Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MALAM merangkak larut. Di sebuah pos jaga di Jalan Hamzah, Kota Bharu, Kelantan, sekelompok lelaki dan perempuan duduk mencangkung. Dandanan dan pakaian wanita-wanita itu tak seronok. Kesannya orang baik-baik. Tapi sejatinya mereka berprofesi sebagai penjaja seks. Mereka sangat berhati-hati karena pelacuran di negeri ini haram hukumnya.
Ketika TEMPO melintasi tempat mereka 30 menit sebelumnya, tak seorang pun menyapa. Maklum, orang asing. Tapi, saat TEMPO datang lagi diantar seorang penduduk setempat, sikap para perempuan di sana berubah, klecam-klecem tersipu, seperti mau dipinang saja. Seseorang genit berkedip, ”Ayo, 70 ringgit saja, kita ke belakang sebentar.” Sewaktu TEMPO mengelak, ia tak mundur. ”Ayolah, 60 ringgit buat penglaris,” pintanya memelas.
Tempat belakang yang dimaksud itu berupa kamar kayu sumpek dengan dipan papan. Waktu kencan pun tak bisa lama. Soalnya, sewaktu-waktu bisa datang gerebekan. Kalau tertangkap basah oleh polisi syariah, seorang lelaki sial bisa kena denda 1.000 ringgit plus kurungan badan berbulan-bulan.
Petugas sebetulnya tidak terlalu gampang menjerat mereka. Para lelaki yang duduk di pos akan memberikan kode bila ancaman datang, sehingga pasangan yang sedang asyik-masyuk bisa lolos. Bagi yang berkencan ”tembak langsung” di lorong, teknik penyelamatannya berbeda. Jika petugas datang, seorang lelaki lain yang sudah diupah bisa segera bergabung sehingga dakwaan berkhalwat alias berdua-duaan praktis gugur.
Jika ingin bersenang-senang yang lebih ringan, pelik pula caranya. Hiburan malam praktis dilarang. Kalaupun ada yang buka, itu sembunyi-sembunyi, seperti halnya rumah biliar di lantai empat sebuah rumah toko (ruko) di dekat alun-alun Kota Bharu. Tempat ini buka sampai pukul setengah dua dini hari.
Mau berkaraoke? Bisa saja, asalkan Anda bukan muslim atau setidaknya berpura-pura bukan pemeluk Islam. Tampang Melayu akan susah mendapat layanan, seperti dialami TEMPO di Café Karaoke The Moon. Belum lagi pantat mapan, pramusaji lelaki gemuk dengan logat Cina Melayu yang kental datang menghampiri, ”Sorry, we can not accept you, Sir!”
Hiburan alternatif bisa ditemukan di kawasan Stadion Sultan Mohamad IV. Di sinilah berkumpul para pondan alias wandu. Genit, itu pasti. Namanya saja banci. Lewat pukul sebelas malam, pondan yang berkumpul makin banyak. Mereka sepertinya jual mahal tiap kali ada yang mendekati. Mungkin ini tindakan berjaga-jaga. Namun, menjelang subuh, mereka beramai-ramai ikut sebuah mobil. Pulang? Siapa tahu.
Repot, bukan, cari hiburan malam di Kelantan? Tapi pemecahannya mudah saja. Mereka yang ingin bersenang-senang tanpa dibarengi kecemasan cuma perlu menyeberangi Sungai Golok dengan rakit untuk sampai ke Thailand. Kalau mengendarai mobil, waktu tempuhnya satu jam. Othman bin Muhtarom, seorang sopir taksi, mengaku tiap ”pusing” langsung menyeberang. Penghasilannya pasti lumayan karena ia menyeberang seminggu sekali. Suryama, seorang pelayan di rumah makan, malah untung ganda karena, selain bebas cari hiburan, ia bisa kulakan pakaian.
Arus pencari hiburan itu bukannya tak diketahui pemerintah Kelantan. Menteri Besar Tok Guru Nik Aziz memilih bersikap santai. ”Itu urusan mereka. Batas kewajiban saya cuma berdakwah dan memberi rasa aman rakyat yang berada di bawah tanggung jawab saya,” katanya.
”Rasa aman”—yang belum tentu nyaman bagi sebagian orang—juga dipelihara di Terengganu. Hiburan malam yang dekat dengan urusan syahwat pun serba disamarkan. Tengoklah Kedai Gunting Gadis Gaya di lantai dua Plaza Perdana, Kuala Terengganu. Plang nama di luar hanya akal-akalan untuk mengelabui polisi syariah. Para wanita penata rambut di sini— umumnya keturunan Cina—merangkap sebagai pekerja seks. Tarifnya lumayan tinggi, minimal 100 ringgit.
Kalau sekadar ingin bersantai, penduduk Terengganu akan datang ke Plaza Perdana. Sekalipun dari luar tampak lusuh, aneka hiburan dari biliar, karaoke, hingga salon ”plus” bisa dijumpai. Mereka terang-terangan mencantumkan papan nama.
Tidak takut polisi syariah? Lim Yok Sie, seorang pemilik rumah biliar, cuek saja. ”Walaupun tak diberi lisensi, saya tetap akan membukanya,” katanya. Sepanjang tidak ada orang Melayu atau muslim yang berjudi di situ, ia tidak cemas. Kalau tamunya Cina atau India, Lim akan tutup mata, berapa pun taruhan mereka.
Rommy Fibri (Malaysia), YAP
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo