Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Lena dan Teater Pemberdayaan

Lena Simanjuntak konsisten melakoni teater penyadaran. Kali ini dia berpentas bersama ibu-ibu asal Papua.

21 Mei 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perempuan 55 tahun itu tampak mengarahkan ­blocking para pemain. Sore itu, sebelum pementasan, ia masih melatih 19 perempuan asal Biak, Papua, membentuk formasi lingkaran di Teater Salihara. Mereka anggota Teater Orchide—teater yang menggunakan nama anggrek hitam Papua yang langka. ”Ingat posisi masing-masing. Konsentrasi, ya,” ujarnya.

Ia adalah Lena Simanjuntak-Mertes. Lulusan Jurusan Penyutradaraan Institut Kesenian Jakarta ini telah menetap di Jerman selama 28 tahun. Dia tinggal di Koeln bersama anak, cucu, dan suaminya, Karl Mertes. Sebagai teaterwan, ia di Jerman mencoba berlatih berbagai macam corak teater kontemporer. Ia pernah belajar pantomim pada tokoh pantomim Milan Sladek. Ia pernah mengikuti workshop ­Ludwig Flashen dari Teater Grotowsky dan Peter Brook.

Tapi jalan hidupnya adalah teater penyadaran. Jalan hidupnya itu yang membuat ia kerap bolak-balik antara Indonesia dan Jerman. Lena aktif di jaringan kerja perempuan kulit berwarna. Anggotanya imigran perempuan Italia, Spanyol, Kurdi, Turki, Eropa Timur, India, Korea, dan Afrika. Mereka mendiskusikan dan membicarakan soal rasialisme, diskriminasi, dan pelecehan seksual.

Ia pernah membuat teater terapi bagi anak-anak imigran Turki yang mengalami kekerasan dan diskriminasi. Dua tahun lalu, Lena terjun melatih para narapidana di penjara laki-laki Wuppertal, tak jauh dari Dusseldorf. ”Tadinya saya diremehkan. Saya perempuan, orang Asia, dengan teater pula. Tapi rupanya berhasil juga,” ujarnya.

Di Indonesia, pada 1999, ia membentuk Lembaga Keadilan dan Perdamaian bagi Perempuan. Pada 1999 itu dia pernah hidup di tempat lokalisasi kelas ekonomi rendah di Bangunsari, Surabaya. Dua bulan lamanya dia bergulat dengan persoalan pelacuran. Dia mendorong para pekerja seks itu menyuarakan masalah mereka dengan teater. Dia nyaris angkat tangan. Tapi ia kemudian berhasil mengajak para pekerja seks ini mementaskan lakon Padi Layu Bersemi Kembali di Hotel Grand Park, Surabaya.

Semenjak itu, Lena mengembara ke seluruh Indonesia. Ia sering pulang balik Jerman-Indonesia. Dengan teater dia mencoba mendekati pekerja rumah tangga, buruh migran, korban tsunami di Aceh, korban konflik di Poso, korban penggusuran, nelayan, buruh tani, dan pedagang. Ia mengaku tak mudah membongkar persoalan para perempuan ini. Ada luka di hati, tubuh, dan pikiran mereka yang demikian mengendap. ”Pada dasarnya mereka butuh ruang untuk bersuara. Saya selalu bilang, ‘Jika dipendam, luka itu akan tetap hidup di tubuhmu.' Lebih baik dikatakan.”

n n n

Dan kini di Papua, Lena mendampingi para aktivis gereja dan seniman perempuan Biak. Para perempuan Biak ini diajak mengeluarkan unek-uneknya. Mereka diajak mencermati ketidakadilan di sekitar mereka serta menggali dan melepaskan trauma yang ada dalam diri.

Saat proses itu berlangsung—bagaikan proses belajar bersama—dalam setiap prob­lem yang diungkapkan, selalu ditekankan oleh Lena agar dicari data dasarnya. Lena membiarkan kelompok teater yang dibimbingnya berproses dengan bahasa atau dialek masing-masing. Tak jadi masalah baginya teater disajikan dengan bahasa setempat.

Lena menceritakan bagaimana ternyata mereka memiliki istilah-istilah sendiri dalam bermain. Saat latihan blocking, misalnya, para pemain mempunyai isyarat supaya tak membelakangi penonton. ”Pan­taaat…, begitu mereka berteriak mengingatkan pemain lain,” ujarnya geli. Di Papua, Lena mengemas sebuah cerita pejuang perempuan Papua pada zaman penjajahan Jepang. Di sana ada legenda tentang Angganetha. Angganetha dikisahkan mengidap penyakit kusta dan dikucilkan di Pulau Rani. Dia berdoa untuk kesembuhannya dan bangkit melawan Jepang. Sayang, dia mati dengan kepala terpenggal.

Dalam pertunjukan teater ini, heroisme Angganetha oleh Lena ditafsirkan lain. Angganetha dibangkitkan untuk melawan kusta sosial, yaitu ketidakadilan ekonomi, hukum, kesempatan kerja, kesehatan, dan pendidikan. Angganetha keluar dari pengasingannya untuk melawan kesewenangan yang merampas hak asasi manusia.

Pemain teater ini rata-rata adalah mama-mama yang sudah setengah baya. Malam itu kita melihat para mama yang mengenakan pakaian adat membentuk lingkaran. Di belakangnya, para pemuda memukul tifa. Satu per satu mama itu mengisahkan problem yang terjadi pada diri mereka. Satu per satu mereka menceritakan Papua. Seseorang berperan sebagai moderator bagi mereka—diperankan oleh Pendeta Agustina Y. Kubiari.

Pentas mereka boleh dikatakan sangat sederhana. Lugu. Janganlah membandingkan mereka dengan teater profesional. Tapi lihatlah bagaimana mereka dengan jujur menceritakan anak mereka yang tewas karena minuman keras atau kekerasan dalam rumah tangga. Tiba-tiba, setelah berbicara, mereka bisa bergerak dan bernyanyi secara alami. Pendeta Agustina secara jenaka menjembatani tiap curhat dengan membawa buku sontekan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Kocak. Sekaligus satir.

Dian Yuliastuti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus