Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ARTIKEL di laman Geoenergi.co membuat merah telinga direksi PT Pertamina. Judulnya "Direksi Pertamina Diduga Kebagian Korupsi Rp 5 Triliun", diunggah pada 11 Agustus lalu. Isinya tentang tuduhan korupsi dalam perjanjian jual-beli gas dari Blok West Madura Offshore antara PT Pertamina EP dan PT Media Karya Sentosa.
Tiga hari kemudian, Jaringan Advokat Publik (JAP) menayangkan "Surat Terbuka untuk Presiden SBY" di satu blog bernama yudisamara.org. Isinya tudingan yang sama. Di akhir surat, JAP meminta Komisi Pemberantasan Korupsi mengusut kasus itu.
Lima hari kemudian, akun Twitter TM2000Back merentetkan serial cuit yang dirangkum dalam judul "Gegara Suap oleh PT MKS Rakyat Madura Miskin dan Hancur". Lalu berita yang kurang-lebih sama berturut-turut muncul di sejumlah portal, seperti Asatunews.com, Telisiknews.com, dan Goyangnews.com.
"Semua berita itu fitnah. Kami juga tidak pernah diklarifikasi," ujar juru bicara Pertamina, Ali Mundakir, Jumat pekan lalu.
Pertamina lantas melaporkan Raden Nuh selaku pemilik akun TM2000Back serta Edi Syahputra dan Irwandi Lubis, anggota JAP, ke polisi. "Mereka mencemarkan nama baik Pertamina," kata Ali.
Serangan terhadap Pertamina melalui tuduhan korupsi di Madura itu sudah lama terjadi. Pada akhir Mei lalu, Raden Nuh mengunggah tulisan "Korupsi Rp 1,5 Triliun Pertamina EP & PT Media Karya Sentosa" di Radennuh.net dan blog Kompasiana.
Menurut seorang anggota staf Pertamina yang tidak bersedia disebutkan namanya, rangkaian serangan itu sebenarnya bagian dari upaya pemerasan. Pada pertengahan Juni lalu, Pertamina mengirimkan utusan menemui Raden di lantai dua kantor Asatunews, kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Saat itu Raden ditemani Koes Hardjono alias Harry.
Pendekatan Pertamina itu ditolak Raden. Namun, ketika utusan itu keluar dari ruang pertemuan, Harry menghampiri mereka. Dia mengatakan serangan bisa dihentikan kalau Pertamina membayar beberapa ratus juta rupiah. Permintaan itu ditolak utusan Pertamina dengan alasan perseroan tidak bisa memberi uang suap. Tidak menyerah, Harry lantas menyodorkan proposal pemasangan iklan di Asatunews.com. Tapi proposal iklan itu juga ditolak.
Pada akhir Juni lalu, seseorang yang mengaku bernama William datang ke kantor pusat Pertamina. Ia mengatakan diperintahkan Raden dan JAP mengajukan proposal pendanaan kegiatan seminar. Lagi-lagi Pertamina menolak. Alasannya, lembaga penyelenggara seminar tidak jelas badan hukumnya. Tuduhan terhadap Pertamina semakin gencar dilayangkan.
Ali menyatakan tidak tahu tentang permintaan uang dan proposal iklan itu. Namun, menurut dia, seandainya permintaan uang dan iklan itu benar terjadi, Pertamina tidak akan memenuhinya.
Berita dan kicau miring berujung pemerasan tidak hanya dialami Pertamina. Selasa dua pekan lalu, polisi menangkap Edi Syahputra, yang diduga salah satu operator @TM2000Back di kantor Asatunews.com. Polisi menjebak dan mencokok Edi, yang juga adik Raden, tidak lama setelah ia menerima Rp 50 juta dari PT Telkom. Sebelumnya, Wakil Presiden Bidang Komunikasi PT Telkom Arief Prabowo memang melaporkan pemerasan itu ke Kepolisian Daerah Metro Jaya.
Dua hari setelah penangkapan Edi, pemerasan yang terkait dengan akun TM2000Back kembali diadukan ke Polda Metro. Kali ini yang melapor Abdul Satar, penasihat PT Tower Bersama Infrastructure Tbk. Ia mengaku diperas Rp 358 juta oleh pengelola akun itu. Berdasarkan dua laporan itu, pada Ahad pekan lalu, Tim Subdirektorat Cyber Crime Direktorat Kriminal Khusus Polda Metro Jaya meringkus Raden. Ia ditangkap di kamar kosnya di kawasan Tebet, Jakarta Selatan.
Saat dimintai konfirmasi, Raden membantah telah memeras. Menurut dia, Asatunews.com memang menawarkan pemasangan iklan ke berbagai perusahaan, termasuk Pertamina. "Kalau Harry yang melakukan pemerasan, saya tidak tahu," katanya ketika ditemui Tempo di Polda Metro.
Uang dari Abdul Satar yang kemudian dituduhkan sebagai pemerasan itu, menurut Raden, biaya operasional Asatunews.com. "Karena Abdul Satar salah satu pemilik saham," ujarnya. Wahyu Sakti Trenggono, bos Satar, membantah memiliki saham. "Di mana logikanya: investasi di media kok malah diserang?" katanya.
SEJAK awal 2013, Jumhur Hidayat, ketika masih menjabat Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, mendadak rajin membuka akun Twitter-nya. "Sebelumnya, saya tidak kenal Twitter," ujarnya saat ditemui Tempo, Kamis pekan lalu. "Istri saya lebih aktif lagi."
Gara-garanya adalah kicauan Triomacan2000 yang hampir tiap hari melempar tudingan korupsi terhadapnya. Ia antara lain dituduh memeras calon tenaga kerja Indonesia di Korea Rp 60 juta per orang. "Itu seribu persen fitnah," kata Jumhur. Maka, pada 1 Februari 2013, ia melaporkan akun itu ke Polda Metro Jaya dengan tuduhan pencemaran nama baik. "Saat itu saya tidak tahu siapa di balik akun itu," ujarnya.
Jumhur merupakan korban Triomacan2000 yang membawa soal ini ke masalah hukum. Padahal hampir setiap hari akun samaran itu melempar tuduhan ke berbagai pihak melalui serial cuit. Tapi tak jarang rangkaian kata maksimal 140 karakter di Twitter itu berbalik arah.
Umar Syadat Hasibuan, anggota staf khusus Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, mengalaminya. Pada Juni 2012, Triomacan2000 menuduhnya melarikan mobil Fortuner dan uang Rp 500 juta ketika menjadi anggota staf khusus Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal Lukman Edy pada 2007-2009. "Bahkan ia menuduh pesantren bapak saya terima uang haram Rp 1 miliar," katanya.
Merasa difitnah, Umar mencari pemilik akun Triomacan2000. Dari Abdullah Rasyid, anggota staf khusus Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, Umar mendapat informasi bahwa pemilik akun itu Raden Nuh. Pada akhir Juni 2012, ditemani adik angkat serta temannya, dia menemui Raden di sebuah kafe di depan Rumah Sakit Thamrin, Jakarta Pusat. Mereka bertengkar hebat. "Adik saya dipukuli sampai memar," cerita Umar. Dia lantas melaporkan Raden ke Kepolisian Resor Jakarta Pusat atas tuduhan penganiayaan. Tapi kasus ini menguap begitu saja.
Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Sjarifuddin Hasan juga pernah melaporkan Triomacan ke polisi, pertengahan Mei tahun lalu. Akun itu menuding Inggrid Kansil, istri Ketua Harian Partai Demokrat ini, berselingkuh. Satu pekan kemudian, akun itu meminta maaf. Saat dihubungi Tempo, Sjarifuddin menyatakan tidak ingin lagi mengungkit-ungkit persoalan itu. "Sudah saya anggap selesai," ujarnya.
Mantan Wali Kota Kediri, Jawa Timur, Samsul Ashar, juga pernah menjadi korban. Mei tahun lalu, Samsul kembali mencalonkan diri menjadi wali kota. Pada saat hampir bersamaan, Triomacan2000 berkicau tentang dugaan korupsi di proyek Rumah Sakit Umum Daerah Gambiran, Politeknik Kediri, dan jembatan Brawijaya senilai Rp 409 miliar yang melibatkan Samsul.
Kicauan itu menjadi topik utama media lokal di Kediri selama berhari-hari. Popularitas Samsul terjun bebas. Rofik Huda, bekas anggota tim pemenangan Samsul Ashar, mengatakan akhirnya seorang anggota tim sukses ke Jakarta untuk menemui pemilik akun. Setelah itu, kicauan Triomacan2000 berubah jadi merdu.
Agustus tahun lalu, Triomacan bahkan menyebut Samsul sebagai kepala daerah terbaik, jauh lebih baik dibanding Joko Widodo di Solo. "Apakah itu menggunakan uang atau tidak, saya tidak tahu," kata Rofik.
Toh, citra Samsul sudah kadung terpuruk. Ia gagal kembali menjadi Wali Kota Kediri. Ia kalah oleh pesaingnya, Abdullah Abu Bakar. Samsul belum bisa dimintai konfirmasi.
Tidak semua korban serangan Triomacan panik. Setidaknya Pelaksana Tugas Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengaku tidak terusik oleh ulah mereka. Dalam pemilihan Gubernur DKI pada 2012, akun Triomacan2000, yang semula menyerang Gubernur Fauzi Bowo, tiba-tiba berbalik menyerang pasangan Joko Widodo-Basuki. "Tapi saya cuekin. Kalau bersih, kenapa mesti takut?" ujarnya enteng.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo