Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Membuka selubung lawyer asing

Menkeh ismail saleh menuding lawyer asing melaku- kan praktek gelap. mereka mengoperasikan kantor konsultan hukum secara terselubung. jumlah mereka semakin banyak.

15 Juni 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Beberapa law firm asing beroperasi secara terselubung. Jumlah lawyer asing juga merebak. Salah satu dampak era deregulasi dan globalisasi ekonomi? KALANGAN konsultan hukum (lawyer) asing, yang sedang asyik-asyiknya memanen rezeki di Indonesia, tersentak. Tiba-tiba, dua pekan lalu, Menteri Kehakiman Ismail Saleh menuding mereka melakukan praktek "haram". Mereka, kata Menteri, secara terselubung banyak mengoperasikan law firm (kantor konsultan hukum) di sini, yang sebenarnya terlarang. Selain diam-diam law firm asing sudah hadir di tengah kita, jumlah lawyer asing yang beroperasi di sini juga semakin merebak. Mereka sebagian besar masuk ke sini dengan baju konsultan bisnis. Banyak dari mereka bisa aman beroperasi di sini berkat "kreasi" para lawyer kita sendiri. Sebagian dari mereka justru berlindung di kantor-kantor lawyer kita juga. Masuknya lawyer asing ke Indonesia, sebenarnya sudah dimulai sejak lahirnya Undang-Undang Penanaman Modal Asing (PMA), 1967. Derasnya arus modal asing menggencarkan pula konflik antara perkembangan ekonomi dan tata hukum. Selain itu, di bidang hukum sendiri timbul masalah Hukum Antartata Hukum. Kesulitan utama muncul karena persediaan lawyer lokal yang berbobot internasional tidak cukup untuk melayani kebutuhan para investor asing itu. Maka, cara termudah untuk mengantisipasi perkembangan itu tentu saja dengan merekrut lawyer asing. Usaha ini (seizin Menteri Kehakiman) dipelopori law firm MKK (Mochtar Kusuma-Atmadja, Komar Kantaatmadja, dan Karuwin) yang berdiri pada 1971. Langkah itu menandai pula, babak baru sejarah bantuan hukum, yang tak lagi semata-mata bersifat perorangan dan terfokus pada berperkara ke pengadilan (litigasi) tapi juga konsultasi dan jasa hukum. Pada 1970-an saja, tercatat law firm seperti ABNR (Ali Budiardjo, Nugroho, dan Mardjono Reksodiputro), Adnan Buyung Nasution, mempunyai lawyer asing. Pada 1980-an, muncul lagi antara lain Makarim & Tairas, LGS (Lubis, Gani, dan Surowidjojo), kemudian SRJD (Soebagyo, Roosdiono, Jatim, dan Djarot), serta HHD (Hadiputranto, Hadinoto, dan Dermawan). Alasan mereka "bobot pengetahuan dan keterampilan" lawyer asing diperlukan untuk transfer pengetahuan. Selain itu, alasan mereka, faktor bahasa dan adanya manfaat psikologis untuk para klien asing. "Klien kami, yang investor asing, bisa merasa lebih nyaman bila bertemu dengan lawyer asing di sini," kata Sidik Suraputra, partner di MKK, yang menurut Forum Keadilan punya tarif jasa termahal US$ 500/jam. Menghadapi perkembangan itu Pemerintah pun memasang rambu-rambu. Maksudnya agar para lawyer Indonesia tetap menjadi tuan di negeri sendiri. Selain itu, agar para lawyer asing itu tak terlalu jauh mencampuri urusan hukum di sini. Lewat keputusan Menteri Kehakiman, waktu itu, Prof. Dr. Mochtar Kusuma-Atmadja, tanggal 6 Juli 1974, misalnya, law firm asing sama sekali dilarang beroperasi di sini. Lawyer asing, dengan izin Menteri Kehakiman, hanya boleh hadir di sini dengan status konsultan dan pekerja di law firm lokal. Mereka tidak boleh menjadi partner, memiliki saham, ataupun turut mengendalikan usaha. Pada 1985, Menteri Kehakiman Ismail Saleh hanya memperkenankan para lawyer asing itu bekerja di sini paling lama lima tahun. Bahkan, sejak keputusan ini ke luar, Pemerintah tak akan lagi mengabulkan permohonan baru dari law firm di sini untuk menggunakan lawyer asing. Toh "banyak jalan menuju Roma". Apalagi, pangsa pasar dan kebutuhan dunia ekonomi bisnis di sini memang jauh lebih besar daripada persediaan lawyernya. Maka, kendati peraturan Departemen Kehakiman dan prosedurnya sudah begitu ketat, tetap saja arus lawyer asing ke sini, ataupun "sentuhan" tangan mereka, tak bisa ditahan. Menurut beberapa sumber, banyak law firm terkenal di dunia yang resminya "nongkrong" (membuka perwakilan) di Singapura, tapi hampir 90% pekerjaan mereka berasal dari Indonesia. Kalau memang mereka perlu datang ke Indonesia, untuk urusan bisnis konsultasi/jasa hukum, tinggal terbang ke Indonesia- mungkin hanya berbekal visa turis atau kunjungan usaha. Kegiatan mereka, seperti kata Felix O. Soebagjo dari SRJD, sama sekali tak bisa diawasi. "Uangnya masuk ke kantung mereka sendiri, tak kena pajak lagi," ujar Felix. Belakangan, hebatnya lagi, beberapa law firm terkenal di dunia mulai mengibarkan "bendera"nya di sini. Caranya, tentu saja tak lewat jalur izin Departemen Kehakiman, melainkan dengan gaya "usaha modal asing". Sebagai partner lokalnya, yang boleh dikatakan hanya berstatus "tidur", justru para lawyer lokal. Dalam izin dari BKPM, usaha mereka disebut sebagai konsultan/jasa bisnis. Dalam dua tahun ini, kata sebuah sumber, setidaknya sudah ada dua konsultan patungan pura-pura semacam itu- bahkan sebuah lagi kini siap beroperasi. Dari dua yang ada itu, sebuah dikabarkan merupakan patungan antara law firm terkenal di AS, Baker & Mc Kenzie dan HHD, dan PT Buana Nusantara Manunggal. Yang lainnya berupa patungan antara sebuah law firm asing dan law firm lokal, HSP (Hanafiah, Suharto, dan Ponggawa). Selain model seperti di atas, menurut Ketua Umum AKHI (Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia), Ali Budiardjo (dari ABNR), banyak pula lawyer di sini mendirikan perusahaan jasa konsultan bisnis, tapi di dalamnya terdapat para lawyer asing, yang masuk ke sini berbekal status sebagai konsultan bisnis. Sebab itulah, Timbul Thomas Lubis dari LGS menilai modus usaha patungan di atas terhitung penyelundupan hukum. Kalau sudah begini, katanya, persoalannya bukan lagi bantuan hukum ataupun transfer pengetahuan, tapi sudah menjurus ke cara bagaimana mengeruk uang sebanyak-banyaknya di sini. Herannya, "Lawyer Indonesianya mau-maunya hanya menjadi phoney saja," ucap rekan Lubis, M. Idwan Gani. Tak kurang dari Menteri Kehakiman, seperti dikutip koran sore Suara Pembaruan edisi 27 Mei 1991, menganggap model patungan tadi sebagai usaha terselubung law firm asing di sini. Karenanya, jika bisa terbukti, baik Departemen Kehakiman maupun BKPM tak ragu-ragu memberikan sanksi. "Kalau memang mereka menyimpang, kami akan menindaknya," kata Ketua BKPM, Sanyoto Sastrowardoyo. Persoalannya, sebagaimana dikatakan Ali Budiardjo, tak gampang membuktikan "penyimpangan" itu. Apalagi, kata Direktur Perdata Dirjen Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman, Nyonya Rachmaniah Machrani, arus masuk lawyer asing dalam berbagai model di atas bukan melalui Departemen Kehakiman. Sebab, di Departemen Kehakiman sendiri, sampai kini resminya hanya tercatat sembilan lawyer asing, yang menjadi karyawan/konsultan di lima law firm di Jakarta. Baik Tuti Hadiputranto, Tuti Hadinoto, maupun Didi Dermawan dari HHD membantah dugaan bahwa mereka mengadakan "patungan" dengan Baker & Mc Kenzie. "Kami hanya punya hubungan korespondensi saja dengan Baker & Mc Kenzie," kata Tuti Hadiputranto. Korespondensi itu, katanya, bermanfaat jika klien HHD membutuhkan jasa hukum di luar negeri, begitu pula sebaliknya jika klien Baker & Mc Kenzie punya urusan hukum di sini. HHD (yang berdiri pada 1 Mei 1989- pecahan dari LGS), menurut Tuti, kini hanya mengandalkan 16 lawyer lokal- tanpa asing. Kendati begitu, di kantornya terpampang papan nama HHD, dengan tulisan di bawahnya "B&M". Yang terakhir itu tak lain sebuah usaha konsultan bisnis, dengan armada tiga orang bule dari AS. Namun, menurut Tuti, "B&M" yang dicantumkan di kantornya itu adalah Bisnis & Management Consultant- bukan Baker & Mc Kenzie. "That's a business management consultant. That's a different entity," ucap Tuti Hadiputranto, yang bersuamikan seorang advokat senior dan profesor hukum dari AS. Bahwa kantornya menjadi satu, katanya, semata-mata untuk efisiensi saja. Artinya, kalau ada klien butuh jasa hukum ke HHD, sementara jasa bisnisnya ke B&M itu. Seperti HHD, HSP juga membantah usaha konsultan bisnisnya ber"patungan" dengan asing. Di HSP, kata Al Hakim Hanafiah, Dewi Kamaratih Soeharto, dan Constant M. Ponggawa, sama sekali tak ada konsultan asing. HSP, dengan 10 lawyer, kata mereka, hanya melakukan exclusive correspondence dengan law firm Graham & James di AS dan Deacons (Hong Kong). Dalam prakteknya, sambung mereka, HSP memberikan jasa hukum, sementara untuk aspek bisnisnya mereka mendirikan juga PT Hasta Sejahtera Pratama- yang juga satu kantor dan satu manajemen. "Advis bisnis dan aspek hukum kan dekat sekali kaitannya, tak mungkin dipisah-pisahkan, sudah semacam satu paket pelayanan jasa," kata mereka. Masalah lawyer asing tak hanya tuduhan "patungan" terselubung. Beberapa law firm besar di Jakarta, kata seorang lawyer di sini, kini memiliki lebih dari dua lawyer asing. Bahkan, ada yang punya 15 orang. Selain itu, banyak dari lawyer asing itu juga sudah belasan tahun "bercokol" di sini walau ketentuan hanya mengizinkan lima tahun. "Kalau memang untuk transfer ilmu pengetahuan, tentu tak perlu sampai bertahun-tahun begitu," kata sumber itu. Lepas dari itu, ini yang menjadi pertanyaan serius, adalah tidak konsistennya sikap pemerintah sendiri. Sudah menjadi rahasia umum banyak instansi pemerintah dan BUMN yang menggunakan jasa law firm terkenal di dunia, seperti White & Case dari AS. Sejak 1970-an, law firm asing itu sudah digunakan pemerintah, baik untuk menangani urusan Pertamina maupun Bank Indonesia dan Departemen Keuangan. Menurut seorang pengamat, pada 1986 saja, White & Case bisa menggondol uang jasa sampai US$ 50 juta dari pemerintah. Persoalan munculnya law firm asing "terselubung" itu, menurut seorang lawyer senior, sebenarnya tak lepas dari kesalahan Pemerintah yang terlalu ketat melindungi lawyer lokal. "Seharusnya, kalau Pemerintah ingin mengembangkan lawyer Indonesia, sehingga mereka juga mampu bersaing dengan lawyer asing, janganlah terlalu diproteksi," kata lawyer yang juga dituding mempekerjakan banyak tenaga asing itu. Sebab itu, ia berharap Pemerintah lebih rasional dalam membatasi eksistensi lawyer asing di sini. Selain lawyer asing berguna untuk pengembangan lawyer lokal, sambungnya, peranan lawyer asing juga tak bisa "direm" dengan semakin pesatnya perkembangan ekonomi bisnis. Seharusnya, katanya, sebuah law firm besar di Indonesia, dengan 30 lawyer lokal, bolehlah memiliki lima lawyer asing. Felix O. Soebagjo juga menganggap sudah saatnya ketentuan pembatasan lawyer asing ditinjau kembali. Lebih dari itu, kata Felix, sebaiknya ada kesepakatan antara Departemen Kehakiman dan departemen teknis lainnya dalam soal keperluan lawyer asing itu, termasuk aturan mainnya. Dengan begitu, "diharapkan tidak akan ada lagi lawyer asing yang seenaknya saja beroperasi di sini," ujarnya. Sementara itu, Gani Djemat, yang punya 35 lawyer dan delapan konsultan- dan mengaku tanpa lawyer asing, sebaliknya menilai peraturan tentang lawyer asing itu sudah cukup bagus. " Seharusnya untuk menutupi kebutuhan kita bukan mendatangkan lawyer asing sebanyak-banyaknya. Tapi bagaimana mendidik dan mengembangkan lawyer-lawyer muda kita sendiri," kata Gani. Lepas dari perdebatan itu, Pemerintah sendiri tampaknya sudah pasang ancang-ancang untuk menghapuskan lawyer asing- yang semula dimaksudkan hanya sebagai pelengkap- dari percaturan law firm di sini. "Perlahan-lahanlah, sampai sarjana hukum kita mampu. Bukankah sekarang pun sudah banyak sarjana hukum kita yang belajar ke luar negeri," kata Nyonya Rachmaniah. Happy S., Leila S. Chudori, Nunik Iswardhani, Reza Rohadian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus