Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Main Kayu di Tengah Muktamar

Hasil Muktamar PPP kubu Suryadharma dipersoalkan. Dibayar biar mau datang.

10 November 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AHMAD Yani meradang akibat Muktamar VIII Partai Persatuan Pembangunan yang digelar di Hotel Sahid, Jakarta, pada 30 Oktober-1 November lalu. Sekretaris Majelis Pertimbangan Partai itu gusar lantaran tak bisa mencalonkan diri dalam bursa ketua umum. "Hak saya memilih dan dipilih diambil oleh pimpinan sidang," katanya Selasa pekan lalu.

Yani menuding panitia muktamar yang diadakan kubu mantan Ketua Umum Suryadharma Ali itu mengarahkan agar Djan Faridz menjadi ketua umum. Caranya? Pendaftaran calon tak dibuka. Bahkan, malam sebelum penetapan ketua umum, Ketua Panitia Pengarah Muktamar Fernita Darwis keceplosan mengumumkan bahwa mantan Menteri Perumahan Rakyat itu terpilih secara aklamasi.

Dia juga mencerca verifikasi peserta muktamar. Menurut Yani, panitia tak memeriksa surat keputusan pengurus atau surat mandat peserta. Siapa saja bisa masuk. "Mereka bisa saja orang Suryadharma," ujarnya.

Muktamar ini memang digelar di tengah kondisi Partai Ka'bah yang terbelah. Sebelumnya, pada 15-18 Oktober, kubu lawan yang menyokong pemerintahan Presiden Joko Widodo menggelar acara serupa di Surabaya. Di sana, terpilihlah Muhammad Romahurmuziy dan Aunur Rofiq sebagai ketua umum dan sekretaris jenderal. Adapun kubu Suryadharma berpihak kepada partai-partai di luar pemerintahan.

l l l

Munculnya sejumlah pengurus dadakan tampaknya mewarnai muktamar pada akhir bulan lalu itu. Satu contoh, berdasarkan database peserta muktamar yang dilihat Tempo, peserta nomor urut 394 adalah Ketua PPP Sulawesi Selatan Taufik Zainuddin. Padahal, sesuai dengan surat keputusan pengurus pusat, ketuanya Amir Uskara. "Banyak pengurus dadakan," kata Wakil Sekretaris Jenderal Arsul Sani membenarkan.

Amir menjelaskan, Taufik pernah ditunjuk Suryadharma menjadi ketua, tapi keputusan itu dianulir Mahkamah Partai. "Yang hadir di Jakarta tak mendapat mandat," ujarnya. Apa jawab Taufik? Kata dia, "Bukan kapasitas saya untuk menjelaskan."

Kasus lain melanda Ketua PPP Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, Muhtarom. Dia menegaskan tak pernah memberikan mandat kepada Sekretaris Nasorin untuk hadir ke muktamar. Kepada Tempo, Nasorin mengaku hanya menjadi pelengkap muktamar. "Tidak melanggar instruksi partai," ucap Nasorin pada Kamis pekan lalu.

Fernita menerangkan, menjelang muktamar, Suryadharma mengaktifkan kembali surat keputusan pengangkatan sejumlah pengurus wilayah yang pernah dianulir Mahkamah Partai. "Karena pengurus lama tak memenuhi undangan," katanya. Selain buat Taufik, mantan Menteri Agama yang terjerat kasus korupsi penyelenggaraan haji 2012-2013 itu menghidupkan layang serupa untuk pengurus Jawa Timur, Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Jambi, Kalimantan Barat, Maluku, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.

Fernita membantah tudingan bahwa muktamar hanya untuk memuluskan Djan Faridz. Dia berdalih tak ada calon lain sehingga diputuskan secara aklamasi.

Sejumlah pengurus justru menyatakan sebaliknya. Menurut mereka, panitia sampai harus membayar Rp 25-75 juta bagi pengurus yang mau hadir. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat pro-Suryadharma, Epyardi Asda, membenarkan adanya siraman fulus. Menurut dia, uang itu pengganti biaya transportasi dan akomodasi yang besarnya tergantung jarak daerah asal dengan Jakarta.

Epyardi mencontohkan, pengurus asal Papua bisa mendapat hingga Rp 25 juta. Adapun pengurus dari Jawa mendapat lebih kecil. "Hanya pengganti ongkos kereta," ujar Ketua PPP Kabupaten Tegal Tubagus Fahmi.

Epyardi mengakui mayoritas biaya tadi ditanggung Djan. "Dia kan pengusaha, ditambah uang patungan pengurus." Dari pihak Djan, dia membantah ikut saweran. Ditemui Tempo di kantornya di Jalan Talang, Jakarta Pusat, pada Kamis pekan lalu, Djan menjawab dengan singkat saja, "Saya tidak ikut-ikutan."

Ira Guslina Sufa, Dinda Leo Listy (Pekalongan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus