Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pria tua berpeci di layar televisi itu membacakan sesuatu. Orang-orang yang menyaksikannya berpelukan. Tak jauh dari mereka, ada orang membopong kantong-kantong besar. Di bagian lain, seseorang bercelana pendek melangkah santai dengan sebuah tas besar di bahu kiri serta kipas angin dan termos tergantung di tangan kanan. Di dekatnya, orang-orang menggulingkan sebuah mobil.
Pada Mei ini, citra-citra itu membangkitkan kenangan kita pada peristiwa 14 tahun silam di bulan yang sama: reformasi, kerusuhan, perampokan, penjarahan, pembakaran, penculikan, penembakan, penyerbuan, pendudukan gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat, demonstrasi di mana-mana, nilai dolar meroket, dan seterusnya. Kita akan mengenangnya dengan cara masing-masing. Dan Agung Kurniawan, perupa Yogyakarta, merekamnya dengan membuat keping-keping adegan tadi dalam bentuk ”gambar besi”—istilahnya untuk gambar yang terbangun dari susunan besi-besi tipis atau terali yang dilekak-lekuk sesuai dengan kebutuhan.
Keping-keping adegan peristiwa Mei 1998 dari terali besi itu memenuhi tembok galeri seni Umah Seni di Jalan Suwiryo Nomor 11, Menteng, Jakarta, pada 5-19 Mei ini. Besi-besi itu tidak menempel langsung di dinding, tapi berjarak sekitar sejengkal, sehingga sorotan lampu putih ke obyek tersebut menghasilkan bayang-bayang yang jatuh ke dinding. Bayangan dan obyek itu seakan-akan menyatu dan tumpang-tindih, yang membuat efek seperti gambar yang buram atau kembar. ”Efek ini seperti kenangan, yang juga samar-samar,” kata Agung pada Selasa pekan lalu.
Teknik dan bahan terali ini bukan yang pertama kali dipakai oleh Agung, seniman yang lebih akrab dengan gambar di kertas ketimbang instalasi. Dia sudah mencoba menggunakan besi itu sejak tiga tahun lalu dan pada 2011 menggunakannya dalam pameran ”The Lines that Remind Me of You” di Kendra Gallery, Kuta, Bali. Pameran Agung kala itu lebih personal. Dia mengangkat kenangan pribadinya, yang dibangkitkan oleh foto-foto tua di album keluarganya.
Kini ia kembali mengangkat tema politik. Gagasan pembuatan karya berjudul The Change 1998 itu, menurut Agung, berangkat dari pengalamannya bertemu dengan anak-anak muda. Mereka, kata seniman yang pernah kuliah di Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia Yogyakarta dan Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada ini, mungkin tak mengalami langsung peristiwa-peristiwa genting itu. ”Mereka hanya tahu, misalnya, bahwa ayahnya tiba-tiba dipecat, jalan-jalan dipalang, dan ada kerusuhan. Tapi ada kesan mendalam terhadap peristiwa itu, meski samar-samar hubungannya,” katanya.
Seniman kelahiran Jember, 14 Maret 1968, itu adalah pendiri Yayasan Seni Cemeti, yang kini menjadi Indonesian Visual Art Archive, serta galeri dan restoran Kedai Kebun di Yogyakarta. Karyanya sudah dikoleksi kolektor perorangan dan lembaga di beberapa negara, termasuk instalasi Becom(ing) Dutch Project di Van Abbe Contemporary Art Museum, Eindhoven, Belanda.
Sejak dulu Agung dikenal sebagai perupa yang sangat tangkas mengangkat tema sosial dan politik. Misalnya lewat Very Very Happy Victim pada 1996, yang menampilkan sepuluh manusia yang digantung terbalik dengan wajah bertopeng senyum lebar. Karya ini mencerminkan situasi politik Orde Baru, ketika masyarakat terbuai oleh kenyamanan semu dan abai terhadap persoalan sosial-politik.
Dia sempat vakum tak berpameran solo sejak 2006 dan mulai kembali tampil tahun lalu. Pamerannya kali ini bertajuk ”Actus Contritionis, Gambar Bayang-bayang Ingatan”. ”Actus Contritionis” adalah istilah Latin untuk ”doa tobat” dalam tradisi Katolik. Pada saat itu, umat Katolik akan mengingat-ingat pikiran, perkataan, dan perbuatannya di masa lalu untuk memastikan apakah hal-hal itu sudah sesuai atau menyimpang dari ajaran moral.
Enin Supriyanto, kurator pameran ini, bersama Agung menyajikan karya-karya terbaru Agung dalam tiga bagian: ruang privat, ruang publik, dan automaton. Pada ruang privat, mereka menampilkan, antara lain, Self Portrait, potret karikatural Agung berupa manusia berkepala tikus berkacamata yang sedang duduk, dan The Watcher, manusia berkaki dan bertanduk rusa sedang mengawasi dua anak kecil yang berboncengan dengan sepeda roda tiga di beranda rumah.
Peristiwa 1998 masuk kelompok kedua, yang juga disertai instalasi sepatu The Shoes Diary: Adidas Tragedy Jakarta 1998. Sepasang sepatu itu biasa saja bentuknya, tapi bagian dalam telapak kakinya bergambar anak muda yang sedang asyik mendengarkan musik di earphone tapi di kepalanya menyembur darah. Sepatu itu berada di atas sebuah kardus putih yang penuh gambar etsa para pemuda yang bergelimpangan, sepatu-sepatu dan televisi-televisi yang berceceran di jalan. ”Kenangan itu seperti kerikil dalam sepatu,” kata Agung. ”Selama kerikil itu di sana, kita akan selalu terganggu.”
Menurut Agung, karya sepatunya ini merupakan bagian dari proyek seni ”Buku Harian Sepatu” yang dia siapkan untuk Biennale Gwangju, Korea Selatan, pada September nanti. Proyek ini akan mengangkat peristiwa-peristiwa penting di berbagai kota di dunia, seperti Jakarta; Phnom Penh, Kamboja; dan Beijing, Cina.
Selain itu, Agung menampilkan hubungan seni dan kekuasaan dalam dua karya: Presiden Sukarno sedang mengamati sebuah patung sambil dikelilingi para seniman dan Presiden Soeharto sedang melihat gamelan. Dia juga memamerkan bagian dari ”seri bangsa-bangsa”, yakni seri karya yang menggambarkan tokoh-tokoh yang mempengaruhi Indonesia. Salah satunya Che Guevara dalam karya Portrait of Che After Jesus Christ. Tokoh lain yang sudah dia bikin tapi tak dipamerkan kali ini adalah Saddam Hussein, John F. Kennedy, dan Ronald Reagan.
Pada kelompok karya ketiga, Agung lebih banyak melakukan kritik terhadap dirinya dan sesama seniman, seperti Agus Suwage, Jompet, dan Uji Handoko. Instalasi Artist is Beautiful Machine itu berupa tiga robot berkaki empat yang dirantai pada sebuah tonggak di tengahnya. Tiap robot setinggi pinggang itu punya ”tangan” berupa garu, sapu, dan kapak, yang merusak atau menghapus tulisan dari kapur di lantai. Kata-kata itu dipungut Agung dari karya para sahabatnya, seperti In Account Number We Trust dari karya Handoko.
Di sini Agung masih bicara soal kenangan dan upaya menghapusnya. Namun penghapusan itu diperlukan sebagai kritik bagi kesenian. ”Seni kontemporer itu mengejar keindahan, yang dapat menjerumuskan sang seniman. Maka mesin ini berupaya merusaknya sebagai kritik atas pemujaan terhadap keindahan,” katanya.
Sebagai kritik diri, mengapa Agung tetap menggunakan ”gambar besi” untuk karyanya ini? ”Media dasar saya itu drawing (gambar). Gambar besi ini hanya bentuk lain dari gambar, meski ditemukan tak sengaja. Tapi dasarnya tetaplah gambar, yakni garis-garis,” katanya.
Namun, kata Agung, ”gambar besi” punya efek seperti instalasi. ”Ia tampil berbeda bila disajikan dengan cara berbeda dan di tempat yang berbeda,” katanya. Efek ini dimanfaatkannya ketika menyajikan karyanya, misalnya dengan memainkan warna lampu. Lampu warna kuning digunakannya pada karya seri keluarga karena menghasilkan kesan kehangatan. Sedangkan lampu warna putih menghasilkan efek kekacauan dan buram pada bayang-bayang yang dihasilkannya, seperti ”gambar besi” peristiwa 1998.
Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo