 juta).
”Mereka mengambil inisiatif sendiri. Melihat teman-temannya,” kata seorang ibu, mengomentari keterlibatan anaknya dalam bisnis. ”Toh, baik juga belajar berdagang sejak dini. Sama seperti orang belajar apa saja lebih dini lebih baik.”
Petang ketika pasar murah itu usai, anak-anak kembali ikut sibuk mengumpulkan barang yang tak terjual. Mereka mengemasnya dalam kardus sumbangan dari sebuah bank terkemuka Belanda dan kemudian membawanya pulang. Barang-barang itu—berupa mainan, pakaian, dan barang lain milik mereka—dimasukkan ke gudang di bawah apartemen atau di belakang rumah masing-masing. Tahun depan, saat perayaan Koninginnedag yang akan datang, barang-barang itu akan dijajakan kembali.
Asbari Nurpatria Krisna (Amsterdam),Nurdin Kalim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo