Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MOBIL patroli polisi hilir-mudik di Jalan Tebet Dalam, Jakarta Selatan, Rabu sore dua pekan lalu. Sesekali sirenenya menyalak. Awalnya, Raden Nuh bergeming. Lama-lama pemilik portal Asatunews.com tersebut terusik juga. Dia mengintip ke luar jendela. "Kantor ini sekarang terus diawasi," kata Raden kepada tamunya.
Raden berkantor di lantai 2, rumah nomor 5, yang diubah menjadi kantor redaksi sekaligus pengacara miliknya. Ruang kerjanya menghadap jalan. Dari balik jendela, pria 45 tahun ini bisa leluasa melihat siapa saja yang masuk dan keluar dari kantor Asatunews.
Dari jendela itu, sehari sebelumnya, dia melihat puluhan polisi berpakaian preman menggeruduk kantornya. Edi Syahputra, adiknya, yang menduduki jabatan Komisaris Asatunews, menjadi sasaran penangkapan. PT Telekomunikasi Indonesia melaporkan Edi atas tuduhan pemerasan—setelah menyerang perusahaan itu lewat rentetan tuduhan di Asatunews.com dan akun Twitter TM2000Back.
Tim penyelidik Subdirektorat Cyber Crime Kepolisian Daerah Metro Jaya menangkap Edi di ruang kerja Raden, tak lama setelah dia menerima duit Rp 50 juta yang diduga hasil pemerasan. Dari jumlah tersebut, sebesar Rp 49.650.000 disita dari laci meja Raden. Sisanya ditemukan tim di dalam tas.
Setelah penangkapan Edi, tim penyidik berencana memanggil Raden, yang menjabat Komisaris sekaligus Pemimpin Umum Asatunews.com. Tapi, belakangan, Raden yang dikenal sebagai pembuat akun Twitter Triomacan2000 itu juga menjadi target operasi. Kali ini yang melaporkan Raden adalah Abdul Satar, penasihat PT Tower Bersama Infrastructure. Dalam laporannya, Satar juga mengadukan Direktur Utama Asatunews Koes Hardjono alias Harry.
Raden, yang mulai merasa diincar, yakin tak akan diciduk polisi. "Mana mungkin? Kawan aku semua orang itu," ujarnya. Kawan yang dimaksud saat itu ialah para petinggi di kepolisian.
Omongannya sangat meyakinkan. Lebih-lebih ketika telepon selulernya berdering. Sebelum mengangkat telepon, menurut seorang kawannya, dia menyebut nama si penelepon: seorang jenderal aktif di lingkungan Trunojoyo—kode untuk Markas Besar Kepolisian RI, yang terletak di Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan. Pembicaraan via telepon tersebut tak berlangsung lama. Kata dia, sang jenderal minta bertemu.
Sesumbar Raden tak terbukti. Empat hari kemudian, Ahad dinihari pekan lalu, Direktorat Kriminal Khusus menangkapnya. Tim yang sama telah meringkus Harry dua hari sebelumnya di rumahnya di kawasan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Mereka ditahan di Polda Metro Jaya. Sejak itu pula akun TM2000Back, yang merupakan pengganti akun Triomacan2000, tak pernah mencuit lagi.
SELAMA dua tahun terakhir, akun Triomacan2000 cukup berpengaruh—terutama bagi pengguna media sosial yang mempercayai cuitannya. Akun ini merupakan pengganti Indahsari99, juga buatan Raden, yang berkicau tentang korupsi hingga dapur keluarga para petinggi—sebagian datanya bisa diverifikasi, tapi yang lain lebih banyak khayalan. Tak aneh jika sebelum dibekukan Twitter atas pengaduan banyak orang pada Juni lalu, jumlah pengikutnya setengah juta lebih.
Setelah Triomacan2000 dibekukan, muncul akun pengganti TM2000Back. Cuitannya sama persis dengan pendahulunya. Jumlah pengikutnya pun cepat bertambah hingga melampaui seperempat juta. Akun baru inilah yang kemudian menyeret Edi sebagai tersangka kasus pemerasan pejabat Telkom.
Julukan "perampok" dalam cuitan TM2000Back yang dialamatkan kepada mantan Direktur Utama Telkom Arief Yahya selalu terhubung dengan pemberitaan miring tentang perusahaan pelat merah tersebut di portal Asatunews.com. Edi, yang menjabat Komisaris Asatunews, meminta sejumlah dana jika pejabat Telkom ingin serangan virtual tersebut dihentikan.
Seorang anggota staf Asatunews mengungkapkan, ada beberapa akun lain yang juga berhubungan dengan kantornya. Di antaranya Denjaka dan Berantas3. Akun terakhir inilah yang membuat Abdul Satar geram karena menyebut dia bersama Wahyu Sakti Trenggono, pemilik PT Tower Bersama Infrastructure Tbk, sebagai mafia telekomunikasi.
Sama dengan TM2000Back, cuitan di akun Berantas3 selalu terhubung dengan portal Asatunews.com. Menurut Satar, berulang kali dia menyetorkan sejumlah dana kepada Raden dan Harry. "Sifatnya on-off. Kalau dibayar, serangan berhenti. Lalu muncul lagi, minta bayar lagi," kata Satar. Dia bersama Trenggono ditemui Tempo di Menara MTH, Jakarta Selatan.
Dalam laporannya kepada penyidik Polda, Satar terakhir kali menyerahkan uang kepada Raden sebesar Rp 325 juta dalam dua kali pertemuan di Restoran Larazeta, Jalan Tebet Barat Raya, Jakarta Selatan. Sebelumnya, dia memberikan Rp 50 juta tunai kepada Harry untuk menghapus gempuran Berantas3. "Sudah dibayar, tapi serangan tak dihentikan," ujar Satar.
Soal duit tersebut, Raden punya versi sendiri. Duit yang diberikan Satar dan Trenggono, kata dia, merupakan bagian dari komitmen investasi di Asatunews. Ia mengatakan semua bermula dari pertemuannya dengan Trenggono pada Juni 2013 di Opal Cafe, Tebet. Kala itu, masih menurut dia, Trenggono berjanji membiayai kebutuhan operasional Asatunews secara bulanan.
Menurut Raden, pemodal awal Asatunews ada tiga: politikus Partai Golkar, Bambang Soesatyo; politikus Gerindra, Desmond J. Mahesa; dan politikus PDI Perjuangan, Herman Hery. Herman membantah. Namun Desmond membenarkan bersama Bambang menyumbang modal Asatunews. "Setelah memberikan uang itu, kami tak pernah lagi berhubungan dengan mereka. Tahu sendirilah kelakuan mereka sekarang," ujar Desmond.
Raden mengatakan semula ongkos operasional dari Trenggono mengalir lancar lewat Satar. Belakangan, ia menuduh keduanya mulai ingkar. "Uang dari Satar diberikan di Larazeta itu setelah kami kirim e-mail untuk menagih biaya bulanan," katanya.
Seorang anggota staf Asatunews mengatakan aliran dana operasional dari Trenggono dan Satar mandek sejak Januari lalu. Raden dan Trenggono, menurut dia, berbeda haluan dalam mendukung calon presiden. Raden mendukung Prabowo Subianto, sedangkan Trenggono memilih Joko Widodo. Belakangan, Trenggono memang aktif di Tim Transisi Jokowi.
Meski duit dari Trenggono seret, menurut dia, Asatunews tetap bisa membayar gaji, biaya listrik, Internet, dan telepon dari uang iklan yang dipasang Telkomsel, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Jasa Raharja. Ketika iklan tersebut mereka terima Maret lalu, Telkomsel dan OJK masing-masing membayar Rp 300 juta untuk iklan tiga bulan, sementara Jasa Raharja hanya Rp 50 juta selama sebulan. Namun duit tersebut hanya bertahan sampai Mei. "Bulan berikutnya kembali seret," ujarnya.
Trenggono membantah. "Di mana logikanya? Kalau saya investor di media itu, masak media itu juga yang menyerang saya?" katanya. "Kami berniat membantu, tapi kok ujung-ujungnya jadi ATM."
Meski berbeda versi soal latar belakang setoran dana, Raden dan Trenggono punya satu cerita yang sama: Abdullah Rasyid yang memperkenalkan mereka dalam pertemuan di Opal Cafe setahun lalu. Rasyid yang dimaksud ialah anggota staf khusus Menteri Koordinator Perekonomian era Hatta Rajasa.
Trenggono masih ingat omongan Rasyid, yang menghubunginya pertengahan tahun lalu: "Nanti saya atur, anak-anak itu cuma cari uang rokok." Saat itu, Trenggono masih aktif sebagai Bendahara Partai Amanat Nasional.
RASYID merupakan kawan Raden selama seperempat abad terakhir, sejak masuk Universitas Sumatera Utara pada 1988. Raden mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, sedangkan Rasyid di Teknik Kimia. Keduanya aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Medan.
Dua tahun lalu, menurut seorang saksi, Raden dan Harry terlihat mendatangi ruang kerja Rasyid di kantor Kementerian Koordinator Perekonomian. "Kami menjadi tim pelobi Hatta," kata Raden.
Keberadaan Rasyid sempat ramai diperbincangkan di jagat maya. Dia ketika itu sudah dikaitkan dengan akun Triomacan2000. Situs triomacan2000.net menyebutnya sebagai salah satu pengelola akun bersama Raden dan Syahganda Nainggolan. Nama terakhir adalah mantan Komisaris Independen Pelindo yang kini menjadi Ketua Dewan Direktur Lembaga Kajian Publik Sabang-Merauke Circle.
Pada September 2012, Rasyid melaporkan situs tersebut ke Polda Metro Jaya dengan tuduhan fitnah. "Saya kenal, mereka teman kuliah dulu di USU," kata Rasyid saat itu. "Tapi kan belum tentu mereka admin."
Seorang alumnus HMI yang mengenal keduanya mengungkapkan, berkat Rasyid, Raden dengan mudah memperoleh beberapa data dan informasi tentang dugaan korupsi di lembaga negara dan perusahaan pelat merah. Jaringan alumnus HMI mengeratkan hubungan mereka, termasuk dengan Hatta Rajasa, yang merupakan alumnus HMI Institut Teknologi Bandung.
Berkat kedekatannya dengan jaringan Hatta, kata aktivis itu, pada 2010 Raden sempat duduk sebagai Direktur PT Berdikari Insurance, anak perusahaan milik negara PT Berdikari (Persero). Belakangan, menurut dia, hubungan Raden dan Hatta merenggang setelah jabatan tersebut dicopot pada 2011.
Rasyid tak bisa dihubungi untuk dimintai konfirmasi. Adapun Hatta membantah mengenal Raden Nuh. "Bisa saja mereka (Rasyid dan Raden) kolega, tapi bukan berarti ada kaitan dengan saya," kata Hatta lewat pesan pendek. Dia justru merasa paling banyak diserang Triomacan. "Saya bersyukur tidak ada lagi Triomacan."
Belakangan, Yulianis, saksi kunci kasus korupsi Wisma Atlet SEA Games XXVI Palembang, juga bergabung ke kelompok ini. Bukan kebetulan jika kemudian Triomacan banyak membela mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Akun ini juga banyak mengetahui informasi perusahaan-perusahaan milik Muhammad Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Demokrat, bekas bos Yulianis. Dimintai konfirmasi soal ini, Yulianis menolak berkomentar.
Raden tutup mulut jika disinggung soal orang-orang yang memasok data dan informasi akun Triomacan2000. "Banyak," ujarnya. Raden mengklaim kini "lebih banyak berada di lapangan untuk mengerjakan tugas negara".
Raden juga mengklaim adanya tugas-tugas rahasia—dia enggan menyebutkan detailnya—yang datang dari lingkaran Istana Negara. "Semua selalu lewat Sekretaris Kabinet," katanya. Itulah sebabnya, menurut Raden, Sekretaris Kabinet Dipo Alam pernah menawarinya jabatan direktur BUMN hingga konsulat jenderal. Dipo membantah informasi ini.
Raden mengatakan tak pernah menggunakan akun miliknya untuk memeras. "Bapak dari awal melarang saya menerima uang haram," katanya. Bapak yang dimaksud Raden ialah Kepala Polda Metro Jaya 1998-2000, Komisaris Jenderal Purnawirawan Noegroho Djajoesman, yang diakuinya sebagai satu di antara beberapa "mentor".
Noegroho ikut kecatut setelah Raden Nuh tertangkap. Menurut seorang penyidik, ketika hendak ditangkap, Raden melawan sambil menyebutkan namanya. Nama yang sama juga terlontar ketika tim Direktorat Kriminal Khusus menggerebek adiknya. "Dia mencoba menggertak kami," ujar penyidik tersebut.
Raden mengatakan telah lama mengenal Noegroho. Ia mengatakan kerap berdiskusi dalam kelompok pertemuan yang diikuti beberapa pensiunan petinggi militer, kepolisian, dan lembaga intelijen negara. Tempatnya tak jauh dari rumah Noegroho. "Kami sering berkumpul membicarakan kasus korupsi," katanya. "Itu sebabnya Triomacan itu ada militer, polisi, dan intel."
Seorang aktivis yang mengetahui jejaring Raden tersebut mengatakan kelompok kecil itu semula menggagas "upaya memerangi korupsi". Raden mulai bergerilya setelah bertemu dengan kelompok tersebut pada 2011, kemudian menggunakan Twitter sebagai "alat perjuangan".
Semula, bahan kasus dan dana operasional dipasok kelompok yang kerap berkumpul di kawasan Cawang, Jakarta Timur, tersebut. "Belakangan, pendanaan kelompok ini seret dan tak berjalan lagi," ujarnya. "Tapi Raden masih sering bertemu dengan Noegroho."
Kenyataannya, bukan "upaya memerangi korupsi" yang dilakukan. Pengelola akun itu banyak berhubungan dengan tokoh-tokoh politik. Seorang saksi mata pernah melihat pengacara-pengacara tersangka Komisi Pemberantasan Korupsi datang ke kantor Nuh. Menurut narasumber yang sama, pengelola akun Triomacan juga menerima "proyek" untuk kepentingan salah satu kandidat pada pemilihan presiden lalu. Raden mengatakan mendengar tuduhan itu, tapi uang dari sang kandidat, menurut dia, tidak pernah sampai ke kantornya.
Kegiatan di akun itu pula yang membuat Raden dan kawan-kawan terjerat perkara. Sehari setelah kepolisian menangkap Edi, Raden mendatangi rumah Noegroho Djajoesman di kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Raden bercerita tentang penangkapan Edi dan mengadu kepada Noegroho tentang kemungkinan dia juga ditangkap. Noegroho pun menyediakan pengacara dari firma hukum miliknya setelah Raden Nuh benar-benar menjadi tersangka.
Sejak itu, macan-macan kehilangan aumannya di dunia maya.
Tim Investigasi Proyek Triomacan Penanggung jawab: Budi Setyarso, Philipus Parera Pemimpin proyek: Mustafa Silalahi Penyunting: Budi Setyarso, Philipus Parera Penulis: Agoeng Wijaya, Sukma N. Loppies, Agung Sedayu, Mustafa Silalahi, Mahardika Satria Hadi Penyumbang bahan: Agoeng Wijaya, Agung Sedayu, Sukma N. Loppies, Mustafa Silalahi, Rusman Paraqbueq, Mahardika Satria Hadi, Febriyan, Dini Pramita, Philipus Parera, Agustina Widiarsi, Robby Irfany, Ninis Chairunnisa, Andi Ibnu (Jakarta), Hari Tri Wasono (Kediri), Adi Warsono (Bekasi) Bahasa: Uu Suhardi, Iyan Bastian Desain: Yudha A.F. Periset foto: Ijar Karim, Ratih Purnama Ningsih |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo