Pemerintah menaikkan gaji pegawai negeri dan ABRI. Tapi kebutuhan pokok di beberapa tempat mulai ikut naik. Mengapa kenaikan gaji selalu diikuti kenaikan harga? NASIB pegawai negeri, ABRI, dan pensiunan tampaknya belum akan menjadi lebih baik. Kendati sidang Kabinet pekan lalu telah memutuskan gaji akan dinaikkan 15% mulai 1 Juli 1991- dibayar pada akhir Juli- belum ada jaminan bahwa kesejahteraan mereka akan semakin meningkat. Keputusan Kabinet yang diumumkan Menteri Keuangan itu malah bagaikan angin kencang yang jatuh di tengah laut. Gelombang-gelombang kenaikan harga barang sudah bergejolak di pasar-pasar. Di Lhokseumawe, Aceh Utara, misalnya. Sabtu lalu Ibu Ratna, 55 tahun, istri pensiunan ABRI dengan penerimaan Rp 71.000 per bulan, hampir saja urung belanja. Ia kaget setengah mati sewaktu ingin membeli regak (sejenis ikan kembung kesukaan keluarganya). "Biasanya Rp 1.000 per kg, sekarang kok jadi Rp 1.250," katanya heran. Ternyata, bukan hanya itu. Beras jongkong hari itu telah naik Rp 100 menjadi Rp 700 per kg. Gula pasir sekilo naik dari Rp 1.000 menjadi Rp 1.200. A. Jalil, yang menjadi pedagang di Peukan Cunda ( pasarLhokseumawe), menyatakan bukan kemauannya menaikkan harga. "Dari penyalur juga sudah naik. Gula biasanya Rp 1.020, sekarang sudah Rp 1.100. Sekarang terpaksa kami jual Rp 1.200 per kilo," kata pedagang itu terus terang. Gelombang kenaikan harga juga sudah terasa di Yogyakarta. Di kios Ny. Hardjowiguno, seorang pedagang di pasar Kranggan, harga-harga gula, telur, dan kentang naik Rp 50 per kg. Harga minyak goreng naik Rp 100 per liter, bahkan harga bawang putih melonjak sampai Rp 300 per kg. "Kenaikan seperti ini biasa, Mas. Wong gaji pegawai ya naik," ujar Ny. Noto, yang juga berdagang di sana. Harga-harga baru komoditi sehari-hari tampak juga di pasar Kosambi dan Cihaurgeulis, Bandung. Bahkan, tarif angkutan truk ternyata juga sudah ikut-ikutan naik kendati harga BBM belum naik. Contohnya angkutan jeruk dari Malang ke Bali. Sejak keluarnya pengumuman kenaikan gaji pegawai negeri, ongkos angkutan per besek (isi 10 kg) naik dari Rp 300 menjadi Rp 350. Buntutnya, harga jeruk di pasar Kumbasari, Denpasar, naik dari Rp 1.200 menjadi Rp 1.500 per kg. "Saya tak habis pikir, kenapa baru rencana kenaikan gaji pegawai sudah diikuti kenaikan harga barang-barang," kata Nyoman Werdi, seorang pegawai negeri dari Kantor Wilayah P & K Bali. Pengumuman kenaikan gaji yang langsung disusul kenaikan harga-harga memang bukan hal baru. Anehnya, sampai sekarang Pemerintah belum mencari kiat-kiat yang jitu untuk meredam hal itu. Menteri Keuangan J.B. Sumarlin pun pekan lalu dengan enteng mengatakan, "Saya bukan polisi (pengaman) kenaikan harga." Namun, tidak semua pasar telah mengalami kenaikan harga. Dua orang ibu yang ditanya TEMPO mengaku tak ada kenaikan harga. "Masih biasa saja, Dik," kata seorang ibu yang sedang berbelanja di pasar Inpres Kramat Jati. Ihwal naik turunnya harga di sana, menurut kalangan pedagang, bergantung pada pasang surutnya suplai sayur-mayur dari Cipanas. Pasar-pasar bersistem pendingin seperti Golden Truly juga masih seperti biasanya pada hari-hari sepi belanja (antara tanggal 3 dan 28) setiap bulan menawarkan diskon harga 20%, lengkap dengan hadiah langsung dan undian berhadiah. Haruskah kenaikan gaji diikuti kenaikan harga? Sebenarnya, jumlah pegawai negeri dibanding dengan jumlah seluruh penduduk relatif kecil. "Jumlah pegawai negeri termasuk pensiunan sekarang 3,6-3,8 juta. Dari jumlah ini, lebih dari dua juta orang adalah guru sekolah yang tinggal di daerah dan desa-desa," kata Soetjipto Wirosardjono. Lagi pula, kata Soetjipto, lapisan pegawai negeri yang jumlahnya tak sampai empat juta kepala keluarga itu sangat kecil dibandingkan jumlah keluarga di Indonesia yang kini berkisar 50 juta kepala keluarga. Toh, Wakil Kepala BPS tadi tak yakin kenaikan harga yang terjadi akan sangat mempengaruhi inflasi. "Inflasi tentu akan naik, tapi kita lihat nanti bulan depan. Tentu akan lebih tinggi dari inflasi bulan Mei (hanya 0,18%), tapi tidak lebih tinggi dari bulan sebelumnya yang 1,8%," ujar Soetjipto. Satu hal yang perlu diingat bahwa bulan Juni dan Juli merupakan masa-masa kesibukan keluarga untuk urusan sekolah anak-anak. Permintaan buku-buku, sepatu, pakaian seragam, misalnya. Harga ketiga jenis barang ini bisa diduga akan naik secara musiman. Permintaan jasa angkutan dan kebutuhan liburan (piknik) diduga juga akan naik. Artinya, kalau terjadi inflasi, tentu bukan hanya karena kenaikan gaji pegawai negeri. Bagi pegawai negeri, kata Soetjipto, kenaikan gaji pegawai ini setidaknya akan berdampak dua hal. "Pertama, secara psikologis, pegawai negeri merasa Pemerintah memperhatikan mereka. Kedua, ada dampak ekonomis, yang bisa dipakai untuk menombok ongkos pulang pergi naik kendaraan umum bagi yang rumahnya jauh, atau menombok sebagian makan siang," ujar Wakil Ketua BPS yang terkenal kocak itu. Kelakar Soetjipto memang bukan sekadar kelakar. Sejumlah pegawai negeri yang bekerja di instansi-instansi pemerintah memang menghadapi kedua masalah tersebut. Semua staf Humas di kantor pusat Departemen Kesehatan Jakarta, misalnya, terus terang mengakui bahwa mereka tidak mengenal makan siang. "Dari rumah saya makan kenyang sehingga tahan sampai pulang pukul 15," ujar Mardi. Padahal, Mardi sudah termasuk golongan III C yang bergaji Rp 188.000 untuk masa kerja 16 tahun. Bagi pegawai seperti Mardi, konon masih bisa diberikan tambahan karena pegawai golongan III A ke atas bisa mendapat tugas ke luar kota. Namun, apa yang menyebabkan Pemerintah berani menaikkan gaji? "Kalau Pemerintah berani menaikkan gaji, itu disebabkan karena Neraca Transaksi Berjalan kita aman," kata Prof. Dr. Soediyono Reksoprayitno, 58 tahun, pengamat sistem devisa Indonesia dari Universitas Gadjah Mada. Menurut Soediyono, struktur harga di negara kita memiliki variasi sangat besar. Artinya, untuk jenis barang kebutuhan ada harga berbeda-beda. Harga nasi, misalnya, bervariasi sangat tinggi mulai dari warung tegal sampai restoran di hotel. "Berbeda dengan orang Amerika, orang Indonesia lebih mudah menetralisasi dampak inflasi," kata doktor ekonomi lulusan Universitas Colorado itu. Tujuan Pemerintah menaikkan gaji, tampaknya, lebih bersifat politis. Pertama, karena DPR, yang mencium adanya kenaikan pendapatan pemerintah dari kenaikan harga minyak sejak pertengahan tahun lalu, menuntut gaji pegawai negeri dinaikkan. Pada akhir tahun anggaran lalu (Maret 1991) terbukti Pemerintah masih mempunyai sisa anggaran sekitar Rp 2 trilyun yang ditabung sebagai CAP (cadangan anggaran pembangunan). Namun, suara parlemen tadi tidak langsung ditanggapi Pemerintah. Masalahnya, waktu itu ekonomi Indonesia sedang demam diserang inflasi. Sementara itu, para teknokrat di Ekuin melihat ancaman mengerikan di bidang neraca pembayaran (balance of payment). Pertumbuhan ekspor tampak mengecil, sementara pertumbuhan impor malah menggelembung. Apalagi ketika jumlah impor pada bulan Mei lalu melonjak dari rata-rata US$ 1,1 milyar menjadi US$ 1,8 milyar per bulan. Namun, kedua gejala itu rupanya sudah bisa diatasi. Inflasi ternyata bisa ditekan di bawah double digit. Inflasi tahun kalender 1990 tercatat 9,53%, sedangkan inflasi tahun anggaran 1990/1991 (April-Maret) tercatat 9,11%. Impor yang tinggi pada tahun lalu pun ternyata lebih banyak berupa barang-barang modal (seperti mesin dan produk-produk kimia). Namun, yang lebih penting, harga minyak, yang masih merupakan andalan utama penerimaan pemerintah, tidak sampai anjlok begitu besar. Pemerintah mengharapkan harga minyak sepanjang tahun anggaran 1991/1992 rata-rata berkisar US$ 19.50 per barel. Pada bulan April-Juni lalu harga minyak sempat anjlok ke US$ 17,74 per barel. Jika harga itu bertahan sampai Maret 1992, target penerimaan pemerintah dari minyak bisa minus sekitar US$ 500 milyar atau sekitar Rp 1 trilyun. Namun, periode kritis harga minyak rupanya sudah berlalu. Menurut Sekjen OPEC Prof. Dr. Subroto, harga minyak patokan OPEC (US$ 21 per barel) bisa dicapai pada akhir tahun ini. Dengan demikian, defisit penerimaan minyak dan gas pada awal tahun anggaran berjalan kemungkinan besar bisa ditutup pada semester akhir. Ir. Rahmat Saleh, Kepala Bagian Pemasaran dari PT Lembah Kasih Kurnia, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pem- bangunan rumah kelas Rp 25 juta Rp 70 juta di kawasan Surabaya, berpendapat bahwa kenaikan gaji pegawai ini setidaknya memberi tambahan peluang pasar. "Wong gaji tidak naik saja ada juga pegawai negeri yang mampu membeli rumah, kok," kata Rachmat. Kompleks perumahan yang dibangun PT Lembah Kasih Kurnia di kawasan Menganti itu sekitar 30% dari tipe 36 ke bawah dibeli oleh pegawai negeri. Rachmat berpendapat bahwa kenaikan gaji pegawai ini akan membuat para developer yang kini lebih berkonsentrasi pada pembangunan rumah mewah untuk kembali melirik segmen pasar menengah bawah. Namun, ia khawatir bahwa kenaikan gaji pegawai negeri ini akan segera disusul kenaikan BBM dan tarif listrik. Ketua Real Estate Indonesia (REI) Ir. Mochamad Hidayat yang ditemui di Bandung juga berpendapat demikian. "Kalau harga BBM naik, tentu akan merembet pada tarif angkutan, yang akan menyebabkan bahan bangunan naik. Hal ini akan menyebabkan kenaikan harga rumah dan terutama akan memukul daya beli rumah sederhana," kata Hidayat. Kelesuan pasar yang menimpa produk-produk elektronika belakangan ini diduga juga belum akan bergairah. Menurut Presdir Gobel Dharma Nusantara, Jamien H. Tahier, sejak masa uang ketat, banyak toko tak mau menyimpan stok. "Tadinya mereka mau menumpuk stok sampai sebulan, sekarang paling lama seminggu. Tadinya bisa mencari untung 5-7%, tapi sekarang banyak yang menjual dengan harga pokok asal lancar cashflow-nya," kata Jamien. Apalagi kenaikan gaji pegawai negeri ini diduga belum juga akan menurunkan suku bunga. Menurut pengamat perbankan Priasmoro, sulit diharapkan semangat menabung dari para pegawai negeri. "Masalahnya, belanja mereka sehari-hari kurang sehingga tambahan gaji ini bisa dipastikan akan langsung ke pasar," kata Priasmoro. Kendati Menteri Keuangan mengungkapkan bahwa kenaikan gaji pegawai negeri ini akan menghabiskan sekitar Rp 1,1 trilyun untuk sembilan bulan mendatang, atau sekitar Rp 122 milyar per bulan, belum tentu uang itu akan bertahan dalam peredaran. Besar kemungkinan dengan memperbesar pos anggaran rutin ini akan disusul dengan penutupan pos anggaran rutin lainnya. Salah satu yang kini mudah ditebak adalah pos subsidi BBM yang juga dianggarkan sekitar Rp 1,1 trilyun. Namun, kenaikan 15% ini sebenarnya tidak sebanding dengan indeks inflasi yang sudah sekitar 17% sejak kenaikan gaji pegawai negeri terakhir (Januari 1989). Beberapa pakar ekonomi dan anggota DPR juga heran mengapa Pemerintah senantiasa memilih kenaikan gaji dengan sistem kejutan alih-alih mencari sistem lain, misalnya gaji ke-13. "Kalau diberikan gaji ke-13, itu berarti Pemerintah harus memberikan sekaligus. Kan lebih ringan diberikan secara bertahap," ujar Menteri Keuangan J.B. Sumarlin. Max Wangkar, laporan biro-biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini