Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Ganjaran pencantol

Pengadilan negeri banjarmasin menjatuhkan hukuman kurungan penjara buat m aini, bursa, dan ardiani. ketiganya dituduh mencuri aliran listrik. disinya- lir banyak perusahaan mencuri listrik.

15 Juni 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiga orang pencuri listrik kelas kecil dihukum penjara. Bagaimana pencuri besar? SIAPA yang tidak tergoda bila rumahnya gelap-gulita sementara kabel listrik membentang di halaman rumah? Itu pula yang menggoda M. Aini dan Busra- keduanya buruh harian di pabrik kayu lapis- dan Ardiani, seorang pegawai negeri golongan I D. Mereka, yang tinggal di rumah petak berdinding papan bekas dan beratap daun nipah di pinggiran Banjarmasin, nekat mencantol listrik yang lewat di depan gubuk mereka. Maka, sejenak mereka menikmati pula hasil pembangunan ini. Mereka mengecap remang-remangnya lampu pijar lima watt. "Itu sudah cukup terang dibanding nyala lampu teplok," ujar M. Aini, ayah lima anak itu. Selain itu, ada nyala televisi hitam putih 14 inci. "Anak-anak tidak lagi pulang menangis karena pintu tetangga dikunci waktu mereka mau numpang nonton televisi," gumam Ardiani. Ternyata, kebahagiaan itu hanya sekejap untuk mereka. Sebulan kemudian, malapetaka datang, mereka diciduk petugas OPAL (operasi penertiban arus listrik). Setelah itu cerita pahit. Hakim M. Ramlan dari Pengadilan Negeri Banjarmasin mengganjar M. Aini dengan 75 hari dan dua tetangganya 45 hari penjara. Menurut hakim, mereka merugikan negara sekitar Rp 415 ribu. "Padahal, kami mencantol listrik sekadarnya saja. Tidak seperti orang lain, untuk menghidupkan kulkas segala," gerutu Ardiani. Senada dengan itu reaksi ketua LKBH Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, Andi Chadari. Pengacara itu menilai vonis itu tidak adil karena yang diajukan ke pengadilan hanya kasus-kasus kecil saja- yang mencuri listrik sekadar untuk menerangi gubuknya. "Padahal, disinyalir, pencurian besar-besaran dilakukan kalangan pengusaha dan instansi pemerintah," ujar Chadari. Kepala PLN Cabang Banjarmasin, Purnomo Willy, membenarkan dugaan kuat. Hanya saja, menurut Willy, pencuri besar itu umumnya pelanggan PLN sehingga mereka bisa didenda atau diputuskan sambungan listriknya. "Bila ketiga buruh itu dibiarkan, padahal jelas-jelas mencuri, itu malah membeda-bedakan. Berapa ruginya negara kalau pencuri yang kecil-kecil ini tidak ditindak?" ujar kepala humas PLN Pusat, Haruna Rasyid. Direktur Utama PLN Ermansyah Yamin menyebut pihaknya rugi Rp 130 milyar lebih akibat pencurian setrum. Menurut penelitian, dua tahun silam, di Medan, jumlah pencuri dari kalangan industri lebih kecil dari rumah tangga, tetapi aliran listrik yang dicuri jauh melebihi total konsumen rumah tangga (TEMPO, 8 April 1989). Untuk pencurian besar itu PLN bukan tak pernah bertindak. Pada awal Mei 1990, PT Industri Plastik Cipadung (IPC), Bandung, ditindak PLN karena ketahuan mencuri listrik dengan cara merusak meteran. PLN pun menjatuhkan denda Rp 200 juta di samping ancaman pemutusan saluran. Anehnya, sebelum denda dibayar, dua bulan kemudian, PLN menyetujui kontrak IPC menam- bah daya listrik dari 690 KVA menjadi 1.110 KVA. Bahkan IPC sudah membayar Rp 28 juta. Ternyata, janji PLN ini tak ditepati gara-gara ada ketentuan penangguhan penambahan daya dari PLN pusat. IPC tetap meminta PLN memenuhi isi kontrak, sebaliknya PLN ngotot agar IPC membayar denda. IPC, akhirnya, membawa masalah ini ke pengadilan. Kepalang tanggung, begitu sidang berjalan PLN memutuskan aliran listrik ke IPC. Akibatnya, produksi pabrik plastik itu macet, dan 500 karyawannya menganggur. Mungkin karena bisa berbuntut perkara itu pula, PLN terpaksa berpikir dua kali untuk memperbesar persoalan dalam hal pencurian besar. Selain itu, sulit pula membuktikan siapa pelaku pencurian itu bila toh perkara ke pengadilan. Salah-salah PLN bisa kecipratan aib. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kecurangan pelanggan- terutama yang besar- itu biasanya terjadi berkat bantuan oknum PLN juga. Almie Hatta (Banjarmasin), Ahmad Taufik (Bandung), Sitti Nurbaiti, dan Ardian Taufik Gesuri (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus