Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERINTAH mendadak melalui pesan telepon seluler ditebar sehari sebelum pertemuan. Semua perwira tinggi dan menengah yang bertugas di Markas Besar Kepolisian Indonesia dan Kepolisian Daerah Metro Jaya diminta berkumpul di aula Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin pagi pekan lalu.
Agenda pertemuan tertutup: pengarahan Kepala Kepolisian Jenderal Timur Pradopo. Maka, sejak pagi pada awal pekan itu, kompleks sekolah telah bertabur "bintang dan melati". Semua berpakaian dinas harian lengkap. Tanda pangkat terpampang di pundak, dari ajun komisaris hingga jenderal bintang tiga. Sebanyak 1.136 perwira hadir. Tepat pukul 08.00, Jenderal Timur mulai berbicara.
Menurut sejumlah peserta, pidato Timur awalnya hanya berisi persiapan pengamanan bulan puasa dan arus mudik Lebaran. Dia juga menyinggung maraknya isu suku dan agama menjelang putaran kedua pemilihan Gubernur Jakarta. "Kita harus bisa mengelola kondisi ini supaya aman," ia menekankan.
"Ledakan" datang tak terlalu lama. Semua peserta mendadak takzim ketika Timur mulai membahas topik yang ditunggu-tunggu: penyidikan perkara korupsi simulator kemudi di Korps Lalu Lintas Markas Besar Polri senilai Rp 196,87 miliar. Dengan suara tetap tegas, sang Jenderal mulai menjelaskan sengketa dengan Komisi Pemberantasan Korupsi, yang menetapkan Inspektur Jenderal Djoko Susilo sebagai tersangka.
Timur mengatakan, menurut catatan seorang peserta, sikapnya jelas: korupsi, kolusi, dan nepotisme di semua sektor harus diproses hukum. Dia menolak anggapan bahwa langkah hukum yang ia ambil dalam perkara itu merupakan upaya mengamankan anak buah. Ia justru mempersoalkan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, yang ia sebut "aturan extraordinary tapi belum memiliki hukum acara".
Lalu tepuk tangan membahana ketika Jenderal Timur sampai pada puncak orasinya. "Hukum tanpa etika namanya preman," ia berkata. "Menggeledah tempat orang seenaknya dan menangkap orang seenaknya itu namanya garong."
Seminggu sebelum pertemuan, 30 petugas Komisi Pemberantasan Korupsi menggeledah kantor Korps Lalu Lintas di Jalan M.T. Haryono, Jakarta Selatan. Mereka tertahan semalaman karena para petinggi Kepolisian mempersoalkannya.
Hubungan kedua lembaga di titik nadir setelah Markas Besar Kepolisian juga menyatakan telah menyidik kasus simulator kemudi, menetapkan lima tersangka, dan segera menahan mereka. Padahal tiga tersangka polisi juga merupakan tersangka komisi antikorupsi: Wakil Korps Lalu Lintas Brigadir Jenderal Didik Purnomo, Direktur Utama PT Citra Mandiri Metalindo Abadi Budi Susanto, serta Direktur Utama PT Inovasi Teknologi Indonesia Sukotjo S. Bambang.
Di hadapan ribuan anak buahnya, Timur menceritakan pertemuannya dengan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad dua jam sebelum penggeledahan. Menurut dia, Abraham hanya memberitahukan bahwa KPK sedang menyelidiki kasus itu. "Saya juga bilang, 'Kami juga melakukan penyelidikan'," katanya. Lalu disepakati mereka bertemu keesokan harinya untuk koordinasi.
Penjelasan Timur sangat berbeda dengan keterangan Abraham, yang mengatakan datang menemui Kepala Polri guna menyampaikan penetapan status tersangka buat Djoko Susilo, mantan Kepala Korps Lalu Lintas. Bersama Wakil Ketua KPK Zulkarnain, ia juga menunjukkan surat perintah penyidikan—prosedur baku yang dilakukan untuk menetapkan tersangka.
Jenderal Timur berulang kali menegaskan tekad melawan "pihak-pihak yang ingin melecehkan institusi Kepolisian". Menurut seorang perwira, ia mengatakan akan menghadapi segala risiko. "Saya tidak mau dicap sebagai pemimpin ayam sayur," ujarnya, yang kembali mengundang tepuk tangan peserta.
Setelah Timur menerima pertanyaan tiga perwira, pertemuan dua jam ditutup. Tepuk tangan kembali bergemuruh ketika ia meninggalkan ruang rapat.
Ditanyai wartawan yang hanya bisa menunggu di luar ruang pertemuan, Timur mengatakan tidak membicarakan penyidikan kasus korupsi simulator kemudi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. "Hanya soal Operasi Ketupat karena sudah mendekati Lebaran," katanya.
Adapun juru bicara Markas Besar Kepolisian, Inspektur Jenderal Anang Iskandar, mengatakan Kepala Polri dalam pertemuan meneguhkan komitmen antikorupsi. "Para perwira menengah diminta tidak melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Siapa pun yang salah harus ditindak," tuturnya.
Hari puasa yang sibuk bagi Jenderal Timur. Ia memimpin pertemuan lain, dengan undangan sejumlah mantan Kepala Polri dan purnawirawan jenderal polisi, antara lain Jenderal Purnawirawan Bambang Hendarso Danuri dan Jenderal Purnawirawan Chaeruddin Ismail. Sore harinya, Timur menggelar rapat dengan beberapa anggota Komisi Kepolisian Nasional dan staf ahli Kepala Polri.
Ia tetap bertahan di kantornya sampai malam. Masih ada agenda penting: kembali menerima Abraham Samad. Sekitar pukul 22.00, Abraham ditemani Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas tiba. Timur didampingi Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris Jenderal Sutarman. Pertemuan itu semula dijadwalkan Senin siang, tapi tertunda.
Sumber Tempo mengatakan, dalam pertemuan, Abraham menawarkan opsi untuk mengakhiri polemik. Komisi Pemberantasan Korupsi akan menangani empat tersangka, yakni Djoko Susilo, Didik Purnomo, Budi Susanto, dan Sukotjo S. Bambang. Adapun Kepolisian menyidik Komisaris Besar Teddy Rusmawan, ketua panitia pengadaan, dan Bendahara Korps Lalu Lintas Komisaris Legino.
Kepala Polri, menurut sumber yang sama, menolak tawaran Abraham. Adu argumentasi tentang lembaga yang lebih dulu melakukan penyelidikan perkara korupsi belum juga berakhir. Menjelang waktu sahur, pemimpin kedua lembaga tak mampu menemukan kata sepakat. Abraham dan Busyro pun pamit.
Abraham membenarkan pertemuan itu, yang menurut dia belum menghasilkan keputusan final. "Masih akan dilakukan pertemuan lanjutan," katanya.
Genderang perang telah terdengar dari Trunojoyo, tempat Markas Besar Kepolisian. Seorang perwira menyebutkan operasi-operasi gelap telah dilakukan. Di antaranya penyadapan komunikasi pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi. Dari penyadapan itu, ia mengklaim, bisa diketahui siapa pemimpin KPK yang paling getol mendorong pengusutan perkara di Kepolisian. Penguntitan terhadap beberapa petugas Komisi Pemberantasan Korupsi juga dilakukan. "Peluru" untuk membidik pemimpin KPK juga disiapkan. Kesalahan-kesalahan yang mungkin dilakukan mereka pada masa lalu ditelisik kembali.
Brigadir Jenderal Boy Rafli Amar, Kepala Biro Penerangan Markas Besar Polri, mengatakan tidak bisa mengomentari soal itu. "Saya baru tahu dari Anda," ujarnya kepada Elliza Hamzah dari Tempo.
Petinggi Kepolisian rupanya mati-matian menahan agar kasus korupsi simulator di Korps Lalu Lintas tidak sepenuhnya disidik Komisi Pemberantasan Korupsi. Sebab, jika itu dilakukan, penyimpangan pada proyek-proyek sejenis di Korps Lalu Lintas akan juga terbongkar. "Ada banyak proyek yang nilainya ratusan miliar," kata seorang perwira polisi.
Selama ini, Markas Besar Kepolisian memperoleh kemudahan dalam proyek pengadaan menggunakan dana alokasi penerimaan negara bukan pajak. Sepanjang 2011, pagu pos ini di dalam daftar isian proyek Polri tercatat Rp 3,12 triliun—melompat 74,4 persen dari tahun sebelumnya, Rp 1,79 triliun.
Kementerian Keuangan mengizinkan Kepolisian menggunakan langsung 90 persen penerimaan yang berasal dari pengurusan surat izin mengemudi, surat tanda nomor kendaraan, buku pemilik kendaraan bermotor, tanda nomor kendaraan bermotor, juga mutasi antardaerah. "Dana ini yang dipakai untuk membiayai sejumlah pengadaan di Korps Lalu Lintas," kata seorang sumber.
Pada 2011, Korps Lalu Lintas juga menangani pengadaan material tanda nomor kendaraan bermotor senilai Rp 702,5 miliar. Proyek ini digarap Primer Koperasi Polisi (Primkoppol) Direktorat Lalu Lintas. Belakangan, seluruh pengadaan bahan baku pelat nomor kendaraan ini diserahkan ke Budi Susanto, Direktur Utama PT Citra Mandiri Metalindo Abadi. Dalam wawancara dengan Tempo pada Mei lalu, Budi membenarkan soal ini. "Saya dan Primkoppol bekerja sama," ujar pemilik perusahaan peleburan aluminium di Kilometer 57, Karawang, Jawa Barat, ini.
Ada juga pengadaan surat tanda coba kendaraan senilai Rp 75,17 miliar, pendukung surat izin mengemudi Rp 210 miliar, dan mutasi luar daerah Rp 21,3 miliar. Seluruh pengadaan ini dikhawatirkan akan juga diusut Komisi Pemberantasan Korupsi dalam pengembangan perkara korupsi simulator kemudi. "Ini berbahaya bagi banyak petinggi Polri," katanya.
Seorang perwira polisi mengatakan, selama ini, Korps Lalu Lintas menjadi sumber pemasukan gelap banyak pejabat. Ia menyebutkan Korps Lalu Lintas merupakan "gerbang uang sejumlah jenderal".
Selain sebagai sumber dana internal, perwira tadi melanjutkan, Korps Lalu Lintas menjadi tulang punggung pembiayaan lobi-lobi institusi di luar Kepolisian. Ia mencontohkan dana untuk lobi pembahasan Undang-Undang Lalu Lintas, yang antara lain mengatur kewenangan polisi menerbitkan surat kendaraan bermotor. Ketika itu, muncul usul agar kewenangan itu dipindahkan ke Kementerian Perhubungan.
Kepada wartawan, Jenderal Timur Pradopo memastikan akan mengusut semua petinggi Kepolisian yang terlibat. "Kalau ada keterangan saksi dan bukti yang mendukung, akan kami telusuri," ujarnya.
Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Nanan Soekarna membantah pernah menerima uang terkait proyek Korps Lalu Lintas. "Saya pusing juga, kapan menerima uangnya," katanya. "Buktikan saja itu."
Setri Yasra, Tri Suharman, Anggrita Desyani, Ayu Prima Sandi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo