Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pelaut Indonesia Jadi 'Budak' di Kapal Taiwan

Anak buah kapal dipaksa bekerja sekitar 20 jam sehari dan kerap disiksa.

9 Januari 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA - Kementerian Luar Negeri memperkirakan puluhan ribu pelaut Indonesia bekerja di kapal ikan Taiwan yang beroperasi di laut lepas. Jumlah persisnya tak diketahui. Sebab, mereka berangkat secara ilegal sehingga tak tercatat sebagai pekerja migran oleh pemerintah kedua negara.

Kementerian Luar Negeri hanya bisa memperkirakan jumlahnya berdasarkan data anak buah kapal asal Indonesia yang turun dari kapal ikan Taiwan di sejumlah pelabuhan dunia. "Totalnya di atas 40 ribu orang," kata Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Bantuan Hukum Kementerian Luar Negeri, Lalu Muhammad Iqbal, pekan lalu.

Menurut Iqbal, angka 40 ribu merupakan 80 persen dari semua anak buah kapal asal Indonesia yang bekerja di kapal ikan asing di laut lepas. Mereka berbeda dengan pelaut Indonesia yang bekerja di kapal yang hanya berlayar di laut teritori Taiwan dikenal sebagai "ABK lokal", dan jumlahnya 8.000-9.000 orang.

Berdasarkan investigasi Tempo dan media Taiwan, The Reporter, pelaut yang bekerja di laut lepas biasanya tak punya visa kerja, menggunakan buku pelaut palsu, dan diberangkatkan oleh agen pengirim yang tak memiliki izin dari Kementerian Perhubungan. Karena ilegal, mereka tak terpayungi Undang-Undang Tenaga Kerja Taiwan. Mereka pun tak mendapatkan asuransi kesehatan dan kartu identitas bagi warga asing.

Para pelaut meneken kontrak kerja yang didesain demi keuntungan pemilik kapal dan agen pengirim. Mereka pun diperlakukan secara buruk di atas kapal. Puluhan pelaut yang diwawancarai memberikan pengakuan hampir seragam. Mereka bekerja lebih dari 20 jam sehari. Bila ikan sedang ramai, mereka bisa tak tidur seharian.

Bila kerjanya lambat, mereka dibariskan lalu dipukul kapten. "Yang lebih buruk, awak yang kerjanya lambat diikat, lalu disetrum," kata Eko Prasetyo, pemuda Tegal yang turun dari kapal pada Juli tahun lalu setelah dua tahun berada di laut. Sejumlah pelaut juga mengaku tak mendapatkan jatah makan yang layak.

Pemerintah Taiwan berjanji membenahi perlindungan pelaut. Menurut Deputi Direktur Badan Perikanan Taiwan, Huang Hong Yan, Taiwan akan menerapkan aturan baru, yakni Undang-Undang Penangkapan Ikan di Laut Lepas, pada 2017. Tujuannya, mengawasi lebih ketat agen dan calo penyalur ABK asing ke kapal Taiwan.


Budak di Kapal Tuna

Kebanyakan pelaut Indonesia bekerja di atas kapal Taiwan jenis rawai tuna atau long line. Kapal jenis ini menangkap ikan dengan menebarkan ribuan mata kail sekali pancing ke lautan.

Rawai Tuna
Bobot: 50-100 gross ton
Panjang: 15-26,5 meter
Panjang tali pancing utama: 100-200 kilometer
Jumlah mata pancing:
1.000-4.000
Jumlah ABK: +/- 20
Tangkapan utama:
Tuna dan cakalang

Kondisi Kerja
Kontrak kerja 24 bulan.
Waktu kerja 20 jam sehari.
Dianiaya bila terlihat malas atau tak terampil.
Jatah makan tak layak.
Gaji separuh dari ABK resmi.
Sebagian gaji ditahan agen Taiwan untuk jaminan.
Jaminan hangus bila pelaut tak merampungkan kontrak.
Keluarga di kampung harus ganti kerugian bila pelaut kabur. MUSTAFA SILALAHI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus