Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ari A. Perdana*
Dari berbagai isu sosial belakangan ini, naiknya angka pengangguran usia muda merupakan satu masalah yang cukup memprihatinkan. Di Eropa, kenaikan angka pengangguran usia muda sangat terkait dengan krisis ekonomi yang tengah menimpa negara-negara di sana. Di Jazirah Arab, penjelasannya lebih kompleks dari sekadar krisis ekonomi. Bukan kebetulan jika gejolak di dunia Arab dan gelombang unjuk rasa di Eropa dimulai di negara yang menghadapi lonjakan jumlah penganggur usia muda.
Di Indonesia, kita melihat masalah dalam versi berbeda. Banyak penduduk usia muda yang kesulitan mendapat pekerjaan bergabung dengan organisasi kemasyarakatan garis keras atau menjadi demonstran bayaran. Seragam dan jubah organisasi menjadi identitas dan pengakuan, juga sumber penghasilan. Sesuatu yang dalam kondisi normal akan mereka dapatkan bila ada pekerjaan tetap dan layak.
Tingkat pengangguran usia muda yang lebih tinggi daripada tingkat pengangguran keseluruhan bukanlah hal mengejutkan. Ini merupakan gejala alamiah. Kebanyakan penduduk di bawah usia 25 tahun adalah mereka yang baru pertama kali masuk pasar kerja, tanpa pengalaman sebelumnya sehingga daya saingnya rendah.
Kita khawatir jika situasi ini dibarengi dengan waktu menganggur yang lebih lama. Kecenderungan itu terjadi di negara-negara yang terkena krisis ekonomi. Angkatan kerja usia muda yang kurang berpengalaman makin tidak kompetitif. Mereka yang sudah bekerja pun biasanya lebih dulu kehilangan pekerjaan, dengan biaya pesangon lebih sedikit.
Lantaran kebanyakan penganggur usia muda adalah mereka yang tidak berpengalaman, makin lama waktu menganggur, kian lama kesempatan mereka yang hilang untuk mengikuti on the job training. Ketika ekonomi pulih, mereka akan mengalami kesulitan bersaing dengan pekerja yang sedikit lebih tua dan punya pengalaman kerja. Pada saat yang sama, mereka juga harus bersaing dengan angkatan kerja baru yang lebih muda. Ini akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi makin tidak sensitif terhadap penyerapan angkatan kerja.
Indonesia relatif tidak terkena pukulan hebat dari krisis global. Ketika banyak negara terimbas krisis, ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh dan tingkat pengangguran terbuka sudah di bawah 8 persen. Tapi tingkat pengangguran usia muda masih tinggi, sekitar dua kali di atas angka pengangguran keseluruhan. Rata-rata lama menganggur adalah 16 bulan. Angka ini lebih tinggi untuk yang belum berpengalaman dan mereka yang berpendidikan rendah.
Ironisnya, setiap hari kita melihat banyak lowongan pekerjaan baru dibuka di surat kabar. Tapi perusahaan kesulitan mendapat karyawan untuk mengisi posisi yang mereka tawarkan. Artinya, masalah yang kita hadapi bukan semata kurangnya lapangan kerja, meski kita tetap perlu lebih banyak lapangan kerja baru. Kita menghadapi masalah ketidaksesuaian (mismatch) antara keahlian yang dibutuhkan oleh dunia usaha dan keterampilan yang dimiliki calon pekerja.
Ada banyak penyebab mismatch di pasar kerja. Satu contoh klasik dari mismatch adalah permintaan tenaga kerja sedang bergeser ke sektor baru, sementara kebanyakan tenaga kerja masih memiliki keunggulan di sektor lama. Kemungkinan lain, perkembangan teknologi di industri tidak langsung direspons dunia pendidikan dan pelatihan. Contohnya perkembangan teknologi di industri tekstil. Sedikit sekali lembaga pelatihan atau sekolah menengah kejuruan (SMK) yang memiliki peralatan latihan dengan teknologi paling baru yang digunakan pabrik.
Kasus lain dari mismatch adalah ketiadaan karakteristik tertentu dari pekerja, yang dikenal sebagai soft skills. Contohnya kemampuan berkomunikasi, menuangkan gagasan, dan mengambil keputusan. Berdasarkan wawancara dengan sejumlah perusahaan menengah-besar, angkatan kerja di Indonesia, terutama yang belum berpengalaman, banyak memiliki kekurangan di karakteristik ini.
Dunia usaha merespons mismatch lewat beberapa hal. Beberapa perusahaan memilih memberikan pelatihan kepada pekerja baru untuk menambah keahlian mereka. Sebagian bahkan mendirikan sekolah atau balai latihan khusus sebagai upaya menyediakan tenaga kerja terampil. Ini adalah langkah mulia sekaligus mahal dan berisiko. Selalu ada kemungkinan tenaga kerja yang mereka didik diambil perusahaan tipe kedua: mereka yang lebih suka "membajak" tenaga kerja terampil.
Kita tidak bisa hanya bergantung pada iktikad perusahaan untuk melakukan pelatihan. Pemerintah perlu lebih berperan meningkatkan keahlian angkatan kerja melalui pendidikan dan pelatihan. Peran ini tak bisa dilakukan semata dengan membangun lebih banyak sekolah menengah kejuruan.
Saat ini ada banyak SMK, dan jumlahnya terus bertambah. Tapi ada kesenjangan kualitas yang besar antara SMK unggulan, yang jumlahnya tidak banyak, dan SMK non-unggulan. Lulusan SMK yang bagus biasanya tidak punya masalah dalam mendapatkan pekerjaan. Tapi mereka dari SMK yang kurang bagus tetap tidak mampu bersaing di pasar kerja.
Ada masalah lain yang lebih besar. Pendidikan dan pelatihan keterampilan di Indonesia tersebar di berbagai institusi dengan koordinasi yang minim. Selain SMK, ada Balai Latihan Kerja di bawah Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta pemerintah daerah. Beberapa kementerian juga menyelenggarakan pelatihan kejuruan. Lalu ada lembaga pelatihan dan lembaga kursus milik swasta.
Tersedianya pelatihan yang beragam merupakan hal baik. Masalahnya, tidak ada standar baku tentang jenis keahlian yang harus diberikan, bagaimana proses pelatihan harus dilakukan, dan peralatan minimum apa yang harus disediakan. Selain itu, tidak ada yang bisa memastikan apakah pelatihan diberikan sesuai dengan kebutuhan dunia usaha atau sekadar aktivitas yang supply-driven.
Beberapa negara mengatasi masalah ini dengan membangun otoritas di bidang keahlian pekerja. Di Australia, ada Dewan Keterampilan, yang fungsinya menyusun standar keahlian yang diakui di pasar kerja negara itu. Pembentukan dewan semacam itu mungkin menjadi target jangka panjang.
Dalam jangka pendek, penting bagi pemerintah untuk memfasilitasi komunikasi antara dunia usaha dan penyedia pendidikan serta pelatihan. Dunia usaha perlu memberi acuan tentang jenis keahlian yang dibutuhkan, teknologi, dan metode produksi yang paling mutakhir. Penyedia pendidikan dan pelatihan perlu lebih aktif mempromosikan lulusan mereka kepada pelaku usaha.
Pemerintah juga perlu membenahi fungsi kantor layanan tenaga kerja di dinas tenaga kerja tiap kabupaten/kota, dengan koordinasi kuat di tingkat nasional. Kantor layanan tenaga kerja lebih dari sekadar papan informasi atau situs lowongan kerja. Ia harus bisa lebih aktif dalam mempertemukan pencari dan pemberi kerja. Kantor ini juga menjadi sumber informasi tentang keahlian apa yang sedang banyak dibutuhkan dunia usaha. Ini termasuk mengarahkan pencari kerja, terutama yang belum berpengalaman, untuk mengambil pelatihan yang relevan supaya lebih punya daya saing.
Untuk menyelesaikan masalah pengangguran, kita perlu pertumbuhan ekonomi yang konsisten dan investasi yang lebih tinggi. Tapi tanpa memperbaiki problem di pasar kerja—mismatch dan informasi tenaga kerja—pertumbuhan ekonomi saja tidak akan cukup. Perbaikan pendidikan dan pelatihan keahlian serta layanan tenaga kerja menjadi langkah konkret yang bisa dilakukan pemerintah.
Kebijakan penghematan dan pemangkasan anggaran (austerity) di Eropa memang membuat ruang gerak pemerintah di sana terbatas. Tapi di Indonesia, dengan nilai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebesar sekarang, banyak ruang bagi pemerintah untuk berperan lebih besar. Ketika anggaran tidak menjadi hambatan, tinggal kreativitas dan inovasi yang membatasi peran pemerintah. Kita tidak ingin menyesal karena terlambat untuk mulai mengatasi penganggur kaum muda.
*) Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo